Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi Farel belum juga menunjukkan batang hidungnya sejak tadi. Zulfa meremas jemarinya kuat, ia cemas jika terjadi sesuatu pada suaminya. Dengan degup jantung yang mulai heboh, ia berkali-kali menatap jam yang berada di dinding berharap laki-laki itu akan sampai sebentar lagi. Ia kini sedang menunggu kepulangan Farel di meja makan, beserta beberapa lauk yang ia masak khusus untuk Farel.
Walaupun Farel menolak keras pernikahan mereka, itu semua tidak mengubah kewajibannya sebagai seorang istri yang berbakti pada suami. Ia tidak ingin menjadi istri yang durhaka bagi Farel, ia akan berusaha untuk menjadi sebaik mungkin. Sepertinya ia mempunyai rasa sabar yang sangat besar untuk menyikapi Farel yang begitu dingin dan sedikit kasar terhadapnya.
Ia membuka ponsel, siapa tahu Farel mengirimi dirinya pesan singkat mengenai kepulangan laki-laki itu yang mungkin tertunda. Tapi nihil, bahkan pesan-pesan yang dikirim olehnya tidak pernah di balas, dibaca saja tidak.
Apa sebegitu tidak penting dirinya, kah? Ah iya, lagi dan lagi pemikiran seperti ini terlintas di dalam pikirannya. Ia tiada henti untuk berpikir negatif mengenai ini semua. Hatinya terasa sangat pilu seperti tersayat sebilah pisau yang cukup dalam.
Menyerah, ia menaruh ponsel di meja sambil menopang dagu dengan tangan kanannya. Hatinya pun tak ayal merasa khawatir dengan Farel. Walaupun laki-laki itu sangat tidak suka dengan keberadaannya, tapi hal itu tidak pernah membuat dirinya untuk berhenti menaruh rasa peduli sekaligus rasa tanggung jawab serta kewajiban yang sejak janji pernikahan terucap, ia sudah harus memiliki perasaan itu.
Farel dipikir-pikir lucu juga ya, pikir Zulfa saat mengingat bagaimana ekspresi wajah suaminya yang kesulitan mengancing kemeja tadi pagi. Sepertinya dia melupakan sejenak dengan sikap dingin Farel selama ini. Memang sih laki-laki itu tidak pernah main tangan, tapi kata-kata yang terlontar dari mulutnya sangat pedas dan menohok sampai ulu hati. Percayalah, hal seperti itu yang mampu membuat pertahanan dihatinya meluruh dengan perlahan tanpa aba-aba sedikitpun.
"Excuse me, is anyone here?"
Zulfa menoleh ke sumber suara yang terdengar sangat lembut, dan menemukan Farel yang tubuhnya sudah di papah oleh seorang gadis yang ia tidak kenal. Ia ingin bertanya tentang apa yang terjadi, namun melihat Farel yang meracau tidak jelas membuat dirinya mengurungkan niatnya. Ia mengambil alih tubuh Farel dari gadis itu dengan tatapan bingung yang tercetak jelas di wajahnya.
"Astagfirullah, Mas Farel." gumam Zulfa saat menyadari keadaan Farel yang lumayan kacau, sepertinya laki-laki itu mabuk.
Pandangannya beralih pada seorang gadis cantik yang hanya menatap ke arah dirinya, seperti tengah menilai penampilannya. "Maaf kamu siapa ya? Dan tolong jangan seenaknya menyentuh suami saya." ucap Zulfa sopan. Ia tidak ingin langsung menghakimi wanita tersebut yang berani-beraninya menyentuh suami orang tanpa wajah berdosa sedikitpun.
Gadis itu tiba-tiba menatapnya dari atas sampai bawah lagi dan lagi, tatapannya begitu terlihat jelas tengah merendahkan penampilannya. "Oh jadi kamu istrinya Farel?" tanyanya dengan nada yang sangat tidak bersahabat. Ia lalu tersenyum remeh ke arah Zulfa. Ternyata apa yang dibayangkannya selama ini sangatlah berbanding terbalik dengan apa yang telah di suguhkan kini di hadapannya. Ia pikir, dirinya akan kalah dengan sang istri yang bernotabene baru di kehidupan Farel. Tapi dirinya salah, bahkan ia lebih unggul, jauh lebih unggul daripada wanita itu.
Zulfa mengangkat sebelah alisnya, ia sama sekali tidak mengenal gadis ini, kenapa dia mengenal dirinya?
"Maaf?" ucapnya seperti meminta pengulangan. Ia masih belum mengerti dengan apa yang dimaksud oleh gadis tersebut. Apalagi saat dia bertanya tentang dirinya yang merupakan istri dari seorang Farel, memangnya kenapa dengan hal itu?
Belum sempat gadis itu menjawab, racauan Farel semakin jelas terdengar. Membuat dirinya mau tidak mau harus mengundurkan diri sebentar untuk menaruh tubuh laki-laki yang berada di dalam dekapannya ini menuju ke kamar supaya bisa lebih istirahat dan bebas meracau tanpa mengganggu pendengaran siapapun.
"Permisi, saya harus membawa Mas Farel untuk istirahat di kamar." ucapnya sambil meninggalkan gadis itu yang kini sudah duduk santai di kursi makan, seolah-olah Farel yang mabuk bukanlah masalah besar baginya. Mungkin ia sudah cukup terbiasa melihat para laki-laki dalam keadaan setengah sadar seperti ini.
Zulfa kesulitan berjalan karena tubuh Farel yang memang lebih besar darinya, tapi ia tetap saja menahan bobot tubuh laki-laki itu supaya tidak jatuh ke lantai. Ia menuju kamar tamu yang beruntung jaraknya tidak terlalu jauh dari ruang tamu. Huft, ia merasa sangat lelah.
Dengan hati-hati, ia menaruh tubuh Farel takut jika gerakan tiba-tiba dari dirinya mampu membangunkan laki-laki ini. Bisa-bisa Farel akan memaki dirinya habis-habisan karena sudah mengganggu tidurnya.
Baru kali ini ia melihat Farel dalam keadaan mabuk setelah dirinya masuk dalam kehidupan laki-laki itu. Terlebih lagi pulang bersama dengan seorang gadis yang terlihat sedikit lebih muda dari dirinya. Hal ini membuat pikirannya berkelana lebih jauh daripada sebelumnya.
Ia tersenyum pahit, pasti ini karena dirinya yang tidak pernah membuat Farel bahagia. Dengan cepat, ia melepaskan sepasang sepatu yang di kenakan Farel lalu menyelimuti tubuh laki-laki itu yang rupanya sudah pulas dalam alam mimpi. Terlihat damai, dengan urat wajah yang biasanya selalu terlihat saat berhadapan dengan dirinya, lenyap sudah.
Andai saja raut wajah seperti ini yang ditunjukkan pada dirinya, sudah pasti ia akan selalu mendapatkan imbalan dari segala perjuangan yang telah iya lakukan. Iya, pasti seperti itu jika takdir lancar mengatur pernikahannya.
Farel saat ini terlihat sangat tampan. Terlebih lagi mungkin jika laki-laki itu tersenyum. Ah, Zulfa hanya bisa berkhayal saja untuk mengobati hatinya supaya tidak terasa terlalu sakit.
"Maafin Zulfa ya, Mas." gumamnya sambil menyibak jambul mempesona milik Farel dan mencium kening laki-laki tersebut dengan hangat. Ia hanya bisa melakukan hal manis ini saat Farel tertidur, jika tidak mungkin yang ia dapatkan adalah tatapan ketidaksukaan laki-laki itu terhadapnya.
Setelah itu, ia beranjak dan pergi meninggalkan Farel yang sudah terlelap. Matanya kian memicing melihat sosok gadis yang tadi membawa Farel masih duduk di ruang makan. Make up yang menambah poin kecantikan gadis itu dengan warna bibir yang merah menggoda sangat terlihat menawan. Pakaiannya cukup terbuka, memakai dress dengan kerah rendah menampilkan belahan dadanya yang memang ia akui cukup padat. Apalagi bagian punggungnya yang begitu terekspos sampai bagian tulang ekornya.
Terkesan sexy, namun terlihat seperti gadis yang --ah maaf murahan.
"Kamu kenapa masih disini?" tanya Zulfa dengan nada yang masih sopan. Ia tidak ingin memaki gadis yang sialnya memang jauh lebih sempurna jika dibandingkan dengan dirinya. Baiklah, ini bukanlah waktu yang tepat untuk merasa minder dengan kaum hawa yang lainnya. Jangan sampai dirinya lupa jika setiap manusia yang diciptakan pasti memiliki kesempurnaan.
Lihat saja, penampilannya kini hanya memakai piyama bewarna soft brown dengan corak panda yang terlihat sangat kekanak-kanakan. Terlebih lagi, hijab panjang yang bewarna hitam sudah menutupi rambutnya dengan sempurna. Berbeda dengan gadis ini yang rambutnya terlihat sangat cantik dan diberi warna coklat. Tapi ia sama sekali tidak iri, menurutnya menutup aurat jauh lebih baik dari segalanya. Setidaknya, itu menurut dirinya.
Perbandingan yang jauh berbeda.
Tapi memakai hijab adalah hal yang harus diniatkan dari dalam diri dan hati dan tentunya tidak mudah untuk hijrah ke arah yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Bahkan, dirinya pun masih belum berhasil hijrah dalam segi perilaku.
"Aku hanya ingin memastikan Farel selamat sampai kasur." ucap gadis itu dengan tenang sambil mengikuti setiap garis kursi dengan jari telunjuk bagian tangan kanannya.
Zulfa tersenyum lalu mengangguk kecil. "Makasih. Mas Farel sudah berada di kasurnya, dan kamu boleh pergi." ucap Zulfa dengan rasa sabar yang ia pertahankan semakin tebal. Bagaimana hancurnya perasaan ia saat ini? Mungkin hanya dirinya yang dapat merasakan.
Gadis itu beranjak dari kursi lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan alis yang terangkat sebelah. "Oh iya tadi kamu bertanya siapa aku, iya kan?" ucapnya tidak mempedulikan Zulfa yang tadi sudah mengusirnya secara halus. Ia beranjak dari duduknya, lalu mendekati diri kepada Zulfa dan berdiri tepat di hadapan wanita tersebut dengan mata memicing tajam. Sudah dapat di pastikan jika gadis ini adalah sosok yang tidak pernah mau dikalahkan dan merasa kalah.
Zulfa yang memang penasaran, hanya diam saja tidak menjawab. Ia menunggu kelanjutan dari apa yang ingin di ucapkan oleh gadis itu.
"Kenalin, aku Rania Cantika. Pacarnya Farel jauh sebelum dia nikah sama kamu." ucapnya Rani sambil menjulurkan tangannya, bermaksud untuk mengajak Zulfa berjabat tangan.
Tubuh Zulfa menegang. "Maksudnya? Kamu yang selama ini Farel prioritaskan daripada rumah tangganya sendiri?" tanyanya tanpa mengindahkan juluran tangan Rani yang mengajak dirinya berkenalan itu.
Dengan mulut yang membulat kecil, Rani menarik kembali tangannya dan tersenyum manis membenarkan pertanyaan Zulfa. "Iya, benar sekali. Aku pacarnya Farel. Dan gara-gara kamu, rencana pertunangan kami gagal total."
Zulfa menggelengkan kepalanya. "Itu bukan salah Saya." ucapnya membela diri.
Rani menaruh tangan telapak tangan tepat di depan mulutnya, berpose seperti menguap akibat kantuk yang melanda.
"Aku pikir, aku akan tetap mempertahankan Farel dan merebutnya kembali dengan perlahan dari kamu tanpa membiarkannya sedikitpun menoleh ke kamu."
Bahu Zulfa seakan merosot mendengar pernyataan serius yang diucapkan gadis dihadapannya kini. Ia benar-benar tidak tau harus bagaimana.
"Tidak, Farel sudah menjadi suami saya." ucap Zulfa dengan mata yang sudah memerah menahan amarah karena sifat seenaknya Rani sekaligus menahan rasa sesak yang seharian ini selalu hadir di dalam hatinya.
"Kita sesama wanita sangat paham, Zulfa. Jika saling menghormati apa yang sudah menjadi milik masing-masing adalah hal yang paling terhormat dan karena itu, aku ingin menguasai apa yang seharusnya menjadi milikku."
...
Next chapter