Setelah kepulangan Rani, Zulfa duduk manis di kursi makan. Pandangannya kosong menatap ke arah lauk dan nasi yang tersaji di meja makan yang terbengkalai begitu saja, tidak ada yang berniat untuk menyicipi atau sekedar menyentuhnya. Rasa lapar di perut seolah-olah sudah menguap dengan hadirnya rasa sesak di dada, bahkan untuk mencicipinya sedikitpun ia tidak bernafsu. Sungguh, cobaan apalagi ini? Tapi ia tahu, sekali lagi, Tuhan tidak pernah menguji hambanya di luar batas kemampuan.
Yang ia lakukan memang harus selalu sabar dan sabar, itu semua adalah kunci untuk memperkokoh perasaan yang kian rapuh. Menyerah? Tidak, ia tidak akan mudah menyerah untuk hal yang bahkan belum ia gapai. Pernikahan yang berjalan lancar dan hangat adalah sebuah impian yang selalu di dambakan dirinya sejak menginjak umur berkepala dua.
Ia hanya perlu meningkatkan rasa sabar yang dipertebal pada mentalnya supaya ia menjadi wanita kuat dengan tingkat kesabaran yang tinggi. Memangnya wanita mana yang tidak merasakan sakit yang teramat seperti ini? Rasanya ia ingin sekali berteriak marah di hadapan Farel sebagai bentuk protes pada laki-laki yang selalu melayangkan tatapan tidak suka pada dirinya itu.
Kalaupun tidak suka, setidaknya mengerti dengan perasaannya. Tidak perlu melayangkan berbagai ucapan tajam yang menyakitkan saat didengar, dan juga jangan melayangkan tatapan tajam itu. Kalau tidak suka... diam saja seharusnya adalah jalan yang terbaik. Namun dirinya diperlakukan seperti itu. Apa supaya ia membenci Farel dan laki-laki itu berharap jika dirinya ini akan meminta perceraian? Tidak, itu tidak akan pernah terjadi.
Dengan terpaksa, ia kembali merapihkan meja makan bersama helaan napas yang cukup panjang guna menghalau dan menetralisir perasaan sesak yang masih menyeruak di dalam hati. Untung saja yang ia buat hanya menu sederhana, jadi tidak perlu khawatir basi jika semua lauk ini tidak di makan. Ingin di buang pun mubazir, masih banyak manusia yang membutuhkan makanan di luaran sana. Dan ia malah membuang-buang makanan? Sangat disayangkan.
Maka dari itu, ia tahu jika Farel lagi dan lagi tidak akan menyentuh makanan yang di buat olehnya ini dan akhirnya ia memilih memasak makanan yang tidak mudah basi dan dapat di simpan kembali.
Zulfa menghembuskan napasnya sekali lagi untuk menghalau rasa sesak yang kian memuncak. Ia dengan teliti menaruh potongan ayam goreng di kotak makanan untuk di taruh di dalam kulkas, makanan itu yang terakhir, semua sudah ia kemas dengan rapih.
Padahal, ia hanya ingin tahu bagaimana ekspresi wajah Farel saat laki-laki itu mencicipi masakan buatannya. Apa suaminya itu tidak pernah mencoba masakan Indonesia? Lalu, bagaimana dengan menu harian keluarga Brahmana? Bahkan, ia saja tidak mengerti. Apa jika mereka ingin makan menu Indonesia itu harus request pada seorang maid yang memasak?
Jika memang Farel besok menolak makanan buatannya lagi, ia akan menyumbangkannya ke orang-orang yang bekerja di pinggir jalan. Hei, ini bukan makanan bekas, di sentuh saja belum dan masih layak untuk di makan, iyakan?
Lagipula hitung-hitung berbagi rezeki yang tidak pernah di syukuri oleh suaminya itu. Sudah di masaki berbagai macam lauk, tapi tidak di sentuh sama sekali dan justru lebih memilih untuk makan di luar yang belum tentu terjamin kebersihannya. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan jalan pikir Farel yang selalu menilai sesuatu dari luarnya saja. Tidak sih, masakannya bukan buruk dalam segi pandang, tapi kali saja tanpa hiasan di penyajiannya membuat laki-laki itu tidak tertarik.
Sudah hampir setiap hari Farel enggan menyentuh masakannya, katanya sih makanan rumah tidak seenak junk food yang biasa laki-laki itu beli jika sedang kelaparan. Sekalinya Farel makan masakan rumah, itu juga yang berbau makanan mahal. Iga bakar, beberapa olahan daging lainnya, atau pasta yang di buat dengan bumbu ciri khas.
Tentunya seorang Zulfa belum ahli memasak itu semua. Ia sebelumnya hanya berasal dari keluarga tidak mampu yang hidup sangat sederhana, wajar saja ia tidak bisa memasak daging dengan olahan yang menarik. Untuk makan ayam saja satu bulan hanya terhitung dua kali saja, itu juga jika ayahnya mendapat uang lembur dari hasil kerja. Jika tidak? Ya bisa dibayangkan ia hanya memakan tahu dan tempe setiap harinya, jangan lupa telur serta mie instan yang tidak pernah absen di dalam lemari dapurnya yang terbuat dari kayu lama.
Ia tersenyum pahit, tidak apa, dia baik-baik saja dengan semua ini. Lagipula mungkin ini memang ujiannya menjadi seorang istri untuk menghadapi sifat sang suami. Ia akan berusaha lebih kuat lagi untuk menumbuhkan rasa peduli Farel pada dirinya, setidaknya ada walaupun sedikit.
Menjadi seperti bayang-bayang di dalam pernikahan sendiri tentu sangat menambah beban pikirannya. Ia berlagak layaknya hantu tak kasat mata di pandangan seorang Farel Putra Brahmana. Padahal ia ada, namun tidak di anggap.
Ketegaran masih di genggam erat pada hatinya, membuat dinding pertahanan yang mungkin bisa membuat dirinya lebih kuat daripada sebelumnya.
Setelah selesai merapihkan meja makan dengan segala lauknya yang sudah terkemas apik di kulkas, ia mulai melangkahkan kakinya, berjalan gontai menuju kamar. Ia tidak ingin tidur bersama Farel untuk malam ini, karena ia sangat membutuhkan waktu sendiri dan merasakan rasa sakit yang terlewat dalam ini.
"Karena hati yang tegar, memiliki waktu tersendiri untuk menumpahkan segala sesak dan keresahan di hati. Tidak ada yang namanya wanita kuat di dunia ini, mereka hanya mampu menyembunyikan kesedihannya dengan teramat sempurna sampai banyak orang mengira jika dirinya adalah sosok yang tidak pernah merasakan kesedihan. Padahal, nyatanya tidak seperti itu."
Wanita kuat akan di uji kesabarannya, dan ia akan buktikan jika dirinya kuat. Ya, setidaknya itu hanya deretan kalimat untuk menyemangati kegelisahan di hati. Memangnya siapa lagi yang akan membangkitkan semangatnya selain dirinya sendiri? Berharap pada orang lain pun akan semakin membuat goresan luka baru yang bisa saja 'semangat' itu hanya numpang lewat atau tidak bertahan lama dan pergi begitu saja.
Zulfa meraih gagang pintu, masuk ke kamar yang berbeda dengan Farel dan menutup pintunya kembali. Ia langsung saja melepas sandal rumah yang menjadi alas kakinya, lalu menjatuhkan diri pada kasur king size dan menenggelamkan diri di selimut tebal berwarna putih bersih. Lebih baik seperti ini daripada harus menampakkan diri pada dunia atas kesedihannya. Bahkan ia tidak rela benda mati di kamar ini menjadi saksi betapa hancur hatinya, tapi ia tidak bisa berbuat apapun.
Di balik selimut, tubuhnya kian meringkuk. Tiba-tiba cairan bening seperti kristal yang sedaritadi ia tahan, kini keluar begitu saja tanpa di sadari sedikitpun. Ia mulai memeluk lututnya dalam selimut, merasakan sesak yang luar biasa. Ternyata, berpikir positif untuk pernikahannya yang sudah terasa seperti ini hanya membuat kinerja hatinya semakin hancur dan retak.
Setiap malam hobi barunya hanya menangis saja dengan pikiran yang mulai menjalar kemana-mana. Ia tidak mampu untuk menceritakan perilaku Farel pada salah satu sahabatnya, ataupun keluarganya dan keluarga Farel. Semua ia pendam dengan keteguhan hati yang berusaha ia perkuat sendirian. Kalaupun nanti terungkap, itu pun pasti kehendak Tuhan. Ia akan tetap diam sampai takdir mengambil perannya.
Nyatanya, ia hanya wanita berhijab yang lemah. Ia hanya bisa merapalkan doa dan berusaha, tapi semua takdir tetap tidak bisa ia paksakan. Semua kebahagiaan pernikahannya berada di tangan Farel yang sampai detik ini mencampakkan dirinya.
Tidak ada yang bisa di banggakan dari seorang wanita sepertinya. Melihat Rani, membuat hati Zulfa kian menciut. Ia merasa jika dirinya bukan apa-apa dibandingkan gadis cantik itu. Apa ini yang membuat Farel terus bersikap dingin kepadanya? Karena... kekasihnya itu lebih menarik daripada penampilannya?
Bahkan Farel pernah bilang ia tidak akan mencintai seorang wanita yang berpenampilan seperti ustadzah, menyakitkan sekali. Seolah-olah laki-laki itu menolak dirinya dengan cara menyindir yang langsung menampar ulu hatinya supaya cepat sadar dengan keadaan.
Saat di acara pernikahan mereka, Farel bersikap dengan sangat lembut kepadanya. Menyapa semua orang dan tersenyum bahagia, membuat semua orang percaya jika hubungan mereka akan berjalan dengan sangat mulus. Tapi ia tahu, itu hanya topeng semata. Karena orang tuanya sangat memaksa laki-laki itu untuk menikahinya, begitu juga yang dilakukan orangtuanya. Ia tidak mungkin membantah ucapan sang ayah, ia hanya ingin berbakti dan berbalas budi dengan semua kerja keras mereka dengan keputusan menikah dengan Farel. Ia pikir pernikahan itu sederhana, tapi ternyata jauh lebih rumit.
Saat itu di pikirannya hanya, 'mungkin ini adalah waktunya aku membahagiakan kedua orang tuaku.'
Dan voila,
Ia benar-benar membahagiakan mereka dengan cara inj, namun kehidupannya yang di pertaruhkan. Kebahagiaannya sudah di permainkan sejauh ini oleh laki-laki yang tidak pernah menganggap dirinya ada. Apa yang lebih sakit lagi dari ini semua? Suaminya terus menerus melayangkan tatapan dingin sekaligus tajam pada dirinya.
Zulfa menangis sesenggukan untuk yang kesekian kalinya. Tangisnya begitu pilu menyayat hati bagi yang siap saja yang bisa mendengarnya. Sayangnya, ia hanya sendiri di dalam kamar ini. Menangis tanpa ada bahu untuk bersandar dan raga untuk menenangkan dirinya.
Malam hari adalah waktu yang paling tepat untuk melampiaskan segala rasa lelah yang dirasakan pada hidup. Malam hari adalah waktu yang tepat untuk mengekspresikan segala macam bentuk luka. Dan malam hati adalah waktu yang sangat teramat tepat untuk menangis.
Sehancur apapun seorang Zulfa, sudah dapat di pastikan jika Farel tidak akan pernah peduli padanya. Ia lelah, namun dirinya masih percaya dengan Tuhan yang akan membalas kelelahannya ini dengan sesuatu yang jauh lebih baik.
Ia tidak mengharapkan pengganti Farel, ia hanya ingin menjalin rumah tangga dengan keharmonisan yang mungkin akan tercipta seiring berjalannya waktu.
Sayangnya, mungkin hal itu hanya angan-angan semata saja. Membentuk sebuah harapan yang berarti menggenggam erat tangkai bunga mawar, memang indah namun durinya dapat menyakiti siapapun yang tidak berhati-hati.
Mungkin dengan berharap, ia bisa menumbuhkan rasa percaya diri jika 'happy wedding' benar-benar ada di dunia ini. Karena ia, ingin sekali merasakan kebahagiaan walaupun sedikit. Iya, sedikit saja mengingat Farel yang sudah pasti menolak keras kehadirannya. Miris sekali.
...
Next chapter