Kepala Allegra tertunduk karena kelelahan mengetik dalam kamarnya. Lori sudah meninggalkannya pagi-pagi sekali karena bekerja. Tinggallah Allegra seorang diri ditemani laptop kesayangannya bersama pikirannya sibuk menyiapkan skrip terbaik untuk bisa memenangkan kompetisi akhir musim dingin ini.
Mejanya bergetar, Allegra segera tersadar. Getaran ponselnya menandakan telepon masuk. "Halo?" Sapa Allegra. Tak ada nama pengenal, nomor yang tak dikenal Allegra.
"Alle, ini Joshua."
Joshua, seorang pemuda berbakat dikampusnya. Allegra menyukai laki-laki ini karena keahliannya menyulap salinan Allegra menjadi semakin sempurna.
"Hai, apa kabar mu?"
Allegra bangkit berdiri. Senyumnya mengembang ditelepon oleh pria itu. Dia tahu, jika dia bisa mengandalkan pria ini untuk memenangkan kompetisinya. Mungkin untuk itu pula pria ini meneleponnya, Allegra berasumsi dalam hatinya.
"Maafkan aku." Suara Joshua memelan. Allegra mulai bersikap was-was. "Ada apa?" Tanya Allegra cepat.
"Aku tak bisa menolong, maaf." Kata-kata itu membuat Allegra diam mematung.
"Ada apa?" Tanya Allegra sekali lagi.
"Sedikit masalah, aku harus pergi. Mungkin akan lama, sampai akhir musim semi."
Allegra tak lagi mendengar dengan seksama penjelasan lelaki itu, karena Allegra sudah mengerti arah pembicaraannya. Allegra menutup teleponnya setelah menyudahi pembicaraan, duduk memandang skripnya dengan lemas.
Ini adalah peluang terbesarnya. Dan Allegra sangat mengharapkan kemenangan ini. Semuanya akan lengkap jika Allegra bisa kembali bersama Ibunya. Allegra tak ingin lebih lama tinggal di kota ini, bersama ayahnya dan Yuri, Ibu tirinya yang menyebalkan itu!
Allegra mendengus, menarik nafasnya sejenak. Jam sudah menunjuk pukul 12 siang, Allegra harus berkemas ke kampus. Setelah memakai jaketnya dan sepatu boot itu, Allegra berjalan keluar mengambil sepedanya dari garasi dan mengayuhnya.
Jalanan penuh oleh salju, tapi tekad Allegra untuk ke kampus begitu kuat. Sebentar lagi Allegra akan sampai, tapi sebuah mobil yang kencang melaju dan tak sengaja menabrak stang sepeda Allegra. Orang-orang disekitar sontak terkejut dengan kejadian itu. Beberapa mendekati Allegra yang terjatuh dari sepedanya.
"Apa dia baik-baik saja?" Seseorang bertanya dari seberang.
Tapi rupanya Allegra masih punya kekuatan untuk melihat. Seorang laki-laki berdiri keluar dari mobilnya dengan cepat-cepat.
"Maafkan aku, maafkan aku." Laki-laki itu begitu cemas. Lengannya yang panjang menolong Allegra untuk berdiri. Tak ada luka yang berarti karena Allegra terjatuh di Salju. Tapi luka di siku tangannya cukup besar, dan itu membuat Allegra meringis kesakitan.
"Biar ku bawa kau." Allegra membiarkan laki-laki itu membopongnya untuk naik ke mobil. Allegra duduk di samping laki-laki itu. "Akan ku bawa kau ke klinik, biarkan aku mengganti sepeda mu."
Laki-laki itu menaikkan sepedanya ke bagasi dan segera berlalu. Keduanya diam satu sama lain.
"Aw, sakit sekali!" Allegra meringis melihat luka di sikunya.
"Maafkan aku, sebentar lagi kita akan sampai di klinik."
Allegra tak melihat wajah lelaki itu dari tadi, karena lebih tertarik dengan upayanya bertahan menahan sakit.
"Siapa nama mu, Nona?" Tanya pria itu. Allegra memalingkan wajah untuk melihat pria yang menabraknya. Matanya ditutupi oleh kaca mata hitam, jakunnya menarik perhatian Allegra.
"Nona?" Panggil pria itu membuat Allegra tersadar. Allegra terkesiap.
"Kau sialan!" Desis Allegra tak sadar. Bagaimanapun dia kesal. Harusnya sekarang dia sudah tiba di kampus!
"Maafkan aku, aku tak melihat mu melintas dari situ."
"Dimana sepeda ku?" Tanya Allegra ketus.
"Bagasi. Katakan siapa nama mu."
"Allegra. Apa tidak bisa lebih cepat? Ini sakit sekali." Umpat Allegra. Pria itu meliriknya. Belum pernah wanita membentaknya demikian. Gadis ini begitu berani pastinya. Tapi ini memang salahnya. Dia yang menyebabkan gadis ini terluka.
Mereka berhenti di salah satu klinik. Pria itu membuka pintu mobil dan hendak menolong Allegra untuk berjalan. "Aku bisa turun sendiri." Kata Allegra cepat. Beberapa pasang mata yang melihat Allegra masuk bersama pria itu berbisik-bisik. Allegra sudah pasti bingung. Apa seorang yang terluka patut dibicarakan dengan cara seperti itu?
Allegra berpikir bahwa dirinya cukup kuat, tapi begitu pintu itu terbuka, Allegra hampir jatuh di depan pintu kaca klinik itu. Beruntung pria itu menangkap tubuhnya sigap. "Kau keras kepala, Nona." Cibirnya mengingatkan kelemahan Allegra.
"Ini karena mu." Desis Allegra. Mata-mata itu semakin terang-terangan menatap nya bersama laki-laki itu.
"Kenapa mereka?" Tanya Allegra. "Entahlah, jangan pedulikan." Katanya.
"Obati lukanya, tolong." Kata pria itu pada seorang perawat yang melintas. Allegra masuk ke dalam, membiarkan seorang perawat mengobati lukanya.
"Apa yang terjadi, Nona?" Tanya perawat itu pada Allegra sambil membersihkan luka Allegra. Sesekali Allegra meringis menahan pedih.
"Dia menabrak ku." Jawabnya singkat. Senyum perawat itu membuat Allegra jengkel. "Kau senang dia menabrak ku, huh?"
"Tentu."
Jawaban itu membuat Allegra melotot tak percaya. "Sulit dipercaya!" Desisnya.
"Apa kau benar-benar tidak mengenali dia siapa?" Kata perawat itu setelah itu. "Tidak, siapa dia?" Balas Allegra sambil menggeleng.
"Gadis-gadis dikota ini menggilainya, dan kau terlambat mengetahuinya." Perawat itu tersenyum lagi, sambil membalut luka Allegra. "Selesai. Kau boleh pergi." Katanya.
"Kau belum jawab pertanyaan ku." Kata Allegra tetap duduk di tepi tempat tidur
"Tuan Altamirano, itu namanya." Perawat itu melangkah, membuka pintu. "Ayo."
Allegra keluar bersama perawat itu. "Sudah selesai. Sampai jumpa! Semoga lekas sembuh, Nona." Tutur Perawat itu sambil berlalu meninggalkan Allegra.
"Ayo kita pergi." Ajak pria itu.
Allegra naik ke mobil itu. "Kemana aku akan mengantar mu?" Tanyanya.
"Kau merusak pekerjaan ku. Harusnya hari ini presentasi ku selesai. Tapi kau menabrak ku. Menurut mu apa aku akan kembali ke kampus?" Allegra tak tahan untuk tidak meluapkan amarahnya.
Pria di sampingnya tersenyum. Gadis ini benar-benar galak. Dia berbeda.
"Maafkan aku, aku tak berniat merusak hari mu."
"Oh, ya ampun, ini sakit sekali." Gumam Allegra. Pria disampingnya melirik.
"Apa yang kau lihat?" Tanya Allegra. Spontan, pria itu salah tingkah. "Bawa aku ke rumah ku." Kata Allegra setelah itu.
Allegra menyebutkan alamat rumahnya. Dan laki-laki itu mengangguk. Setengah jam lamanya, mereka terdiam sampai mereka tiba.
"Biar ku bantu kau."
Kali ini Allegra tak menolak. Dia membiarkan pria itu membopongnya. "Tunggu sebentar, biar ku turunkan sepeda mu." Katanya lagi.
Allegra berdiri, membuka pintu dengan tangan sebelahnya. "Ya ampun, semuanya jadi sulit!" Umpat Allegra. Beberapa kali kunci itu tidak berhasil masuk. Sementara laki-laki itu mengeluarkan sepedanya. Allegra memperhatikan pria itu menempatkan sepedanya dipinggir dekat pagar.
"Letakkan saja disitu." Kata Allegra. Pria itu menurut. Meletakkan sepeda Allegra ditempat yang dimaksud. Lalu masuk ke dalam mobil lagi, mengambil sesuatu.
"Ini." Pria itu menyerahkan sekotak coklat untuk Allegra. Allegra menatapnya bingung.
"Apa ini?"
"Tanda perdamaian."
Allegra berdecak mengejek.
"Kau memberiku coklat?" Mata Allegra menyipit. Laki-laki itu mengangguk.
"Semua orang suka coklat."
"Tapi aku tidak. Ambil kembali coklat ini." Allegra menyerahkan kembali coklatnya pada pemuda itu. Laki-laki itu takjub.
"Kau wanita pertama yang tak suka coklat."
"Aku sedang diet."
Mendengar jawaban Allegra, pemuda itu tertawa. Allegra mendengus, tak suka ditertawakan. "Apa yang lucu, hah?"
"Baiklah, aku salah. Jadi, apa kita berdamai?" Laki-laki itu tersenyum. Allegra memperhatikan deretan gigi yang putih muncul dibalik senyum pemuda itu. Allegra melipat tangannya di dada.
"Entahlah." Allegra memutar badannya, hendak masuk ke rumah. Tapi pemuda itu masih berdiri menunggu jawabannya.
"Kau boleh pergi." Kata Allegra setelah itu. Allegra berdiri di depan pintunya.
"Tak menawari ku teh?" Laki-laki itu mencoba bersikap hangat. Tapi sebenarnya adalah, dia harus pergi sekarang. Jason sudah menunggu nya. Sudah pasti.
"Kita baru bertemu, dan itu karena kau menabrak ku."
"Biarkan aku kembali setelah urusan ku selesai, aku akan memperbaiki sepeda mu."
"Bagaimana jika kau berbohong?"
"Kau bisa ingat plat mobil itu."
"Bagaimana jika mobil itu bukan milik mu?"
Allegra benar, pemuda itu diam sebentar berpikir. Lalu melintas ide di kepalanya, dia berjalan mendekati Allegra.
"Ambil ini." Laki-laki itu mengeluarkan ponselnya. Allegra melihat ponsel itu. "Aku akan kembali untuk itu, jika kau tak percaya."
"Sepakat." Allegra mengambil ponsel dari tangan pria itu.
"Tunggu aku. Aku akan kembali."
Laki-laki itu bergegas naik ke mobil. Belum ada lima menit laki-laki itu pergi, ponselnya bergetar. Layarnya menampilkan seorang gambar anak laki-laki, tertulis Jason di situ. Ragu, Allegra mengabaikannya. Tapi rupanya telepon itu masuk lagi.
"Ayah, apa kau masih lama?" Begitu sapaan yang langsung terdengar. Suara anak laki-laki kecil. Allegra diam, bingung harus menjawab apa.
"Ayah?" Tanya nya lagi. Allegra mengambil nafas, lalu mulai bicara yakin. "Hai, aku Alle."
Anak laki-laki itu diam. Samar-samar suara orang lain terdengar berbicara. "Jason, siapa yang kau hubungi?"
"Ini bukan ayah, miss." Begitu anak laki-laki itu menjawab. "Biar aku yang bicara, berikan teleponnya."
Lalu suara itu berganti. "Halo, apa kau mendengar ku Will?"
Allegra berdehem, menjawab dengan ragu-ragu. "Hai, aku Alle."
"Alle? Siapa kau? Kemana Will?"
"Dia, dia sudah pergi. Maksud ku, dia meninggalkan ponselnya bersama ku."
"Bagus. Ya sudah kalau begitu."
Lalu telepon itu terputus. Allegra menyimpan ponsel itu dalam saku celana nya dan segera menutup pintu.
Dengan hati-hati Allegra melepas boot nya. Celana jeans nya lembab terkena salju di jalan saat terjatuh tadi. Beruntung karena tak ada memar berarti di kakinya.
Ponsel di saku milik pria itu bergetar lagi. Allegra mengeluarkannya dari saku dan melihat nama yang muncul di layar. Cecilia. Allegra menggeleng, tak ingin mengangkat. Allegra meletakkan ponsel itu di atas meja nya.
Langkahnya menuju dapur terhenti saat mendengar suara pintu diketuk.
"Alle! Buka pintunya! Kau menguncinya dari dalam!" Suara Lori!
Allegra cepat-cepat membuka pintu. "Alle? Apa yang terjadi?" Pertanyaan itu langsung dilontarkan Lori begitu melihat perban di tangan Allegra. Allegra bergeser mempersilahkan Lori masuk.
"Kau kembali, huh? Aku tak mendengar suara mobil mu."
"Aku meninggalkannya di kantor. Apa yang terjadi?"
"Kecelakaan kecil, jangan khawatir. Kau pulang lebih awal?"
"Aku ingin mengambil sesuatu yang tertinggal. Siapa yang melakukannya?" Lori menarik tangan Allegra melihat perban di sikunya. Allegra meringis.
"Kenapa tak menghubungi ku?" Begitu tanya Lori.
"Hanya luka kecil. Ambil barang mu, dan segera pergi. Aku baik-baik saja."
"Kau yakin?"
Allegra mengangguk. Lori masuk dengan cepat ke kamar, mengambil tas berisi kertas-kertas.
"Jaga diri mu baik-baik. Tunggu aku sampai pulang."
Lori mengecup pipi Allegra sekilas, lalu menutup pintu. Allegra akan masuk, tapi suara klakson mobil menghentikannya. Allegra mengintip. Laki-laki itu datang! Allegra segera membuka pintu. Laki-laki tadi keluar dan menghampiri Allegra.
"Biarkan aku membawa sepeda mu, akan ku kirim setelah semuanya kembali bagus." Tanpa persetujuan Allegra, laki-laki itu bergegas memasukkan sepedanya kembali.
Allegra mengambil ponsel pria itu. "Ini. Ada telepon masuk. Putra mu menelepon."
"Dia sudah bersama ku, terima kasih."
Allegra melirik ke mobil pria itu. Seorang anak laki-laki kecil turun dari mobilnya. Mungkin usianya empat tahun. "Ayah!" Ujar anak itu. Pria itu membalikkan badannya.
"Dia sudah memanggil ku, jadi apa aku bisa pergi?" Laki-laki itu meminta persetujuan Allegra.
"Ayah, aku ingin ke toilet" Anak kecil itu mendekati pria itu. Allegra tersenyum pada anak kecil itu.
"Ibu?" Pertanyaan polos anak kecil itu membuat Allegra kaget.
"Apa dia ibu ku?" Anak kecil itu bertanya polos. Pria itu salah tingkah, menggendong anak laki-laki itu.
"Ucapkan salam padanya."
"Hai." Anak itu menyapa Allegra.
"Apa dia Ibu, ayah?" Anak laki-laki itu mendesak jawaban ayahnya.
"Bisa aku memakai toilet mu?" Tapi pria itu tak menjawab pertanyaan putranya. Allegra tersenyum, membelai kepala anak kecil itu.
"Masuklah. Biar ku bawakan dia ke toilet."
Pria itu menurunkan anak laki-lakinya. "Aku akan bersama Ibu." Kata-kata anak itu membuat Allegra tertawa. Pria itu salah tingkah.
"Tak apa-apa, dia masih kecil." Kata Allegra mengerti pikiran pria itu.
Allegra menggamit lengan anak itu. "Siapa nama mu?" Tanya Allegra.
"Jason. Ibu tidak tahu?"
"Kau manis sekali. Biar ku bantu kau."
Tak lama mereka keluar dari toilet. Pria tadi berdiri memunggungi mereka tengah berbicara di telepon.
"Tangan Ibu sakit?" Anak kecil itu memperhatikan perban di tangan Allegra. Allegra menggamit telapak tangan kecil Jason. "Sedikit. Kau sangat perhatian."
"Ayah akan memperbaiki lukanya." Seketika itu juga tawa Allegra pecah, jawaban itu begitu polos. Allegra mengecup pipi anak itu, membuat keduanya dengan cepat menyatu.
"Kalian sudah siap?" Tiba-tiba pria itu datang. Mendekat untuk menarik tangan Jason.
"Ibu akan ikut bersama kita, ayah?" Jason bertanya. Pria itu menggendong putranya, mengecup pipinya gemas. "Mungkin sebaiknya tidak, ayah pikir." Jawaban pria itu membuat senyum anak kecil itu kecut. Allegra mengerti, lalu berinisiatif mengalihkan perhatian Jason.
"Mungkin sebaiknya kalian pergi, hujan akan datang." Allegra memandang keluar pintu. Langit mulai menggelap di siang hari.
"Ibu akan ikut, kan?"
Allegra bertatapan dengan pria itu. "Anak yang manis, kita akan berjumpa lagi, entahlah."
"Baiklah, kami akan pergi. Katakan 'sampai jumpa' nak."
Tapi rupanya Jason menggeleng. "Aku ingin tinggal bersama Ibu, ayah."
Allegra menarik nafas, bingung bersikap seperti apa. Pria itu kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Jason. Jason memainkan hidung ayahnya. Allegra menunggu keduanya.
"Sepertinya kalian harus cepat, sudah gerimis."
Pria itu memutar badan memandang keluar.
"Ayo Jason, sepertinya kita harus pergi." Pria itu berbicara pada anaknya.
"Biarkan aku mencium Ibu."
Allegra kaget, begitu juga pria itu. Pria itu memandang Allegra, meminta persetujuan. Allegra tersenyum. "Baiklah, biar ku cium kau laki-laki nakal." Allegra mendekat lalu mengecup pipi anak itu. Jason tersenyum lebar.
"Aku sayang Ibu." Bisik Jason. Allegra terenyuh mendengarkannya. "Aku juga." Jawab Allegra sambil mengedipkan mata. Jason tertawa.
"Apa ayah tidak mencium Ibu?"
Keduanya diam. Pria itu bingung. Inilah yang selalu dikhawatirkan William jika membawa Jason bersamanya.
"Ku pikir aku sedang flu." Jawaban Allegra akhirnya membuat Jason mengerti.