Chereads / After Morning Comes / Chapter 6 - Bab 5.

Chapter 6 - Bab 5.

Dua hari berlalu sejak Alle bersembunyi di tempat Vivian. Sesuai janjinya, Will menjemputnya. Banyak hal yang diceritakan Vivian kepada Alle. Rahasia tentang Will seakan tak habis. Dihari terakhir Alle akan pergi, Vivian mengajarkannya memasak sup yang Alle nikmati tempo hari. Vivian tak pernah bertemu gadis sesederhana Alle, dan itu membuatnya semakin ingin mengetahui tentang Alle.

Alle pamit dan memeluk Vivian. Wanita bertubuh gemuk itu masih melambai saat mobil sudah melaju dan hilang. Langit masih mendung bahkan disiang hari seperti ini. "Semoga tidak terjadi sesuatu pada mereka." Vivian memandang ke atas.

Alle sudah melepaskan perban ditangannya, karena lukanya sudah mengering. Tapi Will tak bermaksud mengungkit tentang luka yang diakibatkan nya. Alle memperhatikan pepohonan dikiri kanan jalan, diam menikmati alunan musik yang Will pasang di mobilnya.

Tak ada mobil yang melintas selain mobil Will. Pohon pinus yang menjulang ujung rantingnya ditutupi oleh salju. Pemandangan gunung yang samar-samar ditutupi oleh kabut awan membuat Alle tak sadar Will sudah berhenti mematikan mobilnya.

"Ada apa?" Alle melihat Will yang melepas sabuknya dan turun keluar.

"Ban nya kempes, sial." Will tampak kesal. Alle turun dari mobil.

"Apa kau tak membawa pengisi udara?" Will menggeleng. Alle mendengus. "Kita tunggu sampai mobil lain lewat." Kata Alle. Will mencoba menghubungi menggunakan ponselnya, sialnya tak ada sinyal ditempat seperti ini. Lagi-lagi Alle mendengus.

"Jadi bagaimana?" Mereka berpandang-pandangan. "Tak ada sinyal."Jawab Will. Gerimis mulai turun.

"Ayo masuk, gerimis." Alle dan Will sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Alle menunggu mobil lain lewat, tapi nihil. Hujan mulai turun deras, menambah udara semakin dingin. "Apa kau punya ban cadangan?" Tanya Alle kemudian. Bodohnya Will tak menyadari.

"Kau tak bisa memasangnya?" Kata Alle tak percaya. Will menggeleng. Gelegar petir membuat Alle dan Will tersentak. Alle tak punya pilihan, dia menarik nafas lebih dalam. "Aku bisa memasangnya." Will takjub dengan pendengarannya.

"Kau meragukan ku?" Alle tak suka tatapan pria itu. "Kau yakin turun di saat hujan seperti ini?" Tanya Will. Alle mengangguk. "Kau punya peralatannya bukan, Tuan Altamirano?" Ada nada mengejek dari cara Alle bertanya. "Tak ada pilihan, ayo bantu aku." Alle membuka pintunya, seketika itu hujan deras membasahi rambut Alle. Will turun membuka bagasi dan mengeluarkan payung untuk Alle. Laki-laki itu memayungi Alle.

"Kau yakin bisa menggantinya?" Teriak Will, tangannya memegangi payung sambil was-was melihat mobil yang mungkin akan melintas.

"Aku pernah bekerja sebagai montir!" Seru Alle. Kepalanya menyelinap masuk ke dalam kolong mobil. Gelegar petir tak membuat mereka takut. Will sudah basah memegangi payung selagi gadis itu mengganti ban mobilnya. Tangan gadis itu tampak terampil memutar, membuat Will kagum. Alle benar-benar perempuan yang tak biasa.

Tak sampai lima belas menit, Alle sudah berhasil menggantinya. "Sudah bisa, ayo coba." Alle buru-buru naik ke mobil. Badan mereka sudah basah terkena air hujan.

"Kau hebat." Puji Will sambil menyalakan mobilnya lagi. "Kita cari penginapan terdekat." Kata Will. Will melajukan mobilnya cepat seraya mencari pemukiman terdekat.

"Tak ada rumah penduduk di sekitar sini." Kata Alle.

"Bagaimana kau tahu?"

"Vivi mengatakannya."

Will diam. "Kita masih butuh empat jam untuk tiba di kota, Alle." Jelas Will. Gadis disampingnya mulai menguap. Alle melepas jaketnya. Pandangan pertama Will jatuh pada lekuk payudara gadis itu. Tak ingin bertindak diluar kendali, Will memilih fokus pada jalanan didepannya.

"Bisa berhenti sebentar, aku ingin mengganti baju ku?" Kata Alle. Will memarkirkan mobilnya. Alle memutar badannya, pindah ke tempat duduk belakang. "Aku harus ganti baju, bisa kau tutp mata mu sebentar?"

"Aku tak kan melihat." Jawab Will. Tapi dasar laki-laki di dunia sama saja, tak pernah ingin melewatkan kesempatan untuk melihat hal seperti itu.

"Will, kau mengintip." Kata Alle. Will tersenyum. Will ingin tahu rasanya menyentuh payudara Alle. Terlihat kencang dan padat. Gadis ini pastilah masih perawan, begitu asumsi Will. Alle menangkap bola mata Will tak berkedip memandang buah dadanya dari kaca spion depan.

"Aku bersumpah akan mencolok mata mu jika kau terus melihat ku!" Desis Alle. Will terkesiap, terkekeh dengan cara Alle. Alle melemparkan kaus kaki nya ke arah Will. "Tutup mata mu!" Ujar Alle. Will benar-benar tertawa sekarang. Will menyingkirkan kaus kaki itu cepat, tak ingin melewatkan cara Alle menurunkan celananya. Gadis itu nyaris telanjang sekarang. Tergiur, Will berfantasi melihat karet celana dalam gadis itu. Alle tak sadar jika Will menelan ludahnya berulang kali.

"Bisa pakai yang cepat!" Nada suara Will terdengar frustasi. Alle mengeluarkan bra nya dari ransel, berniat menggantinya dengan yang basah. "Oh, tidak gadis nakal. Jangan pakai di depan ku!" Sergah Will.

"Kau bisa tutup mata mu." Desis Alle. "Aku tak bisa." Jawab Will cepat. Alle melemparkan scarf ke arah Will. "Pakai ini untuk menutup mata mu."

Will menutup matanya. Alle masih melepas branya dan segera menggantinya. "Apa kau tidak bisa lebih cepat sedikit, Nona?" Tanya Will.

"Sudah." Kata Alle. Alle berpindah ke depan. "Giliran mu, kau harus lepaskan pakaian basah mu. Aku tak ingin ambil resiko terjadi sesuatu pada mu, aku tak bisa menyetir." Will berpikir sejenak. Perkataan Alle ada benarnya. "Aku tak bawa baju ganti."

"Aku punya kaus, bisa kau pakai." Alle menyerahkan kaus ke pangkuan Will. Will menimbang ukurannya. "Tak muat, sudahlah."

Will kembali melajukan mobilnya, sementara Alle mengeringkan rambutnya. Sudah lebih sejam, pakaian Will masih basah. Alle mulai khawatir melihat perubahan warna bibir pria itu. "Kau ingin sesuatu? Mungkin berhenti sebentar." Alle melirik Will.

"Kita akan sampai dua jam lagi. Jika kita tidak berhenti." Terang Will. Alle tak yakin, tapi tak ingin menyanggah ucapan pria itu. Kabut tebal mulai menghalangi jarak pandang Will. Will mulai merasa pening yang hebat dikepalanya. Tapi, tak berniat untuk berhenti.

Will bersin, membuat Alle kaget. "Kau pucat sekali, Will." nada suara Alle terdengar cemas. Alle mengulurkan telapak tangannya ke pelipis pria itu, sontak membuat Will terkesiap. "Astaga, kau panas sekali!"

Dengan cara memaksa, akhirnya Will mau menepikan mobilnya disalah satu tikungan. Langit sudah gelap, salju semakin menutup badan jalan. "Kita harus lanjutkan Alle! Sudah badai!" Will mulai meninggikan suaranya, tapi masih terdengar serak.

"Tapi ini akan memperburuk kondisi kesehatan mu!"

"Kita bisa berhenti sebentar lagi, mungkin ada motel untuk kita." Will melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, menembus salju yang mulai menutup jalan. Alle sendiri tak gelisah dengan keadaan Will.

Benar saja, tak sampai setengah jam setelah itu, mereka menemukan stasiun pengisian bahan bakar. Sepi di malam salju seperti ini. "Tak akan ada yang mengenali mu disini." Alle keluar menghampiri seorang laki-laki yang tengah berdiri di dekat mereka. Wajahnya terasa sangat menakutkan bagi Alle. "Permisi, tuan. Aku ingin tahu apakah ada motel terdekat di sini?"

Laki-laki itu memandan Alle dengan pandangan meneliti, lalu pandangannya beralih pada mobil Will. "Kira-kira seratus meter lagi, kalian akan temukan motel." Alle mengucapkan terima kasih dan segera masuk ke mobil. Tapi belum sempat Alle masuk, pria itu memanggilnya lagi. "Hey, Nona!"

"Ada apa?"

"Aku seperti mengenal mu."

Alle diam, mengabaikan rasa cemasnya. "Mungkin kau salah orang, tuan!" Alle buru-buru masuk ke mobil. Menyuruh Will untuk segera meninggalkan tempat itu. Beruntunglah karena ucapan pria tadi benar, mereka menemukan motel. Sayangnya, Will tau sekali jenis motel apa yang akan mereka singgahi. Tapi kondisi kesehatannya saat itu membuat Will tak ingin bertengkar.

"Bagaimana kita akan masuk ke dalam?" Tanya Alle.

"Kita masuk saja. Kita suap mereka."

"Bagaimana jika paparazzi mengikuti kita?"

"Tak ada paparazzi di tempat murahan seperti itu selain mereka butuh hiburan malam."

Alle masuk ke dalam motel dengan sedikit bergidik ngeri karena takut seseorang memergokinya bersama sang milyuner. Beruntung tak ada orang, ini memuluskan kedatangan mereka. Dengan sedikit bernegosiasi pada pihak motel, Alle berhasil membawa Will masuk bersama perlindungan tiga orang pengawal.

Alle mengunci pintu itu, ruangannya tampak sederhana. Bau rokok tercium bercampur aroma alkohol. Tempat ini pasti barusan ditinggalkan. Alle dengan sigap melepaskan baju pria itu. Will tak berusaha menghentikan tangan Alle yang membuka paksa bajunya. "Lepaskan sepatu mu, Will." Kata Alle. Will tak punya daya, dia kedinginan. Will merebahkan badannya di ranjang sederhana itu. Karena Will tak bergerak, Alle melepaskan sepatu laki-laki itu.

"Aku akan pesankan minuman panas." Kata Alle setelah itu. Tapi Will menarik tangan Alle. "Aku baik-baik saja, Alle." Gumam Will. Tapi Alle melihat ketidakberdayaan pria itu. Jadi Alle menarik selimut dan menutupi tubuh Will. Panas badan Will membuat Alle semakin cemas dan panik.

Alle beringsut di tepi ranjang. Membuka bajunya. "Mau apa?" Will bertanya. Tapi menggeser badannya. "Menghangatkan mu." Jawab Alle.

Alle membuka selimut itu, berbaring disamping pria itu. Will membiarkan Alle menarik lengannya. "Peluk aku." Bisik Alle. Andai saja Will punya kekuatan, Will akan senang hati melakukannya. Tubuh ramping gadis itu menekan badan Will. Will merasakan rambut Alle yang tergulung rapi mulai rusak saat berbaring.

Will ingin katakan jika saja dia punya sedikit kekuatan, Will akan memaksa gadis itu untuk memenuhi kebutuhan biologis nya malam ini. Sayangnya Will tak ingin menghancurkan hidup Alle. Alle tak mungkin menerimanya. Juga Jason.

"Kau tau, Alle?" Will berbisik. "Ya?" Jawab Alle. Kulit badan Will terasa lembab dan panas. Dan Alle tak ingin bertindak agresif. Alle harus tahu batasannya.