Clara dan Viona yang mendengar teriakan seseorang tentang kedatangan polisi pun ikut menjadi panik. Clara dan Viona kesulitan berlari karena mereka memakai heels tinggi.
"Sial! Kenapa harus ada Polisi segala, sih?" kesal Viona.
"Semuanya diam di tempat!" teriak seorang Polisi.
Clara dan Viona sontak terdiam kaku.
"Vi, kamu tak konsumsi narkoba bukan?" tanya Clara.
"Tentu saja tidak. Gila saja aku mengkonsumsi obat-obatan terlarang seperti itu!" ucap Viona.
Clara bernapas lega. Dia pun tak mengkonsumsi obat-obatan terlarang, biarkan saja Polisi menjalankan tugasnya. Paling tidak dia hanya akan diperiksa setelah itu akan dilepaskan, pikirnya.
Polisi meminta para wanita untuk ikut ke Kantor Polisi. Clara dan Viona menolak. Untuk apa mereka harus ikut? Pasalnya mereka bukanlah seorang penjahat.
"Kalian berada di tempat seperti ini, bukannya berada di rumah saja diam!" ucap salah satu Polisi.
Clara dan Viona saling tatap. Merasa heran dengan ucapan Polisi itu. Mereka bukanlah anak dibawah umur, mereka sudah cukup umur dan wajar jika datang ke tempat seperti itu. Lagi pula, apa Polisi itu tak bisa melihat berapa usia Clara dan Viona dari raut wajah.
Ah, memang Clara ini terlihat imut dan manis, ditambah tubuhnya yang tak terlalu tinggi membuatnya tampak awet muda.
"Kami ke sini untuk melakukan razia prostitusi dan obat-obatan terlarang. Ada laporan dari salah satu pihak, karena itu ikutlah ke Kantor Polisi dan jangan mempersulit pekerjaan kami," ucap Polisi.
Clara menelan air liurnya. Mereka digelandang menuju Kantor Polisi. Mereka tak mengatakan apapun lagi.
***
Di Kantor Polisi.
Clara dan Viona masing-masing duduk di depan Polisi yang berbeda. Mereka tengah berada di ruang interogasi.
"Tunjukan Kartu Tanda Pengenal mu!" pinta Polisi pada Clara.
Clara mencari Kartu Tanda Pengenal di tasnya. Dia terus mencari tetapi tak menemukannya.
"Astaga. Bagaimana mungkin aku lupa membawa dompetku," kesal Clara.
Clara benar-benar ceroboh karena bepergian tanpa membawa Kartu Tanda Pengenal.
"Maaf, Pak. Saya lupa membawanya," ucap Clara.
"Yang benar saja. Ceroboh sekali pergi tanpa membawa kartu identitas. Bagaimana jika terjadi sesuatu di jalan dan tak ada yang mengenalimu karena kecerobohanmu?" ucap Polisi.
Clara terdiam, dia tak mengatakan apapun. Memang salahnya juga.
"Hubungi orang rumahmu, dan suruh datang kemari untuk membawakan kartu identitasmu!" pinta Polisi.
Clara tak mungkin menghubungi orang rumah, tak ada siapapun di sana.
'Ya, Dante. Dia di rumah,' gumam Clara.
Sesaat kemudian Clara teringat bahwa Dante sedang dalam pengaruh obat tidur.
Tapi tak peduli, Clara akan mencoba menghubungi Dante.
Clara menghubungi nomor Dante, hingga beberapa detik panggilan itu belum juga terjawab. Clara mencobanya lagi, tetapi lagi-lagi tak ada respon dari Dante.
'Aku meneteskan delapan tetes obat tidur di minuman Dante. Itu artinya, dia akan tertidur selama delapan jam ke depan,' batin Clara.
Clara merutuki kebodohannya. Kini dia merasa kesulitan sendiri. Dia juga tak mungkin meminta bantuan pada Bram. Sudah jelas Bram akan marah dan dunia akan tahu hubungannya dengan Bram.
"Tak ada yang menjawab panggilanku. Sepertinya, orang rumahku sedang sibuk," ucap Clara beralasan.
"Kalau begitu, untuk malam ini kamu tidur di sini," ucap Polisi.
"Apa?" Clara terkejut. Dia tak ingin tinggal di penjara. Bisa hancur reputasinya.
"Tidak. Saya bukan penjahat!" tolak Clara.
"Kamu baru bisa pergi dari sini, setelah menunjukan kartu identitasmu!" ucap Polisi.
Polisi meminta Polisi lainnya untuk memasukan Clara ke ruang tahanan sementara. Jelas Clara memberontak.
"Oke tunggu! Aku akan mencoba menghubungi temanku!" ucap Clara.
Polisi itu terdiam, mengizinkan Clara menghubungi temannya.
Clara menghubungi Bram. Satu kali panggilan, tetapi tak terjawab. Clara mencobanya lagi, dan lagi-lagi tak terjawab.
'Oh ayolah, Bram. Tolong aku,' batin Clara.
'Halo,"
Clara bernapas lega kala Bram menjawab panggilannya.
'Bram, tolong aku,' ucap Clara gugup.
'Ada apa denganmu? Kenapa panik seperti itu?' tanya Bram.
'Aku di Kantor Polisi,' ucap Clara.
'Apa? sedang apa kamu di sana?' tanya Bram heran.
'Nanti kujelaskan. Aku kesulitan pulang karena tak membawa kartu identitasku. Aku lupa,' ucap Clara.
'Bodoh! Kenapa menghubungiku? Di mana Dante? Aku mempekerjakannya bukan untuk diam saja,' kesal Bram.
'Dia ada di apartemen. Aku mohon, bantu aku Bram. Aku tak ingin tinggal di sini malam ini,' ucap Clara.
Bram mendengus kesal dan mematikan telepon itu.
"Tunggu sebentar lagi, temanku akan datang membawakan kartu identitasku," ucap Clara melihat para Polisi di sana.
Polisi menyuruh Clara duduk kembali sambil menunggu kartu identitasnya sampai.
***
Di sisi lain.
"Kamu mau ke mana?" tanya Anita ketika baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai bathroobs.
Bram memakai jaketnya dan mengambil kunci mobilnya. Ya, mereka masih berada di hotel.
"Aku ada urusan. Tak usah menungguku. Kamu lelah baru saja selesai pemotretan. Aku mungkin akan lama di luar," ucap Bram dan bergegas keluar dari kamar hotel.
Bram pergi menuju mobilnya dan melajukannya menuju apartemen Clara.
****
Sesampainya di apartemen, Bram masuk dengan terburu-buru. Apa saja yang di lakukan pesuruhnya itu hingga dia tak mengikuti Clara saat pergi keluar? Seharian ini pun Bram tak melihat cctv karena sibuk bekerja.
Bram terkejut melihat Dante tengah tertidur di sofa ruang tamu. Bram mengepalkan tangannya.
Plak!
"Dasar tak berguna!" Bram menampar pipi Dante, tetapi Dante tak bergeming.
Bram semakin kesal dibuatnya.
Bugh!
Bram menendang perut Dante membuat Dante terbangun kali ini. Dante mengerjapkan matanya. Sesaat kemudian barulah dia merasa pipinya sedikit perih dan perutnya terasa sedikit ngilu.
"Dasar bodoh! Aku membayarmu untuk bekerja! Bukannya untuk tidur dan lalai dari tugasmu mengawasi Clara!" bentak Bram.
Dante terperanjat dan bergegas bangun. Dia berdiri di hadapan Bram. Tak berani menatap Bram. Dia saja tak sadar bisa tertidur dan tak tahu apa yang terjadi dengan Clara.
"Maaf, Tuan. Saya tak sadar tertidur," ucap Dante.
"Alasan! Apa kamu tahu, Clara pergi dari apartemen, dan kamu justru enak-enakan tidur di sini!" geram Bram.
Dante terkejut. Dia mencoba mengingat kejadian terakhir kali. Dante melihat cangkir yang ada di atas meja.
"Maafkan Saya. Tapi, terakhir kali Nona Clara mengatakan akan beristirahat dan dia memberikan Saya secangkir teh hangat ini. Setelah itu, Saya tak ingat apapun," ucap Dante.
Bram mengerutkan dahinya. Dia melihat cangkir yang ada di meja. Bram bergegas pergi menuju kotak obat, kotak itu terbuka. Pandangannya tak sengaja melihat ke atas meja di dekat peralatan masak. Bram mengambil botol kecil. Dia mengepalkan tangannya.
'Benar-benar pembangkang! Bahkan setelah aku memberikanmu pelajaran kemarin itu masih tak cukup untukmu!' geram Bram. Bram sudah menduga apa yang dilakukan Clara.
Bram bergegas menuju kamar dan mencari kartu identitas Clara. Dia mengambilnya.
Plak!
Kartu itu dilemparkannya ke atas meja ruang tamu.
"Bawa itu. Urus Clara di Kantor Polisi, dan bawa dia kembali ke sini dengan cepat!" ucap Bram.
"Baik, Tuan. Saya permisi," Dante mengambil kartu identitas Clara dan keluar dari apartemen. Dia memegang perutnya. Semakin lama rasa sakit akibat tendangan Bram semakin terasa.
Sementara di dalam apartemen.
Bram pergi ke kamar Clara. Dia membuka gorden jendela kamar itu dengan perasaan kesal dan berdiri menatap keluar apartemen. Entah apa yang dia pikirkan saat ini, satu hal yang pasti. Dia benar-benar marah pada Clara.