Keesokan harinya.
Clara membuka matanya. Dia teringat kejadian di mana Bram tidur sambil memeluk dirinya semalam. Clara melihat ke samping. Bram tidur dengan posisi tak lagi memeluk Clara. Dia tidur menyamping menghadap Clara.
Clara menatap lekat wajah pulas Bram.
'Tampan,' gumam Clara.
Clara akui Bram memang tampan. Dia sempurna secara fisik dan mapan. Hanya saja, Bram tempramen akhir-akhir ini.
Clara tersenyum menatap wajah Bram. Seketika dia menggelengkan kepalanya dan beranjak bangun dari tidurnya. Dia duduk sejenak.
"Yang benar saja. Kenapa aku jadi senyum-senyum sendiri melihat wajahnya," ucap Clara.
Clara pergi menuju kamar mandi, dia membersihkan tubuhnya. Dia akan ke Butik. Dia akan mulai membuat gaun pernikahan Anita dan jas untuk Bram.
Selesai mandi, Clara memakai pakaian cukup santai. Hanya celana jeans panjang dan kaos berlengan pendek yang sedikit longgar di tubuhnya. Dia merias wajahnya dengan riasan natural, dan mengikat cepol rambutnya. Setelah itu, dia pergi menuju dapur dan membuat sarapan.
"Selamat pagi, Nona Clara," sapa Dante yang baru saja selesai jogging. Dante sengaja memanfaatkan waktu pagi harinya untuk berolah raga sebentar sebelum jam kerjanya dimulai.
"Pagi," jawab Clara tersenyum.
Clara sampai di dapur, dia memakai apronnya. Sedangkan Dante bersiap di kamarnya.
Karena Bram tak membuat Clara kesal semalam, Clara juga akan membuatkan sarapan untuk Bram. Clara membuat dua porsi sandwich untuknya dan untuk Bram. Setelah itu, dia membuat secangkir kopi untuk Bram dan menatanya di meja.
Clara teringat pada Dante, tak ada salahnya dia juga membuatkan sarapan untuk Dante. Dia membuat satu porsi sandwich lagi untuk Dante dan secangkir kopi.
Selesai membuat sarapan, Clara pergi menuju kamarnya. Dia ingin lihat apa Bram sudah bangun atau justru masih terlelap.
Clara mengerutkan dahinya ketika sampai di kamar tetapi melihat Bram masih terlelap. Sepertinya, Bram terlalu menikmati tidurnya hingga bangun terlambat.
Clara mendekati Bram, dia mengguncang lengan Bram mencoba membangunkan Bram. Bram membuka matanya, dia menatap Clara.
"Sepertinya, kamu bermimpi indah hingga enggan bangun dari tidurmu," ucap Clara tersenyum.
Bram tersenyum mendengar ucapan Clara.
"Apa kamu sudah mandi?" tanya Bram.
"Hm ... Bangunlah, aku sudah buatkan sarapan. Kamu akan ke Kantor, kan?" ucap Clara.
Bram bangun, dia duduk sejenak sebelum akhirnya beranjak dari tempat tidur.
"Clara!"
"Ya," Clara melihat Bram tampak bingung ketika Bram mengayunkan tangannya meminta Clara mendekat padanya.
Clara mendekati Bram.
"Aku ingin ciuman di pagi hari," ucap Bram.
Clara membulatkan matanya. Bram ada-ada saja, biasanya juga tak perlu mengatakannya dia akan langsung menerkam Clara.
"Kamu baru bangun, aku tak ingin melakukannya," ucap Clara.
Bram tersenyum dan mendekatkan pipinya.
"Cium pipiku, Clara! Sekarang!" pinta Bram.
Clara menghela napas. Dia tak ingin melakukannya. Clara akan keluar dari kamarnya tetapi Clara terkejut ketika Bram dengan cepat mengangkat tubuhnya dan menghempaskannya ke atas tempat tidur.
"Yang benar saja, Bram. Ini masih pagi!" kesal Clara.
"Aku hanya memintamu mencium pipiku, aku tak ingin melakukannya lebih dulu," ucap Bram.
"Apa jika aku mencium pipimu, lalu kamu akan berhenti menggangguku?" tanya Clara.
"Mungkin, aku tak yakin," ucap Bram ragu.
Clara mendorong tubuh Bram.
"Kalau begitu, aku tak mau mencium pipimu," kesal Clara.
Bram tersenyum. Dia mencium leher Clara membuat Clara terkekeh geli.
"Cium aku, please," ucap Bram memelas memasang wajah sok cute.
"Apa-apaan ekspresimu itu? Menggelikan sekali," ucap Clara terkekeh.
Bram lagi-lagi mendekatkan pipinya ke wajah Clara. Clara mengangkat kepalanya dan mendaratkan ciuman di pipi Bram.
Bram tersenyum senang. Konyol sekali rasanya dia meminta hal itu pada Clara. Itu karena Clara jarang sekali melakukannya lebih dulu.
Bram bangun, dia pergi ke kamar mandi.
'Dia benar-benar aneh,' gumam Clara dan keluar dari kamar. Dia tak menyiapkan pakaian untuk Bram dan memilih menunggu Bram untuk sarapan di meja makan.
Sementara itu, Dante sudah rapi dengan stelan jas kerjanya. Dia juga tampak tampan dan seperti bukan seorang bodyguard saja.
"Dante, aku sudah siapkan sarapan untukmu. Sarapanlah!" ucap Clara.
Dante terdiam. Baik sekali Nonanya itu.
"Saya tak berani memakannya," ucap Dante.
Clara mengerutkan dahinya.
"Kenapa?" tanya Clara.
"Saya takut, Anda memasukan sesuatu lagi sama seperti ketika malam itu, memasukan sesuatu ke dalam minuman Saya," ucap Dante.
Entah mengapa Dante begitu berani mengatakan semua itu, membuat Clara merasa bersalah.
"Maaf, itu kesalahanku. Tapi, kali ini aku tak memasukan apapun. Percayalah," ucap Clara.
Dante tersenyum. Dia mengambil sepiring sandwich yang sudah Clara siapkan dan secangkir kopi.
"Kalau begitu, Saya akan memakannya didekat kolam. Anda nikmatilah sarapan Anda bersama Tuan Bram," ucap Dante dan pergi meninggalkan Clara.
Benar saja, Dante pergi menuju kolam renang dan duduk di kursi. Dia memakan sarapannya di sana.
Beberapa saat menunggu Bram, akhirnya Bram sudah selesai. Dia sudah rapi dengan stelan formalnya.
Bram duduk di meja makan. Dia duduk di kursi utama kali ini. Tak seperti biasanya dia akan duduk berhadapan dengan Clara.
Bram menyesap kopinya yang sudah hangat. Kemudian dia menyantap sarapannya.
Ditengah sarapan, Bram mendapatkan panggilan telepon. Terlihat nama Anita di layar ponselnya. Bram membiarkan panggilan itu begitu saja. Hingga dua kali Anita menghubunginya tetapi Bram tetap tak menjawab panggilan telepon itu.
Tak lama, panggilan masuk dari kontak sang papi, yang artinya orangtua Bram. Bram melap mulutnya menggunakan tissue dan menjawab panggilan tersebut. Clara hanya diam tak peduli Bram bicara dengan siapa.
'Ya, hallo,'
'Bram? Kamu di mana? Maminya Anita masuk Rumah Sakit,' ucap sang papi.
'Lalu?' Bram tampak bingung, dia tak peduli pada orangtua Anita, lalu kanapa sang papi justru mengatakan semua itu padanya.
'Bagaimana kamu ini, dia calon mertuamu. Datanglah ke Rumah Sakit. Shubuh tadi dia dilarikan ke Rumah Sakit. Papi akan menyusulmu,' ucap sang papi.
'Hari ini aku sibuk, tak bisa datang,' ucap Bram.
'Jangan begitu Bram. Kamu sendiri yang memutuskan untuk menikahi Anita. Jadi, kamu pun harus menghormati Orangtua Anita!' tegas sang papi.
Bram menghela napas.
'Ya, baiklah. Aku akan ke sana,' ucap Bram mulai kesal.
Bram mematikan telepon itu, bahkan disaat sang papi masih bicara. Bram tak suka ada yang mengatur dirinya sekalipun orangtuanya.
'Benar-benar merepotkan!' gumam Bram kesal.
"Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Clara.
"Bukan apa-apa, aku akan pergi," ucap Bram dan pergi meninggalkan Clara di meja makan. Bram pergi dari apartemen Clara.
***
Sesampainya di Rumah Sakit.
Bram bergegas menuju ruang rawat mami Anita. Dia sana ada Anita dan papinya.
'Selamat pagi,' sapa Bram tersenyum.
'Selamat pagi, Nak Bram. Senang sekali dikunjungi dirimu," ucap papi Anita.
Bram tersenyum. Dia mendekati Anita dan berdiri di samping Anita.
"Bagaimana keadaan Mami mu? Dia sakit apa?" tanya Bram.
"Mami mengalami serangan jantung shubuh tadi, dan kini belum sadarkan diri," ucap Anita.
Bram terdiam. Terlihat wajah sedih Anita. Namun, Bram bukan orang yang mudah simpatik. Wajahnya tampak datar melihat calon istrinya itu tampak sedih.
Tak lama, mami Anita siuman. Dia meminta Anita dan Bram mendekatinya.
"Apa Mami boleh meminta tolong?" tanya mami dengan nada lemah pada Anita dan Bram.
"Ya, tentu saja. Katakan, Mam," ucap Anita.
"Mami ingin melihat kamu menikah saat ini juga, dengan Bram," ucap sang mami.
Bram terperangah mendengar permintaan maminya Anita. Yang benar saja dia harus menikahi Anita saat itu juga.
"Maaf? Apa maksud Anda? Kita masih memiliki waktu untuk pernikahan," ucap Bram tak terima.
"Tapi, waktu Mami tak banyak lagi, Bram," ucap mami Anita.
Anita membulatkan matanya. Dia menarik Bram keluar dari ruang rawat itu.
"Bram, aku mohon. Nikahi aku sekarang. Aku sangat menyayangi Mamiku," ucap Anita sedih.
Bram mengusap wajahnya kasar.
"Aku tak bisa Anita. Pernikahan bukan hal main-main. Masih ada beberapa bulan hingga kita akan menikah. Bukan sekarang, aku tak bisa! Kita perlu persiapan matang!" tegas Bram.
Anita akan menjawab ucapan Bram, tetapi tiba-tiba saja terdengar seseorang bicara.
"Jangan egois, Bram!" ucap papi Bram yang baru saja tiba di Rumah Sakit.
Bram dan Anita melihat sang papi.
"Apa maksud Papi?" tanya Bram bingung.
"Sekarang atau beberapa bulan ke dapan, pada akhirnya kalian akan menikah. Lebih cepat lebih baik. Apa salahnya, kamu memenuhi permintaan maminya Anita," ucap sang papi.
Bram terdiam. Benar, sekarang atau nanti Bram akan tetap menikah dengan Anita. Hanya saja, rasanya Bram sulit percaya bahwa dia akan menikah saat itu juga.
Terdengar alarm darurat, papi Anita berteriak histeris ketika mami Anita mengalami kejang dan sesak napas. Bram, Anita dan papi Bram sontak berlari masuk ke ruang rawat melihat keadaan mami Anita.
Bram menelan air liurnya melihat mami Anita dalam keadaan sekarat.
"Tolong, panggilkan Pendeta!" ucap Bram.
Semua yang ada di ruangan itu melihat ke arah Bram. Bukannya meminta dipanggilkan Dokter, Bram justru meminta seorang pendeta untuk datang ke Rumah Sakit.
"Ya, aku akan menikahi Anita sekarang!" ucap Bram.
Entah mengapa, melihat keadaan mami Anita yang tengah sekarat membuat Bram berani mengambil keputusan besar itu dan memutuskan untuk melakukannya hari itu juga.