Duk! Hemlock memegang kepalanya dan menggosoknya perlahan. Dimana ini?tanyanya dalam hati. Gelap dan sempit. Aku bahkan tidak bisa merubah posisi dudukku, ujarnya dalam hati. Ia memejamkan matanya, menajamkan pendengarannya. Suara sepatu kuda dan roda kereta yang berbenturan dengan jalanan tertangkap di telinganya. Kereta kuda?
Tak. Kriet. Keretanya berhenti? Ada apa? "Mohon berhenti!"ujar seorang prajurit sembari menghalangi kereta kuda. "Ada apa?"tanya sang kusir. "Kami mendapat laporan bahwa tamu kehormatan Yang Mulia, Hemlock dari Frauwt telah diculik beberapa saat yang lalu."jelasnya. Pfft! Tamu kehormatan? Bukankah lebih tepat jika disebut tahanan?ujar Hemlock dalam hati.
"Apa? Hemlock...yang itu?"tanya sang kusir dengan suara kecil. "Benar, kami telah diperintahkan untuk memeriksa dengan teliti setiap kendaraan maupun orang-orang yang keluar masuk, mohon kerjasamanya."
"Apakah ada masalah?"tanya seorang pria dari dalam kereta kuda. "Kami harus memeriksa kereta kuda Anda, mohon kerjasamanya."ujar prajurit tersebut. "Baiklah, mohon maaf nona, perjalanan Anda menjadi tertunda."ujarnya pada seorang gadis yang duduk tepat di depannya.
"Tidak masalah,"jawab sang gadis. Sang pria keluar terlebih dahulu, membuka pintu dan mengulurkan tangannya. Sang gadis menggenggam tangan sang pria dan keluar dengan anggun. Rambut pirangnya yang panjang diikat dengan rapi. Kulitnya yang putih pucat dengan paras memukau menarik perhatian setiap orang yang melihatnya.
Namun ketika ia membuka matanya, semua orang terburu-buru kembali ke pekerjaannya. Seakan-akan, mereka tak pernah melihatnya.Mata merah keunguan. Sepasang bola mata yang bahkan sanggup membuat para prajurit yang melihatnya terjatuh lemas. "Maafkan kami! Silahkan melanjutkan perjalanan Anda!"ujar sang prajurit sembari bersujud.
"Tidak bisa!"ujar seorang pria yang tiba-tiba muncul. Rambutnya hitam, badannya tinggi tegap dan wajahnya memancarkan ketegasan. "Tak ada pengecualian untuk siapapun, tidak bahkan untuk putri Duke Higan sekalipun."katanya dengan tegas. "Ta...tapi, ketua!"kata sang prajurit lagi. "Jika dalam 5 detik aku tak melihatmu memeriksa kereta kuda itu, kau tau kemana kau akan ditempatkan."ujarnya dengan nada mengancam.
"Tidak apa, periksalah. Aku tidak ingin dicurigai."ujar sang gadis sembari tersenyum. "Ba...baik!"ujarnya sembari menghormat. Ia memeriksa setiap bagian kereta kuda dengan gemetar. Tak lama kemudian, sang prajurit kembali mempersilahkan mereka masuk.
"Terimakasih atas kerja kerasnya,"ujar sang gadis sembari kembali masuk ke dalam kereta kuda. "Allen, lanjutkan perjalanan."ujarnya pada sang kusir. "Baik, putri." Seluruh prajurit menunduk, kecuali sang ketua. Tak ada yang mengangkat wajahnya sebelum kereta kuda tersebut melaju.
"Siapa yang bertanggung jawab di sini?"tanya seseorang. "La...laksamana!" Ketua prajurit berlari ke arahnya dan menghormat. "Egad, aku bukan seorang Laksamana lagi sekarang. Panggil aku Ricinus, mengerti?"ujar Ricinus sembari tersenyum. "Mengerti," Ricinus memandang kereta kuda yang melaju dari dalam gerbang.
"Kau sudah memeriksa yang itu?"tanyanya sembari menunjuk kereta kuda yang tadi. "Sudah dan ada yang ingin kutanyakan."ujar Egad. "Bicaralah,"balas Ricinus. "Apakah kerajaan mengeluarkan surat dinas kerja untuk keluarga Duke Higan hari ini?" Ricinus mengangguk. "Ya, tepatnya untuk putri Duke Higan, Calla Cytherea Higan."jelasnya. "Baiklah, kalau begitu."kata Egad menutup pembicaraan.
Negara Iloa, negara perbatasan yang memisahkan Eleanor dan Riff.
Kereta kuda Calla tiba di depan sebuah penginapan. Weber memasuki kantor cabang dan memanggil beberapa pekerja. Mereka membawa keluar kotak yang tersembunyi di dalam tempat duduk dan membawanya masuk ke dalam penginapan. Tentu saja, penginapan tersebut juga milik keluarga Higan.
"Saya akan menjemput Anda dua hari lagi, sesuai dengan titah Yang Mulia Raja."kata Allen sembari menunduk. "Weber, tolong jaga nona Calla dengan baik."ujarnya. "Lakukan saja tugasmu dengan benar dan kembalilah ke Eleanor dengan selamat, cerewet."ujarnya. "Baiklah, saya pamit, nona."kata Allen sembari beranjak pergi.
"Nona Calla? Opal akan membimbing Anda menuju kamar."ujar resepsionis sembari memberikan kunci. "Selamat malam, mari ikuti saya,"ujar Opal sembari membungkuk. Opal menyalakan lampu minyak dan membimbing mereka berdua menuju sebuah kamar yang berada di paling ujung. Ketiganya masuk dan mengunci pintu dengan pelan.
Calla mengangkat permadani yang menutupi lantai dan memasukkan kunci yang diberikan Opal ke dalam sebuah lubang kunci di lantai. Sebuah pintu rahasia terlihat. Opal membukanya dan beranjak turun terlebih dahulu.
"Weber, keluarkan Hemlock, namun jangan lepas penutup matanya."kata Calla sembari memasuki pintu rahasia tersebut. Weber mengangguk. Ia membuka pintu dan mengeluarkan Hemlock, masih dengan penutup matanya. Ia menuntunnya memasuki pintu rahasia dan menuruni tangga setelah menutup pintunya.
Opal menyalakan sebuah obor dan memimpin jalan. Sebuah pintu dari kayu terlihat dari kejauhan. Tok! Tok! Tok! Sret! Sebuah papan kayu yang terletak sejajar dengan mata, bergeser. "Sebutkan sandinya,"kata seseorang dari balik pintu. "Naele," Klak! Klang. Klang. Klang. Klak! "Senang melihat Anda kembali, ketua dan wakil ketua."kata sang perempuan.
"Beri Opal dan orang ini sebuah ruangan untuk bicara. Kumpulkan orang-orang, ada yang ingin ku katakan." Sang perempuan mengangguk dan memberikan sebuah kunci ruangan pada Opal. Opal menggandeng tangan Hemlock dan membawanya pergi. Sesampainya di kamar, Opal melepaskan kain yang mengikat mulut Hemlock kemudian melepas penutup matanya.
Hemlock tak mempercayai apa yang ada di hadapannya. Tidak, tak mungkin dia ada di sini. Perempuan tadi pasti sudah memberiku semacam obat. Ya, aku pasti berhalusinasi sekarang. Hemlock memandang Opal tanpa berkedip. Apakah aku masih bermimpi? Apakah ini nyata?
"Ibu?"