Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 133 - Chapter 23: Collaboration

Chapter 133 - Chapter 23: Collaboration

Oleh: Manggala Kaukseya

Kami pun segera berangkat menuju Aeris, desa yang berada di timur laut Mitralhassa, pelabuhan yang juga merupakan tangga menuju kota Angkasa.

Tim kami berangkat dengan Dakruo, sementara tim 39 dengan kereta Talaria. Jalan-jalan di wilayah Mitralhassa dibuat luas guna memperlancar sarana transportasi barang layaknya hasil tambang, jadi kami bisa berkendara berdampingan.

Dakruo tak perlu pengemudi karena dia punya jalan pikirannya sendiri, namun kereta Talaria butuh kusir, dan Ozak lah yang mengemudikannya. Sebenarnya aku agak penasaran dengan tim mereka, jadi aku segera keluar dari kamar kecil di punggung Dakruo dan duduk di atas punggungnya, di depan kamar itu.

Tubuh Dakruo sangatlah stabil semenjak dia berlayar layaknya perahu, di samping itu juga terdapat banyak duri-duri besar yang akan menjagaku untuk tidak terjatuh. Meskipun aku terjatuh sebenarnya aku bisa dengan mudah kembali naik ke atas Dakruo, semenjak Genka, terutama Santi Waraney, merupakan kaum tercepat di Dunia baru.

Tinggi tempat aku duduk, dengan bangku kusir yang kini dihuni Ozak memiliki tinggi yang relatif hampir sama. Karena meski Dakruo sangatlah tinggi bahkan di wujud naganya yang merangkak, sebagian tubuhnya tertanam di tanah.

"Jadi… Ozak, 2 hari ini timmu ngapain aja?"

"Manggala?" Ia pun menoleh ke arahku, terkejut aku ada di luar kamar kecil itu. Walau ya memang kamar Dakruo memiliki jendela, tapi aku lebih ingin berada sejajar dengan Ozak saat bicara dengannya.

"Hmm… 2 hari ini? Maksudmu dari awal tim dibentuk?"

"Ya, apa saja yang kalian telah kerjakan?"

"Tak banyak kurasa… hari pertama kami perkenalan, menentukan kepengurusan tim, dan makan-makan semenjak ada 3 Iska di tim kami."

"Apa kalian sudah membaca tiap berkas yang diberikan Guild?"

"Eh!? Kertas yang menggunung itu? Tentu saja belum semua, itu kan banyak banget!"

". . ." Aku tak menyangka akan mendengar jawaban itu. Aku kira mereka akan sangat grogi karena tak memiliki pengalaman berperang, dan berusaha mencerna tiap informasi yang diberikan kepada mereka.

"Tapi setidaknya kalian sudah tahu peran tiap kelas kan?"

"Tentu saja, lagi pula kami harus mengenal satu sama lain bukan?"

"Ah, setidaknya dirimu setuju denganku soal itu."

"Tunggu… kalian sudah membaca semua berkasnya?"

"Sudah, kami membahasnya seluruhnya bersama-sama di hari pertama."

"Gila… gak bosen apa?"

"Ah itu… aku tak tahu juga ya… aku sih cukup menikmati membaca."

"Hee… kamu bicara layaknya seorang Ilmuan, Manggala."

"Iya kah? Lalu kenapa kalian belum juga selesai membaca?"

"Ehehehe sial salah ngomong aku."

"Lalu, hari ke-2 kalian ngambil misi tidak?"

"Ngambil dong, misi kelas E!"

"Langsung kelas E!?"

"Hehehe… sebenarnya Ganendria bersaudara yang menyarankannya, mereka melihat list misi kelas F dan bilang kalau Taanji sekelas ini terlalu mudah untuk dilawan."

"Ah… seperti yang diharapkan dari mereka."

"Walau ya… misi itu hampir saja… tak sukses."

"Hampir? Bagaimana bisa?"

"Itu… mungkin sepenuhnya salahku."

"Kamu tidak biasa memimpin?"

"Bisa dibilang…"

Agak wajar sih. Jujur aku tak menyangka mereka akan memilih Malianis yang tak pernah berperang sebagai ketua dari tim yang jelas berjalan layaknya instansi militer. Seharusnya mereka memilih bang Destin sebagai ketua jika mereka ingin orang yang berpengalaman dan pintar memimpin mereka.

"Bagaimana dengan kalian?"

"Kami? Kami mengambil misi kelas F."

"Eh? Para Ganendria tampak sangat memandang tinggi kepada dirimu, kukira kalian akan mengambil misi yang setidaknya setingkat dengan kami."

"Ahahaha… kami hanya ingin mempelajari bagaimana jalannya misi di organisasi ini."

"Hahaha… apa kamu menyesali mengambilnya?"

"Hampir…"

"Hampir?"

"Kami menemukan musuh yang menyenangkan di saat menjalankan misi!"

Tiba-tiba Lalita keluar dari kamar kecil di punggung Dakruo dan dengan mudahnya menyisipkan badan lenturnya di antara duri-duri besar yang bertebaran di punggung naga ini.

Wajah Ozak sedikit memerah ketika melihat pergerakan dan lekuk tubuh Lalita. Aku tak bisa menyalahkannya, tubuh Ina Waraney, terutama Lalita, memang terlalu menggoda untuk otak mesum seorang Iska. Ditambah bawahan seragam Ina Waraney yang hanyalah helaian pantyhose tipis, jelas terlalu merangsang untuk mereka.

"M-musuh yang menyenangkan?"

"Benar! Kami bertemu orang-orang kerdil dengan sihir yang aneh~"

"Kalian juga bertemu dengan mereka kan, Ozak?" Aku pun bertanya padanya. Dalam pikiranku, alasan mengapa kami dipasangkan dengan mereka, setidaknya karena mereka juga telah bertemu dengan para Uhndak.

"Iya, ketemu kok, ada 1 Uhndak yang kayak jadi gembala target buruan kami. Cuman… bang Destin langsung nembak mati Uhndaknya, jadi kami tak sempat bertarung melawan mereka."

"Wah… bang Destin manteb juga ya~" Suara Lalita cukup kencang untuk bisa didengar oleh orang-orang di kereta tim 39.

"Hah…? Nape manggil-manggil gue?" Bang Destin pun menyahut pada suara Naema dari tempatnya duduk.

"Kagak ade yang manggil lo tin, udeh bobok ae sane!" Bang Asger yang mendengar suara bang Destin segera membalas ucapannya.

"Bacod bat lo anjeng ger! Gue kagak ngomong ama lo!"

"Hihihihihi para Jawara memang dekat satu sama lain ya~"

"Deket apanye NENG!?" Ocehan mereka begitu lantang, mungkin seisi hutan bisa mendengarnya.

"Sudah-sudah! Nanti Taanji lain malah ngedatengin kita, waktu kita gak banyak!"

"Tch…"

"Siap Mang!"

Kurasa itu cukup untuk menangkan dua pria toksik itu.

Setelahnya aku dan Ozak pun terus mengobrol di sepanjang jalan. Anggota tim lain baik itu dari tim kami mau pun tim 39, terkadang juga ikut nimbrung di pembicaraan kami. Mereka orang-orang yang menyenangkan untuk diajak bicara. Kurasa memang sudah sewajarnya untuk para penghuni Daratan bersikap akrab antara satu sama lain, mengingat kita hampir saja bersatu di bawah satu kepemimpinan.

Setelah kurang lebih 3 jam perjalanan, kami pun akhirnya sampai di sebuah bukit kecil di dekat area yang dimaksudkan misi kami.

Dari atas sini perkemahan para Uhndak bisa terlihat tepat di bawah kami.

"Mereka benar-benar membangun kemah… apa mereka juga makhluk sosial layaknya manusia?" Tanya Ozak.

"Uhndak yang kami temui bahkan bicara satu sama lain." Jawabku atas pertanyaannya.

"Eh? Benarkah? Bukankah berarti kita sama saja berperang melawan satu suku?"

"Bisa dibilang begitu… mari kita berharap jumlah itu tak bertambah menjadi dua."

"Maksudnya du— Hm? Kenapa langitnya jadi gelap...?"

*BRAK!*

Tiba-tiba saja darah merah muncrat kian ganasnya, bercipratan ke mana-mana. Sebongkah batu raksasa menimpa Ozak dengan luar biasa kerasnya. Setiap orang di sana mendadak tersentak melihatnya.

"Sial! OZAK!"

Dengan cepat, kutendang batu yang menimpanya sekeras yang aku bisa.

*Dak!*

Kini batu itu pun lepas dari tubuh Ozak, melayang ke arah dari mana batu itu berasal, kemah para Uhndak. Meski begitu, tubuh Ilmuan Ozak yang rentan benar-benar sudah benyek, rusak serusak-rusaknya rusak. Bahkan panah Sarma sekalipun tak akan mampu menyelamatkan dirinya… yang kini mungkin sudah tak lagi ada di tubuh itu.

*Fyu...* *Fyu...* *Fyu...*

Tiba-tiba saja, mulai saat itu lah, ratusan batu raksasa mulai menghujani kami dengan kian ganasnya.

"SEMUANYA BERLINDUNG!"