Oleh: Polar Muttaqin
Untuk bagian ini aku sendiri yang akan menceritakannnya pada kalian, karena ada banyak sekali hal yang terjadi. Jika hanya dilihat dari sudut pandang satu orang saja, mungkin akan ada banyak hal yang tak kalian mengerti.
Maka dari itu, mari kita lanjutkan ceritanya!
"Ghanimah, PERISAI!" Manggala melengking keras, suaranya bergema ke seisi tebing dan kemah para Uhndak.
Dalam waktu singkat 7 perisai Es pun melindungi tiap anggota tim 69, sementara Dakruo menyelam ke tanah, melakukan metamorfosa untuk berubah kembali ke bentuk manusianya.
"Kakak! KAKAK!" Sementara di tengah kerusuhan yang tengah terjadi, Inaya berteriak histeris memanggil-manggil kakaknya, merangkak penuh tangis menuju tubuhnya yang tak lagi bernyawa.
"Sial Inaya apa yang kamu sedang lakukan!? Berlindung lah dan pasang peris—"
*Brak!*
Belum sempat Manggala selesai berbicara, darah kembali bercipratan ke segala arah. Batu yang melesat kian cepatnya juga menabrak Inaya layaknya apa yang baru saja menimpa kakaknya.
"Ah bangsat! Ghanimah lindungi tim 39!"
"Dimengerti Mang!"
Ghanimah lalu menambah 6 lagi perisai sihirnya di depan tiap-tiap anggota tim 39, termasuk Dubalang Parisai mereka. Akan tetapi batu-batu itu terus berterbangan, mereka tak akan bisa selamanya bersembunyi di balik perisai Ghanimah.
"Dakruo, keluarlah!"
Dubalang Naga itu pun menampakkan dirinya dari gundukan tanah, sudah lengkap dengan tiap zirah terpasang rapih di tubuh besarnya.
"Woy Andrew! Dubalang Parisai, kemarilah!"
Dubalang itu baru saja kehilangan pemimpinnya, di tengah kepanikan yang sedang terjadi ia tak punya pilihan lain selain memenuhi panggilan Manggala, ketua dari tim yang berkerja sama dengannya.
"Kalian berdua, buatlah dinding tanah yang tinggi dengan sihir atau teknik kalian, kita tak bisa selamanya bergantung pada Ghanimah untuk melindungi diri kita ber-14."
"Dimengerti tuan!"
Kedua Ambawak pun mengangguk dan mulai membacakan mantra. Di gapailah bumi dan dihantamnya ia sekeras mungkin bersama kuda-kuda yang mantab.
[Teknik Tanah]
[Tingkat 6]
"(Benteng Tanah)"
"Fortia Fotrambcipto!"
Bumi pun bergemuruh, tanah berguncang kian hebatnya. Bongkahan tanah yang luar biasa tebalnya terbit layaknya mentari di kala pagi, membentuk dinding-dinding perkasa yang menghalau tiap batu yang datang.
*Bruk!* *Bruk!* *Bruk!*
Batu-batu itu terus saja berusaha menghujani mereka, namun tak satupun berhasil tembus.
"The fuck dah! Barusan apaan? Berasa ngelawan ratusan Dubalang Katapel!" Kini mereka telah cukup aman dari serangan bebatuan para Uhndak, bang Asger memiliki ruang untuk mengoceh.
"Aku yakin itu Taanji yang mereka jinakkan, ataukah mereka punya persenjataan semacam artileri?" Manggala langsung menjawab ocehannya.
"Artileri? Kalo itu bener posisi kita bisa gawat!"
Di tengah percakapan mereka berdua anggota tim 39 yang selamat berjalan mendekati mereka, kehilangan arah karena pemimpin mereka baru saja tumbang.
"Aku tak percaya kami baru saja kehilangan 2 Malianis begitu saja…" Parama meratapi kepergian Ozak dan Inaya yang tergeletak di tanah dengan badan hancur lebur.
"Tenanglah Parama, kita masih dalam misi, kita bisa urusi mayat mereka nanti."
"Aku tahu kak Mang, hanya saja… aku benar-benar tak menyangka hal ini akan terjadi."
Anak yang malang, ia terlihat seakan menyesali sesuatu.
"Mang, sebenarnya ada yang ingin aku bilan—"
"Sshh!" Belum sempat gadis es itu selesai bicara, Manggala langsung mendiamkannya.
"Sebentar Ghanimah, aku mendengar suara yang begitu dekat."
Setiap anggota Guild di sana pun mendadak terdiam, suara semu yang terdengar layaknya seseorang yang sedang berbisik merambat di udara.
*.a…ah k..i..!*
Apa yang di ucapkan tidaklah jelas, namun gerak suaranya bisa dirasakan oleh siapapun yang berdiri di sana.
*Shreck!*
Tiba-tiba saja gumpalan darah merah menyiprat ke wajah Parama. Sebuah parang yang panjang menembus badan bang Destin, dengan cepat merenggut nyawanya. Di belakangnya sesosok orang berbadan semu layaknya bayangan, berdiri dengan mata putihnya menatap tajam.
"Suanggi!?" Setiap orang di sana menjadi panik melihat sosok itu yang dengan cepatnya membunuh salah satu DPS terbaik di tim 39.
"Bajingan! Kalian semua akan membayar untuk ini!"
"Tidak Parama, tunggu!"
Parama berlari ke arah Suanggi itu dengan salawaku dan wengkownya. Tombak yang ia tenteng menyala kian terangnya, dipenuhi dengan api yang bergejolak. Amarahnya meledak-ledak siap menusuk siapapun yang menjadi musuhnya.
Namun sayang parang dan jangkauan parang Suanggi sangatlah panjang, ia terpaksa membatalkan serangannya dan bertahan terlebih dahulu. Dengan spontan ia naikkan salawaku di tangan kirinya, bersiap menangkis serangan Suanggi tersebut.
*Swish!*
Parang itu pun terayun, bersama dengan kabut hitam putih yang meliputinya. Akan tetapi salawaku Parama sama sekali tak menghentikannya, kekuatan void Suanggi memakan habis bagian salawaku yang tertebas parangnya.
"Eh!?" Parama kian tersentak melihatnya, seakan otaknya mogok dari tugasnya.
*Sraat!*
Suanggi di depannya lantas kembali menebas Parama, dan darah pun menetes dari lengan kirinya. Akan tetapi tubuh Wengkow Waraney (SS) Parama yang tercipta untuk berada di garis depan membuatnya bisa menahan serangan itu dan meminimalisir kerusakan.
*Shuwt!*
Anak panah berlumerkan getah biru pun melesat, menabrakkan dirinya pada luka Parama dan tak lama setelahnya tubuh Waraney itu kembali sembuh layaknya semula kala, dan siap kembali ke medan tempur.
"Tak semudah itu, sial!"
"Anna! Vardah! Support!" Parama kembali ke kuda-kuda tombaknya, namun kini tanpa salawaku. Anna dan Vardah pun segera berlari untuk mendukungnya.
Meski begitu sayangnya, bukan hanya Parama saja yang mendapat bantuan. Puluhan Suanggi lainnya datang memasuki medan pertempuran, tiap-tiap dari mereka tinggi dan bersenjatakan parang yang panjang.
"Dakruo, Aggro!"
"Dimengerti, tuan."
Dakruo lalu berdiri di antara para Suanggi.
*RAAAGH!!!*
Raksasa itu pun menarik tinggi parisai perkasanya, dan mengaumkan auman naganya. Para Suanggi yang mendengarnya seketika itu juga langsung tertarik kepadanya.
"Tunggu Mang, apa tak apa meminta Dakruo menahan serangan dari para Suanggi? Apa kamu tidak lihat apa yang mereka lakukan pada salawaku Parama?" Ghanimah mengutarakan kecemasannya, itu sebenarnya adalah sebuah pikiran yang logis, jika hanya dilihat sekilas.
"Tak apa, kamu lihat kan bagaimana tubuh Parama tak termakan oleh void? Pasti ada sesuatu yang tak bisa dicerna oleh elemen itu, entah itu materi yang suci layaknya batu naga, atau tubuh yang kuat, karena bang Destin jelas tewas hanya dalam sekali tusuk."
"Kurasa… itu ada benarnya."
"Oleh karena itu pastikanlah dirimu tak tersentuh sama sekali oleh mereka, jangan lupa gunakan Blink!"
"Dimengerti!"
"Semuanya ke posisi bertarung!" Manggala berseru pada tiap anggota tim 69, dan tiap-tiap dari mereka segera menyalakan senjatanya.
"Devan jaga Ghanimah, pastikan dia aman bermain dengan sihir pertahanan!"
"Dimengerti, Mang." Devan pun mengangguk, dan segera meraih tangan Ghanimah untuk membawanya ke spot yang aman untuk memantra.
Devan adalah Istinggar Waraney yang juga bertarung di tengah medan tempur, ia tahu titik mana saja yang akan aman untuknya menembaki lawannya. Dengan ilmu inilah ia hendak melindungi Ghanimah.
Namun belum sempat ia beranjak, seorang gadis dengan mata biru toksik dan rambut putih, kian berdiri di antara mereka bertiga. Matanya mengalirkan air mata yang begitu deras, wajahnya jelas sangat melas dan putus asa, ia menangis dengan kian pedihnya.
"Tuan Manggala… tolong kami." Di belakangnya berjejer 4 kepompong berwarnakan biru toksik, dengan cahaya meronta-ronta dari dalamnya, yang di mana satu di antara kepompong itu berukuran jauh lebih besar dari yang lainnya.
"Tunggu Shaerra, jangan bilang… mereka…" Aku bisa melihat kepanikan yang tergambar jelas di wajah Manggala, pupilnya mengecil dan bergetar kian hebat. Ia tahu apa isi kepompong-kepompong itu.
"Lindungilah kami, tuan… aku… ingin bisa menyelamatkan mereka!"