Oleh: Ghanimah Himesh
Satu demi satu orang-orang pendek itu tertusuk oleh tombak bang Asger. Tapi tak layaknya Lalita, gerakan Jawara itu tak terlalu fleksibel, mengakibatkan banyak dari serangan lawan yang mengenainya. Ketika ia telah selesai menusuk ke-9 orang pendek yang tersisa, tubuhnya dipenuhi oleh luka sayatan dari pedang mereka.
*Shhhuwt!*
Namun tepat setelah ia berhenti menusuk, pecahan anak panah meluncur di udara dan menancap pada tiap-tiap luka sayatannya. Dalam hitungan detik luka-luka itu sudah kembali sembuh dan tertutup rapih.
"Thank you, Sena!" Bang Asger mengancungi jempol pada Sarma yang saat itu bergelantung di atas pohon dengan kakinya. Pose tubuhnya menunjukkan ia baru saja melepas anak panah.
"Sama-sama… bang!"
"Well not bad lah musuh kali ini buat sekedar Taanji."
Para orang pendek itu tak langsung gugur setelah tertusuk, melainkan lumpuh untuk beberapa waktu sementara racun menghabisi nyawa mereka. Keterampilan dari Seija membuat racun yang dihasilkan oleh tombak bang Asger menjadi jauh lebih kuat.
*. . . ack!*
Musuh kami tak mampu bersuara, tubuh mereka kaku, perlahan mati tak berdaya. Untuk mati oleh racun Vhisawi, kayaknya benar-benar bukan sesuatu yang tak akan pernah ingin aku alami. Ngeri bener.
"Udah semua?" Ucapku yang jelas tidak banyak membantu ketika melawan para orang pendek.
"Udeh Mah, sini! Toksiknya gak nyebar kok."
"O-oke bang…" Kurasa dia cukup menyadari ketakutanku.
Setiap anggota tim kami pun kembali berkumpul di antara mayat musuh-musuh kami, termasuk Dakruo yang sebelumnya bersembunyi di bawah tanah.
"So… mereka makhluk ape? Gue bisa paham beberapa perkataan mereka lho." Nah iya itu bang, aku juga bingung.
"Manusia kah? Tapi kok pendek banget? Apa mereka anak-anak? Atau mereka tumbuh lambat kayak teh Sena?" Devan mengutarakan pendapatnya.
"Aku… tersinggung!" Eh si teteh marah! Lucu banget sih~
"Hehe maaf teh…"
"Ah, kurasa kita bisa gunakan kesempatan ini untuk bertanya langsung pada pusat."
"Ide bagus Mang!"
Manggala lalu mengotak-atik logam yang ada di telinganya, dan mulai mengontak Melati yang berada di pusat administrasi untuk mencari informasi. Ia lalu mendeskripsikan sedetail mungkin orang pendek yang ada di hadapan kami.
Dengan suara yang jelas tak semurni ketika didengar langsung, Melati itu pun menjawab pertanyaan kami.
"Oh mereka, wajar saja kalau tuan Manggala tak tahu tentang mereka, karena Tuan Verslinder tak mengkategorikan mereka sebagai Taanji." Ia berbicara melalui logam di telinga kami, sehingga tiap-tiap dari kami mampu mendengarkan perkataannya.
"Mereka bukan Taanji?"
"Seharusnya iya, tapi karena mereka begitu mirip dengan manusia, Tuan Verslinder mengkategorikan mereka sebagai 'Demi'"
"Demi?"
"Benar, makhluk yang mirip manusia layaknya para peri laut."
"Ah begitu, jadi dengan sebutan apa kami memanggil mereka?"
"Uhang Pandak, atau singkat saja sebagai Uhndak. Bahasa buminya cukup explanatory, yaitu orang pendek."
Berarti mereka memang beneran pendek, bukan karena masih bocah atau semacamnya…
"Ngomong-ngomong tadi aku bertemu dengan jenis sihir yang cukup aneh."
"Sihir aneh?"
"Ya, warna elemennya merah, tapi bukan merah layaknya api Tuan Agung Amartya, tapi merah maroon layaknya darah kotor."
"Oh… itu elemen yang eksklusif untuk spesies mereka."
"Tunggu, apa!? Maksudmu ada elemen lain selain 10 yang dimiliki manusia saat ini?"
"Benar, namanya adalah 'Kaos', elemen yang berfundamental pada kekacauan."
"Ah, itukah sebabnya mereka mampu membatalkan sihirku? Dengan mengacaukan mantranya?"
"Sihir? Tuan Manggala bisa makai sihir!?" Noh kan bukan aku doang yang kaget!
"Itu tak penting sekarang, Hebi… jawab saja pertanyaanku."
"Iya tuan, pernyataan tuan benar."
"Baiklah Hebi, kami akan kembali ke benteng sekarang."
"Oh ngomong-ngomong tuan, bisakah kita bertemu setelah dirimu sampai sini? Ada satu makhluk lagi yang mungkin anda ingin tahu."
"Dimengerti."
"Oke, sampai bertemu nanti~"
Melati itu lalu memutuskan sambungannya dengan alat komunikasi kami.
"Sekarang bagaimana? Ini Goblin mau kita jarah juga?" Tanyaku.
"Iya, tapi jika mereka setara dengan para peri laut, mengambil organ atau bagian tubuh mereka tidak lah etis."
"Jadi?"
"Ambil saja pakaian dan persenjataan mereka, mungkin ada sesuatu yang bisa kita pelajari ataupun gunakan dari barang-barang itu."
"Maksudnya kamu ingin kami menelanjangi mereka!?"
"Memangnya kenapa? Ada masalah? Jelas kamu tak akan terangsang oleh makhluk seperti mereka kan?"
"Hah!? Ya enggaklah!"
"Yaudah kalau gitu lakuin aja."
"Tadi bukannya kamu bicara soal etis!?"
"Kamu lupa kalau peri laut tidak berpakaian sama sekali?"
"…"
"Udeh-udeh! Kebiasaan dah! Pengen pulang neh gue."
Seperti apa yang diminta Manggala kami pun menjarahi perlengkapan para Uhndak. Kami juga mengambil kembali hasil buruan kami dari tanah yang barusan dikubur oleh Dakruo.
Dakruo seperti sebelumnya, merubah bentuknya ke wujud naganya. Ia membentuk 2 box besar di samping tubuhnya dari duri dan zirahnya, dan kami pun memasukkan tiap hasil jarahan ke dalamnya.
Setelahnya kami kembali masuk ke dalam kamar kecil di punggung Dakruo dan mengendarainya pulang. Aku harus mulai membiasakan diriku mengenai fakta bahwa dua anggota setengah naga di tim kami (Dakruo dan Seija) memiliki sikap yang terkadang mirip dengan seekor hewan, bahkan Seija bertingkah jauh lebih mirip dengan binatang jinak ketimbang manusia.
Sekarang pukul 12.24, kurasa perburuan Dakutan berjalan lebih lama dari yang kuingat, atau kah kami menunggu para Uhndak untuk waktu yang lama? Yang jelas sekarang kami sudah sampai benteng dan kami bisa kembali bersantai di kamar kami.
"Ghanimah jangan lupa malam ini kamu les ya, jangan ketiduran!"
"Iya-iya gak akan kok."
Aku masih kesal pada fakta bahwa aku menjadi salah satu anggota yang paling minim ilmu di tim kami. Aku kan Ilmuan, bukannya harusnya aku yang paling pintar!? Apa-apaan ini!
"Kak Imah tak perlu merasa rendah akan luasnya ilmu kak Manggala~" Lalita sepertinya dapat melihat menembus kekesalanku.
"Eh!? Siapa yang merendah!?"
"Kakak itu spesial, dia belajar lebih giat dan efisien ketimbang Genka lainnya."
"Hah? Efisien? Maksudmu Manggala lebih pintar dari Genka lainnya? Bagaimana dengan Vasurha?"
"Itu… Oh iya aku jadi ingat ada hal yang harus aku lakukan, sampai bertemu nanti malam kak Imah~"
"Lalita? Lalita!? Oy jawab dulu pertanyaanku!"
Apa-apaan itu? Kok dia kayak menghindari pertanyaanku seperti itu? Ada apa dengan Manggala dan Vasurha? Ataukah ada sesuatu yang seharusnya tidak boleh aku pertanyakan?
Ah bodo amat lah, aku mau mandi! Kalau misalnya ternyata Manggala itu guru yang keras, aku bisa stress sendiri nanti malam, ada baiknya aku menyantaikan diri selama mungkin sebelum hal buruk menimpaku.
Tapi tepat setelah aku melewati pintu rumah…
"Oy Mah, mau ngamar ya?"
"Niatnya mau mandi sih bang… ada apa?"
"Itu… gue sebenernya gak enak bilangnya, tapi…"
"Hm? Kenapa? Ngomong aja bang."
"Iye, lo bisa masak makan siang dulu gak? Dah lewat jam 12 ini… gue agak gak enak kalo si Seija telat makan."
"Oooh… oke… yaudah aku ke dapur dulu ya bang. Lain kali kalau misalnya abang butuh bekal atau makanan tambahan buat pas jalanin misi bilang aja bang, aku gak keberatan kok kalo masalah masak-memasak."
"Oke oke… makasih ya Mah…"
"Sama-sama, bang."
Aku benar-benar gak nyangka bang Asger bakal gak enakan masalah makanan sama aku. Ngomong ke Iska kalau misalnya dirimu ingin makan masakan kami itu cukup untuk membuat Iska manapun bahagia.
Kuliner adalah jiwa dan harga diri kami, jika seseorang suka akan apa yang kami buat, pastinya kami akan merasa sangat dihargai.
"Hmm… pas Manggala balik nanti mungkin aku bakal minta temenin buat belanja, sekalian pakai uang dari misi tadi. Dakruo bener-bener melahap habis stok makanan kita… tapi kurasa itu bisa dimaklumi semenjak dia juga menyediakan sarana transportasi untuk tim kam— huft… aku benar-benar tak boleh sampai menganggapnya sama dengan seekor Talaria…"