Oleh: Ghanimah Himesh
Aku tak tahu apa yang sedang terjadi, tapi aku bisa merasakan kecemasan Dakruo bahkan dari balik wajahnya yang tertutup rapat oleh helm tebalnya. Manggala meminta kami untuk menyembunyikan tiap jarahan kami, tapi tetap membiarkan mayat Dakutan tetap di sana. Menurutnya hal ini akan memberikan impresi kalau kami telah selesai dengan urusan kami dan pergi dari tempat itu.
"Tempat ini dipenuhi pepohonan dan semak belukar, pilihlah tempat yang tepat untuk kalian bersembunyi, dan tunggu mereka datang!" Manggala memobilisasi kami segera tuk menyambut apapun itu yang akan datang.
"Ghanimah tetaplah di dekatku, agar aku bisa lebih mudah untuk memastikan keamananmu." Ia juga memintaku untuk mengumpat di belakang sebuah semak besar bersamanya.
"Eh? Sebegitu ragunya kah dirimu akan kemampuanku?"
"Tidak juga, hanya saja keberadaanmu sangatlah krusial jika lawan kita kuat, memastikan dirimu bisa bermantra dengan aman akan memperbesar kemungkinan kita untuk menang." AAAAHH kan! KAN! Kamu gak bisa bikin aku merasa penting seperti ini! Kamu mebuatku jadi lebih gugup dan takut membuat kesalahan.
"Ayolah kemari! Kita tak punya banyak waktu."
"Oke… oke…"
Suara hutan mendadak hening dan tiap-tiap dari kami bersembunyi dengan mantabnya. Aku bahkan tak mampu mendengar suara nafas satupun anggota timku, termasuk Santi Waraney yang berada tepat di sampingku.
Hanya ada dua orang yang bisa aku lihat, Manggala dan teh Sena yang bernaung di atas pohon layaknya sebatang ranting yang menempel di sana. Aku tak pernah melihat gadis kecil itu sedemikan tenang dan fokus.
*Krak!*
Tak lama kemudian, sunyinya hutan pecah oleh suara jejak kaki. Aku bisa mendengarnya, jumlah mereka banyak, begitu juga dengan kelingan metal yang mungkin berasal dari senjata ataupun zirah mereka. Dan seiring berjalannya waktu mereka terdengar semakin lantang.
Mereka dekat, aku bisa merasakan mereka berada di depanku. Jika saja tak ada semak ini mungkin aku telah berhadap-hadapan dengan mereka.
Jantungku terus berlomba-lomba, berdetak kian kencangnya. Suara mereka yang begitu pekat di antara keheningan tempat ini membuat tubuhku begitu resah, jika kita tetap seperti ini aku bisa kehilangan kewarasanku.
"Oy lek!"
"Napa bang?"
"Macam mana ini? Dah pergi pula mereka."
"Lah!? Kok nanya aku bang? Abang tuh yang lelet kali!"
"Oy! Berani kau ya? Mau ku pijak-pijak palau kau, hah!?"
Aku tak tahu mereka sedang ngomong apa, tapi mereka nampaknya sedang berdebat tentang kami yang telah meninggalkan buruan kami.
Jujur aku tak menyangka mereka akan bicara antara satu sama lain. Apakah mereka manusia? Tapi aku tak pernah mendengar logat yang semacam ini, suku baru kah? Atau mereka salah satu makhluk laut? Tidak-tidak… penghuni Samudra tidak berbicara dengan logat semacam ini.
Namun di tengah derasnya pikiranku, ada suara lain yang mulai terdengar selain perdebatan orang-orang di depanku. Suara itu begitu dekat, kian halus layaknya berbisik…
Tunggu! Ini memang suara orang berbisik!
"Diam, Bergeming"
"Di antara suguhan rantai yang kokoh."
"Panik, Melengking"
"Tapi tak sejari pun kan menolong"'
[Sihir Api]
[Tingkat 7]
"(Belenggu Api)"
"Gendage Chaiopo…"
7 lingkaran api terlukis di tempat musuh kami bertapak. Cahaya oranye yang begitu terik melahap tubuh mereka, menyoroti kaki mereka dengan kian terangnya.
"Bujang!"
"Ah kau yang betul lah!"
Dan ketika mereka menjadi panik, tersadar bahwa sesuatu akan segera menimpa mereka, rantai-rantai api bermunculan, mengikat tiap lengan dan kaki mereka. Kini tak satupun dari mereka yang tak terbelenggu, terkunci oleh benda keras yang luar biasa panasnya.
Apa-apaan ini!? Ini tak masuk akal!
Bagaimana bisa Manggala menggunakan sihir?
Bukannya sihir hanya eksklusif untuk Phoenix Waraney? Atau akunya saja yang minim ilmu?
"LALITA!" Manggala bersorak dengan begitu lantang, suaranya cukup untuk membuat pening kepala siapapun yang mendengarnya.
Dari balik pepohonan gadis Ina Waraney itu melompat, dengan dua pistol kupu-kupu bersila di tangannya. Ia melayang di atas musuh-musuh kami, lalu terjun dengan ligatnya ke tengah-tengah mereka.
*Kletak* Suara pistol terkokang.
*Darr!* *Darr!* *Darr!*
Puluhan peluru melesat, menabrakkan diri mereka pada tubuh musuh-musuh kami. Kulit mereka yang tersentuh peluru Lalita, memunculkan sebuah simbol yang mirip seperti gabungan antara gembok dan sayap kupu-kupu.
Sementara di sampingku Manggala telah memasang kuda-kudanya. Kaki kiri di depan, kaki kanan menekuk di belakangnya. Tubuhnya menjorok bungkuk ke belakang, dan santinya lurus sejajar dengan matanya, terarah pada lawan di depannya.
[Seni Api]
[Tingkat 4]
"(Terjangan Lurus)"
"KARIS RENTENG!"
Cahaya oranye bergema, mengeluarkan gelombang api yang menghiasi santinya. Bagai peluru yang lapar Manggala melesat, menebas 7 musuh kami dengan api yang ganas. Tapi mereka yang terkoyak, belum selesailah penderitaan mereka. Tiap sisi tubuh mereka yang tertandai oleh simbol dari serangan Lalita, menemukan dirinya tertampar oleh api oranye yang meledak-ledak.
Dalam sekejap jumlah musuh kami berkurang 7 orang atau ekor? Semuanya berjalan begitu cepat. Aku tak sanggup untuk mencerna jalannya pertempuran ini!
"Bah!"
[Sihir Kaos]
[Tingkat 4]
"(Pembersihan)"
"Shuddh Karana!"
Gelombang sihir berwarna merah maroon bergema ke seisi medan tempur. Rantai-rantai api yang tersentuh olehnya seketika hilang bagai abu yang menyatu dengan udara. Mereka membersihkan sihir yang dimantrakan Manggala, begitu pula dengan simbol gembok kupu-kupu yang menempel pada tubuh mereka.
"Apa-apaan!?" Bahkan Manggala pun kaget melihatnya.
Mendengar suara Manggala yang terkejut dengan sihir musuh kami, aku pun memaksakan diriku untuk melihat makhluk-makhluk itu dengan lebih saksama.
*!!!*
Mereka mirip sekali dengan manusia, hanya saja… pendek? Aku tak yakin mereka masih anak-anak, tapi tubuh mereka hanya setinggi teh Sena. Telinga mereka juga lancip layaknya teh Sena namun lebih besar dan lebar. Hidung mereka besar dan lebih runcing dari manusia.
Tubuh mereka berwarna hitam kelabu, lebih gelap dari kulit Dramu dan mayat hidup. Mata mereka berwarna merah maroon serta kepala dan sekujur tubuh mereka tak ditumbuhi rambut.
Mereka mengenakan zirah hitam dengan corak merah maroon. Tapi tak layaknya para Ambawak, zirah mereka hanya menutupi badan mereka, kaki dan lengan mereka terekspos, namun masih menggunakan sarung tangan, rok pendek (atau mungkin sarung? Aku yakin tiap-tiap dari mereka laki-laki) dan sepatu.
"Hehe halo ito, cemana kabarnya…?" Kesepuluh dari mereka yang kini telah terlepas dari belenggu Manggala mengepung Lalita yang saat itu sedang berdiri kian manisnya di tengah-tengah mereka.
"Mampus pula kau, lontong!"
Orang-orang pendek itu lalu bergantian melompat ke arahnya dan mengayunkan senjata yang mirip seperti pisau atau pedang pendek.
Tapi amat disayangkan untuk mereka, Lalita bisa dengan lihainya menghindari tiap serangan mereka, dan melempar mereka menjauh darinya dengan kakinya. Sampai akhirnya pedang mereka terlihat seakan berhasil menebas Lalita, tapi yang tersisa dari tempatnya berpijak hanyalah seekor kupu-kupu api yang terbang dengan santainya.
"Bah ilang!?"
*Dorr!*
Mendadak di tengah kebingungan mereka, sebutir peluru menembus kepala salah satu rekan mereka dengan kian kuatnya. Dan dengan begitu saja, jumlah mereka berkurang 1 lagi.
"KIMAK!"
Sementara di arah belakang mereka, bang Asger tengah berlari dengan tombaknya, yang telah terbalut aura berwarna biru toksik, yang aku yakin merupakan keterampilan dari Seija.
"Bacot doang dari tadi lo pada! Enyah lo anjeng!"
[Teknik Toksik]
[Tingkat 5]
"(Pendarahan Racun)"
"Hemocuk!"