Oleh: Manggala Kaukseya
Tanah pun kembali tenang, dan kami siap untuk melancarkan serangan seraya menunggu keterampilan berikutnya. Namun belum sempat kami menyentuh si Dakutan, ia tiba-tiba melompat-lompat layaknya sapi gila.
*Bruk!* *Bruk!* *Bruk!*
Bumi pun berguncang hebat, dan tanah-tanah di sekitarnya berterbangan tinggi di udara. Tiap-tiap dari mereka melayang dan berubah menjadi ratusan duri tanah yang siap menghujani kami.
[Hujan Tanah]
"Mang itu… perlu aku bikin rumah kaca lagi gak?" Ghanimah tampak cukup resah melihatnya.
"Gak usah, biar Devan aja yang bersihin."
"Dimengerti, Mang."
Devan pun mengubah masing-masing satu cincin di tangan kanan dan kirinya, menjadi sepasang pistol yang jelas berbeda dengan apa yang digunakan Lalita.
*Dorr!* *Dorr!* *Dorr!*
Dengan cepat ia menembak habis tiap tanah yang melayang dengan ratusan peluru yang tak satupun meleset. Kemampuan menembak secepat dan seakurat ini… hanya dimiliki oleh keturunan langsung Dinendra Serenada.
"Buset!"
"Kak Devan jangan bikin irilah! Kita kan sama-sama make pistol!"
"Hehehe ya maaf…"
Aku tahu peran Lalita dan Devan jelas berbeda di medan tempur, ditambah Devan tak memiliki kelenturan dan fleksibilitas yang sama dengan Lalita. Tapi aku bisa cukup paham rasa iri yang dimiliki Lalita akan skill menembak Devan mengingat Santi Waraney juga dibekali dengan senapan.
Walau ya… Istinggar dan senapan Santi Waraney, desain dan fungsinya beda sih.
"Yang lainnya fokus DPS!"
Kami pun kembali menyerang dan menghindar, menunggu keterampilan selanjutnya dari Dakutan. Namun setelah sekian lama, ia kembali melakukan keterampilan-keterampilan yang sama layaknya sebelumnya. Jadi akupun beranggapan hanya itu saja yang bisa kami pelajari dari dirinya.
"Oke kalau gitu, mari kita sudahi pembelajaran hari ini. Van, habisin!"
"Dimengerti."
Devan lalu menyimpan kembali kedua pistolnya dan mengeluarkan senapan Istinggarnya. Ia tak menggunakan keterampilan api, tapi ia memasukkan peluru berelemen angin yang merupakan kelemahan dari suku Tanah.
Dengan santainya Devan mengangkat senapan itu hanya dengan tangan kanannya, dan mengarahkannya pada Dakutan.
*SHDORR!*
Suara senapannya bergema ke penjuru hutan dan gua-gua tambang. Asap mengebul, menghiasi jalur peluru yang termuntahkan oleh senapannya.
Satu tembakan saja, dan monster itu berhenti bergerak. Beberapa saat kemudian asap pun memudar, memberikan penampakkan jelas tentang apa yang tengah terjadi.
Tubuh Dakutan tertembak peluru, tembus dari kepala hingga bokongnya, menampilkan daging kemerahan yang ada di dalam badan besar itu. Dan tanpa menguluarkan sedikit pun suara dari mulutnya, Taanji itu pun tumbang.
"Hah…?" Ghanimah mematung melihatnya, ia tampak begitu syok, seakan ruhnya meninggalkan tubuhnya.
"Sekarang dah paham kan kenapa kami dikategorikan sebagai Burst DPS?"
Aku tak akan berucap apa-apa demi menjaga kesehatan mental Ghanimah. Karena kemampuan menembak Devan sama sekali tak wajar bahkan di kalangan Istinggar Waraney, tidak, bahkan di kalangan Serenada.
Pistol dan Senapan yang digunakan Genka berbeda dengan senjata api yang ada di Buana Yang Telah Sirna. Untuk menembakkan sebuah peluru, kami meledakkan cincin api pada bagian belakang senjata tempat peluru itu menerima hentakkan. Itu sebabnya tiap Genka memiliki kekuatan tembakan yang berbeda-beda.
"Udeh gitu doang? Gampil bener!"
"A…ha…ha…ha… iya… aku kira akan lebih sulit dari ini setelah melihat Dakutan berhasil meretakkan perisaiku… setidaknya, mungkin aku akan kehingan beberapa liter darah atau kehilangan bagian tubuhku."
"Aku… enggak akan biarkan itu… terjadi!"
"Eh!? Bukan itu maksudku teh Sena."
Kurasa aku bisa bilang pembelajar pertama kami berjalan dengan sempurna?
"Tapi ini beneran keterlaluan sih, si Mang terlalu overpower mimpinnya!"
"Ya asal jangan terlalu nyaman aja bang…"
"Ye… Sante ae lah itu mah!"
"Oke-oke, sekarang sudah selesai kita berburu mari kita ke tahap yang lebih penting."
"Lah? Emang mo ngapain lagi?" Bang Asger memandang ke arahku dengan wajah bingungnya. Kurasa ini wajar semenjak dirinya tak biasa berburu atau mungkin tak pernah sama sekali.
"Ngejarah buruannya bang, Melati tadi ngasih aku list bagian tubuh Dakutan yang bisa kita jual ataupun berikan pada lab untuk diteliti, serta juga dijadikan barang-barang lainnya layaknya pakaian dan senjata."
"Eh tunggu, kita bisa dapet uang dari situ juga? Lumayan banget dong berarti kalo ngambil misi berburu." Kurasa mindset bendahara sudah mulai tertanam di otak Ghanimah.
"Ya lumayan, kan ngebunuh Taanji kayak gini gak sembarang orang bisa."
"By the way dagingnya bisa dimakan kagak?"
"Hah bang? Serius?" Ah jujur aku tak menyangka Ghanimah akan kaget seperti itu, dia kan yang paling paham soal kuliner.
"Seriuslah! Badak sama gajah aja dimakan!"
"Iya sih… tapi ini kan monster… dia makan alat tambang pula…"
"Terus? Monster ma binatang bedanya cuman yang atu keji yang atu liar."
"Yaudah kita langsung tes di sini aja, Ghanimah pasti ada alat masak sama bumbu di dimensinya, bikin api juga gampang kok." Saranku.
"Huft… yaudah deh, yuk lah eksperimen!"
Kami pun membelek monster itu dan mengambil sedikit dagingnya untuk Ghanimah coba masak. Sementara itu aku, bang Asger, Devan dan Lalita memotong dan mengambil bagian-bagian tubuh Dakutan yang bisa kami bawa.
"Mang ada piso yang bener kagak? Punya gue beracun, mana mau orang beli kalo terkontaminasi kek gitu."
"Ah ada ni bang, pakai aja."
Aku pun meminjaminya salah satu pisau yang biasa aku gunakan untuk menyembelih dan memotong hasil buruanku. Kurasa untuk kaum pemburu layaknya suku Api, misi-misi semacam ini akan terasa lebih mudah semenjak kami cukup familiar dengan buru-berburu.
Tapi di tengah-tengah kesibukan kami tiba-tiba Dakruo datang menghampiriku dengan raut wajah gelisah.
"Tuan Manggala…"
"Ada apa Dak? Dah Lapar?"
"Itu iya, tapi ada hal lain yang ingin awak bicarakan, tuan."
"Kenapa? Ngomong aja."
"Ada sesuatu… yang bergerak ke arah kita."
"Hah? Taanji?"
"Aku tak tahu, tuan. Sebenarnya aku sudah merasakan kehadiran mereka dari tadi, tapi aku tak terlalu menghawatirkannya semenjak meski mengarah pada kita, mereka berjarak sangat jauh, jadi aku pikir arah perjalanan mereka hanyalah kebetulan, hanya saja…"
"Hanya saja?"
"Awak… tak pernah merasakan makhluk yang seperti ini, mereka berjalan dengan 2 kaki, tapi mereka tak mirip dengan satupun manusia, primata ataupun jin yang ada di Dunia baru ini, tubuh mereka juga cukup pendek, bahkan lebih rendah dari Genka."
"Hmm… mungkinkah ada Taanji yang menyerupai manusia? Ada berapa ekor?"
"17, tuan. Dan mereka semakin lama semakin dengan dengan kita."
"Berapa meter?"
"828… tapi mereka bergerak secepat orang berjalan."
"Jika mereka memang benar mengarah kemari, ada baiknya kita bersiap menyambut mereka."
Aku kemudian beranjak dari aktivitasku dan mulai berseru pada anggota tim lainnya.
"Semuanya, segera benahi hasil buruan kalian dan sembunyikan! Minta Dakruo untuk menguburnya di tanah. Ghanimah kamu bisa simpan masakanmu di dimensimu untuk kita cek hasilnya nanti."
"Kenapa emangnya Mang? Kok tiba-tiba aja."
"Kita mungkin kedatangan tamu yang mungkin… tak bersahabat."