Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 122 - Chapter 12: Dragon Rider

Chapter 122 - Chapter 12: Dragon Rider

Oleh: Manggala Kaukseya

Kami ber-8 pun langsung menggegaskan diri ke kandang kuda yang berletak di sebelah barat benteng, setelah mengambil misi kami. Melati di konter pusat administrasi memberikan kami masing-masing semacam logam kecil yang kian diletakkan pada area telinga untuk berkomunikasi antar tim atau dengan gedung pusat.

Aku pernah mendengar tentang alat ini digunakan di masa perang Sfyra oleh pasukan Daratan, tapi ini pertama kalinya aku secara langsung menggunakannya.

Melati itu bilang untuk segera menghubunginya jika terjadi masalah atau kesulitan dengan misi kami. Sehingga mereka bisa mengirimkan bantuan baik dalam bentuk pasukan maupun informasi.

"Wah benar! Lihat kuda-kuda ini~"

Mata Lalita langsung berbinar-binar di langkah pertamanya di depan kandang Talaria.

Hal ini wajar, semenjak pulau ini melebar dan dibutuhkannya sarana transportasi bagi penghuni Daratan, suku Angin langsung mengambil alih bisnis transportasi, dan orang-orang di Daratan berhenti menternakkan kuda apapun itu alasannya.

Karena Talaria (kuda angin) memang tak memiliki saingan dalam bidang transportasi darat, meskipun dibandingkan dengan segala hewan yang ada di Dunia baru ini.

"Sejak kapan mereka ada di sini? Aku yakin telah menelusuri tiap sisi benteng, dan tak sekalipun aku pernah menemukan kandang Talaria tergeletak bebas seperti ini."

Jujur aku juga sama kagetnya dengan Ghanimah, sejak kapan kandang ini ada di sini?

"Apa mereka menyembunyikannya di bawah tanah dengan sihir tanah? Atau mereka baru membangunnya semalam?"

Tanyaku.

"Hah jadi dalam semalam!? Memangnya bisa?"

Ghanimah seakan syok mendengarnya.

"Tentu saja, kemampuan membangun Ambawak kan kadang memang tak masuk di akal."

"Udeh-udeh! Sekarang jadinya gimana? Mo make kuda yang mana Mang?"

Bang Asger sepertinya mulai paham kalau misalnya aku dan Ghanimah mulai berdebat, akan sangat lama sampai benar-benar kelar.

"Enggak satu pun bang."

Jawabku.

"Hah!?"

"Lah! Terus ngapain kita ke mari jir!?"

Semua orang menatapku layaknya warga yang termakan aksi tipu-tipu.

"Untuk membandingkan sesuatu tentunya…"

"The fuck!? Bandingin apa lagi?"

"Ukuran transportasi kita lah…"

Wajahku begitu datar, seakan tak ada satu pun tingkahku yang pantas dipertanyakan.

"Ah auk ah! Mulai ngawur ini bocah."

"Maksudnya Mang?"

"Kak? Kakak sehat kan?"

"Mang… itu kuda ama kereta ukurannya sama semua… mau bandingin apanya?"

Bang Asger, Ghanimah, Lalita, bahkan Devan... semuanya mengoceh.

"Astaga kalian ini, lihat tuh teh Sena! Dia tenang dan sama sekali tidak mempertanyakan diriku, kukira kalian semua mempercayai diriku sebagai ketua."

Mereka semua pun terdiam sejenak. Namun dari keheningan itu tiba-tiba Ghanimah sepertinya menyadari sesuatu dari perkataanku.

"Tunggu, kan gak cuman teh Sena doang yang diam, kenapa kamu gak nyebut Dakruo, Mang?"

"Nah akhirnya ada yang sadar juga, emang Ilmuan beda otaknya sama kita Penempa."

"Tch!"

Bang Asger tampak kesal mendengarnya.

"Hah? Hah gimana?"

Balik bingung lagi si Ghanimah.

"Yaudah dari pada lama-lama, langsung aja."

Aku lalu memandang ke arah raksasa terbesar di tim kami, dan memberikannya sebuah aba-aba.

"Dakruo kita berangkat sekarang!"

"Dimengerti, tuan."

Dakruo pun lalu menundukkan badannya dan membungkukkan dirinya hingga posisi merangkak. Seketika itu juga, cahaya hijau benderang pun memancar, menggemakan diri mereka dari tubuh dan sela-sela zirah tebalnya.

[Teknik Naga]

[Tingkat 4 Ekstensi]

"(Perubahan Wujud)"

"Metamorfosa!"

Setiap lempengan zirah pada tubuh Dakruo kemudian terlepas melayang di udara. Metal bertekstur layaknya batu kemudian membungkus tiap sisi tubuhnya yang tak lagi berbusana. Perlahan wujud sang raksasa berubah, menjadi sebuah reptil perkasa berkaki empat, dengan ekor luar biasa besar dan kuku-kuku tajam berlapiskan berlian suci.

Dirinya kini berubah menjadi sebuah naga raksasa dengan mata hijau yang menyala-nyala. Tumbuhlah sepasang sayap tebal, tiga kali lipat lebar punggungnya, yang kemudian ia ubah kembali menjadi duri-duri tebal yang membungkus tiap sisi badannya, kecuali bagian tengah dari punggungnya.

Zirahnya yang saat itu tengah melayang di udara, kemudian merubah bentuknya menjadi layaknya sebuah kamar kecil berlapiskan metal bertekstur batu dan juga ukiran berlian suci. Teh Sena lalu membentuk bantalan kursi pada ruangan dalam kamar itu dengan kapas berwarna merah. Kini punggung Dakruo dihuni oleh ruangan penumpang yang super kuat lagi nyaman.

"Nah ini baru namanya transportasi!"

Ucapku dengan penuh semangat, seraya menaruh kedua tangan di pinggang, begitu bangga pada apa yang baru saja kusaksikan.

Para anggota lainnya nampak syok melihat Dakruo berubah, dagu tiap-tiap dari mereka berjatuhan ke tanah. Tentu saja mereka yang tak pernah mempelajari kemampuan metamorfosa kaum naga akan kaget luar biasa ketika melihatnya langsung.

Aku sempat berbicara dengan Dakruo tentang metal di tubuh dan zirahnya. Ia menyebutnya dengan nama Kokkradrium atau batu naga. Metal ini merupakan unsur benda terkeras kedua setelah berlian suci, dan para kaum naga yang diberkahi oleh Tuan Ares, memiliki banyak dari mereka tumbuh di kulit mereka.

Kaum naga akan memiliki masa transisi kulit yang dimana batu naga ini akan tanggal dari tubuh mereka dan tergantikan dengan yang baru. Pada saat itu lah mereka akan menambangnya, dan mengubahnya menjadi banyak hal layaknya senjata dan zirah.

"Baiklah, kurasa ini sudah menyelesaikan masalah transportasi kita, mari kita segera berangkat!"

Ucapku penuh semangat.

"Tunggu Mang! Gak bisa langsung gitu aja dong! Masa iya kita mau nunggangin rekan tim sendiri!"

Ghanimah langsung cerewet, sementara yang lainnya bingung mau berkata apa.

"Hah? Salahnya di mana?"

"Norma Mang! Norma!"

"Oy Dakruo! Kamu gak papa kan dinaikin kayak gini?"

Kutanya saja, guna mendiamkan gadis ini.

"Sungguh suatu kehormatan bagi awak, tuan."

Dakruo membalas dengan suara yang bahkan lebih berat lagi dari suara biasanya, dan kali ini, ditambah dengan gema yang menggaung begitu megahnya. Bahkan bumipun bergetar karenanya.

"Noh si Dakruo juga gak masalah... dan oh Dakruo, berusahalah untuk tak seformal itu padaku, sebut nama saja tak apa."

"Maaf… tapi awak merasa lebih nyaman demikian."

"Yasudah deh terserah kamu saja."

"…"

Kurasa suara Dakruo membuat Ghanimah hampir kehilangan kewarasannya, pupilnya benar-benar mengecil seakan hampir menghilang.

"Yaudah yuk kita naik!"

Anggota tim lainnya nampak tak lagi mempertanyakan tingkahku dan membuntuti langkahku naik ke atas Dakruo.

Saat kami hendak naik, ia mengubah beberapa batu naga di tubuhnya menjadi sebuah tangga, untuk memudahkan kami naik ke atas kamar kecil di punggungnya.

"Permisi ya Dakruo~"

Lalita nampaknya sudah bertransisi dari syok menjadi gembira dan penuh gairah, pengalaman semacam ini tentu terasa sangat menarik bagi pencinta binatang layaknya dirinya.

Satu-persatu dari kami pun memasuki kamar kecil itu dan duduk manis di dalamnya.

"Izinkan saya membuat perjalanan ini menjadi lebih nyaman."

Dakruo lalu mencelupkan seisi kakinya ke dalam tanah, hingga hanya setengah badannya saja yang terlihat berada di permukaan tanah. Ia lalu memutar badannya ke arah tujuan kami dengan rapih dan mulusnya, layaknya sebuah kapal di Pelabuhan.

Ia juga membuat jendela-jendela lebar di kamar kecilnya agar kami bisa dengan nyaman memandang ke luar. Sungguh, kemampuan Ambawak terutama para kaum naga dalam mengubah bentuk dan massa jenis sebuah benda tak pernah henti-hentinya membuatku kagum.

"Baiklah Dakruo, mari kita berangkat menuju misi Dakutan!"

"Dimengerti, tuan."

Seketika, dengan cepat dan mulusnya Dakruo melaju, bagai kapal yang berlayar kian kencang di atas lautan tak berombak. Tanah yang seharusnya solid itu kini layaknya air yang begitu encer dijelajahi oleh dirinya.

Ahahahaha, benar-benar JACKPOT!