Oleh: Manggala Kaukseya
"Sampai~"
Setelah satu jam perjalanan kami pun akhirnya sampai di tempat yang dimaksudkan oleh Guild, yaitu di daerah antara desa Chrysos dan Ferreus. Sejauh mata memandang seisi daerah ini ditumbuhi pepohonan tinggi berdaunkan coklat dan sedikit bebatuan berlian yang tampak sudah beberapa kali di tambang, di lihat dari adanya jejak dan peralatan di sekitarnya.
Satu persatu dari kami turun dari Dakruo yang sebagian tubuhnya masih tercelup ke tanah. Ia juga tak lupa tuk membuatkan tangga untuk kami berjalan turun.
Setelah tak ada lagi orang di kamar penumpangnya, Dakruo keluar dari tanah, dan menunjukkan seisi tubuhnya yang kurang lebih setinggi 3,1 meter (tak termasuk kamar kecilnya). Ia tak langsung berubah kembali ke bentuk manusianya, kurasa bentuk ini lebih nyaman baginya, dan kepalanya juga lebih dekat untuk bisa mendengar ucapan kami.
"Hey Lalita, kamu megang lembaran misi yang dikasih sama Guild kan?"
Tanyaku pada adikku ini.
"Iya kak."
Jawabnya spontan.
"Bisa tolong bacakan deskripsi misinya?"
"Oke~"
Lalita lalu mengeluarkan selembar kertas dari tas sandang berwarna merah bercorakan kupu-kupu api, yang selalu ia bawa dan isi dengan berbagai perlengkapan kecil layaknya peluru.
"Ehm! Para penambang Ferreus melaporkan adanya masalah pada daerah tempat kerja mereka pada jam 9.47 tanggal 19 bulan 3 tahun 24 era 4."
Gadis itu mulai membaca dengan lantang.
"Kemarin?"
Tanggap Ghanimah.
"Ah ini pasti khasus baru… bukannya Guild sudah mulai membuka permintaan seminggu sebelum kita mulai dipanggil?"
Setidaknya itu informasi yang aku baca.
"Iya, tidakkah itu berarti Dakutan yang kita buru seharusnya belum pergi jauh dari daerah tambang? Walau gak kayak aku paham tingkah hewan atau Taanji atau semacamnya."
"Seharusnya… lanjutkan Lalita."
Pintaku.
"Seekor Dakutan menghalangi jalan mereka untuk masuk ke area tambang, dan memakani peralatan tambang mereka. Para penambang berhasil menemukan jalur lain untuk masuk ke dalam tambang, tapi mereka ingin agar jalan yang biasa mereka lalui untuk segera diamankan."
"Ada korban jiwa kah?"
"Di sini gak disebutkan, kak."
Gadis itu membolak-balikkan kertasnya, memeriksa kemungkinan sesuatu terlewat dari matanya.
"Well… anggap aja kagak ada, lagian ni kan misi grade terendah, which is harusnya sih ya… gak mungkin susah lah."
Sahut bang Asger.
"Ah ada benarnya sih bang, palingan para penambang hanya bingung harus bersikap apa menghadapi Taanji ini, semenjak mereka sama-sama memiliki elemen tanah."
Ya semoga aja. Rasanya bakal tak enak menjadikan sesuatu bahan belajar setelah ia menghasilkan korban jiwa.
"Lalu Mang, cara kita nyari Dakutannya gimana?"
Sebenarnya pertanyaan Ghanimah ada benarnya, semenjak tempat ini selain sebuah area pertambangan, juga dikelilingi oleh hutan yang luas, yang dihuni oleh berbagai macam hewan dan Taanji.
Tapi bagiku saat mendengar pertanyaan ini, hanya menunjukkan bahwa Ghanimah tak begitu paham tentang orang-orang suku di Daratan, terutama mereka yang menjadi anggota timnya.
"Ada Dakruo kok, gak perlu khawatir, kalau pun gak ada Dakruo, si Devan juga bisa nyari Dakutan dengan gampang."
Jelasku.
"Eh iya, aku sampai lupa Devan bisa melihat menembus segalanya, tapi Dakruo…"
"Ambawak itu pelacak yang handal selama musuhnya masih menyentuh tanah, anggap saja mereka bisa melihat melalui tanah."
"Ih kok keren!?"
"Kak Imah kayaknya harus les sama kak Mang dulu deh... ilmu kakak minim banget!"
Hahahaha! Asli! Aku gak nyangka seseorang seperti Lalita akan berkata semacam ini. Tapi dia ada benarnya.
"Ya maap!"
"Pft… Ilmuan mah beda…"
Bang Asger tertawa kecil, mencemooh Ghanimah dari belakangnya, bahkan Seija turut serta menertawakan si gadis es.
"Woi bang!"
Kurasa mau bagaimanapun juga, tetap akan ada sedikit permusuhan antara Vhisawi dengan para Ilmuan. Terutama apabila itu menyangkut alkimia dan kecerdasan.
"Dakruo?"
"Iya, tuan?"
Aku benar-benar butuh waktu untuk bisa terbiasa dengan betapa beratnya suara Dakruo, terutama di wujud naganya.
"Kamu bisa ngeliat sejauh apa?"
"2700 meter, tuan."
"What!?"
"Eh serius? Yang bener aja! Jauh amat!"
"Sungguh? Tapi jarak ini tak ada apa-apanya ketimbang Devan apabila ia mulai melihat melalui Manguni?"
Si naga tampak bingung melihat ekspresi kaget dua cendikiawan itu.
"Bohong! Serius Van!?"
Kurasa reaksi ini wajar untuk sesorang yang minim akan ilmu militer suku layaknya Ghanimah.
"Serius… bukannya ada Weren Dangit di Iska? Mereka aja bisa tembus 3100 meter."
Tanggap Devan yang sama bingungnya melihat keminiman ilmu Ghanimah.
"Ahaha…ha… aku gak pernah bener-bener nanyain mereka…"
Ghanimah menggaruk telinganya dengan canggung, jelas terlihat keringat menetes dari sisi dahinya.
"Kak Imah beneran butuh les…"
"Iya iya! Pulang-pulang aku les ama kakak ketua mu itu! PUAS!?"
HAHAHA dia meledak.
"HAHAHAHAHA!!!"
"Bang jangan ketawa lah!"
Muka Ghanimah benar-benar merah, tak kusangka seorang bangsawan Siska semacam dia akan terbully oleh orang-orang semacam kami.
"Yaudah, dari pada lama-lama… Dakruo, di mana letak Dakutannya?"
"Sekitar 731 meter arah barat laut dari tempat kita berdiri, tuan."
"Baiklah, yuk kita mulai berburu!"
Kami pun lalu berjalan menuju lokasi spesifik Taanji itu. Dakruo juga masih belum kembali ke wujud manusianya, kurasa berjalan dengan 4 kaki membantunya untuk melihat melalui Bumi dengan jauh lebih mudah.
*
"Mang, itu Dakutan?"
Devan menunjuk ke depan, ke arah sebuah monster raksasa yang bentuknya cukup mirip dengan para dinosaurus herbivora yang ada di bawah tanah, tempat kerajaan jamur berada.
"Kayaknya sih, bentuknya lumayan sama dengan gambar yang aku lihat di ensiklopedia Taanji."
"Eh tunggu, ada ensiklopedianya?"
Ghanimah kian menunjukkan rasa penasarannya.
"Ada, tapi bukunya ditulis sama Tuan Verslinder… jadi semua monster yang ada di sana seakan dideskripsikan bagai makhluk yang sangat lemah, ya tahu sendirikan Tuan Verslinder kuatnya kayak apa…"
"Enggak tahu…"
"…"
"…"
"Ghanimah pulang dari sini langsung ke ruang rapat, kita belajar di sana!"
"Iya! IYA!"
"Mang anu… aku teh… mau ikut… boleh tidak?" Hmm teh Senaria mau ikut juga? Gak ada masalah sih.
"Boleh teh, gabung aja."
"Aku juga mau ikut kak!"
Lalita turut menyaut.
"Kamu bantu aku ngajar tapi."
"Oke kak~"
Di tengah pembicaraan kami bang Asger pun mencoel pundakku dan menunjuk ke arah target misi kali ini.
"Mang please… nanti aja ngomong beginiaannya, sekarang itu Taanji mau lo apain?"
"Ah iya bang…"
Mau diapain ya, aku berminat untuk mempelajari mereka secara langsung sebagai sebuah tim. Tapi jika dipikir-pikir lagi, kalau misal monster ini lemah, kita bakal berakhir membunuh dirinya terlebih dahulu sebelum sempat mempelajari apa-apa.
"Yaudah lah kita mulai dari yang sederhana dulu, Dakruo balik ke wujud orang mu!"
"Tentu saja, tuan."
Seperti apa yang kuminta, Dakruo pun kembali ke wujud manusianya. Tak butuh waktu lama untuk dirinya mulai berdiri dengan 2 kaki, dan tiap lempengan zirahnya juga sudah tertempel pada tubuhnya. Parisai besar di punggungnya pun turut terbentuk keras dan gagahnya.
"Dakruo, Aggro!"
"Dimengerti."
Tepat setelah suaraku pudar, Dakruo langsung berlari ke arah Dakutan dan menarik perhatiannya.
Kali ini Ghanimah tak bertanya tentang apa itu Aggro, karena pada saat pembahasan peran tiap kelas, aku sudah menjelaskan padanya kalau Aggro itu semacam pusat perhatian lawan, target di mana mereka akan bersikap aggresif.
"DATANGLAH!"
Suara Dakruo bergema kian lantangnya, bahkan dedaunan terhempas terbang karenanya. Gelombangnya seakan menampar keras Dakutan di depannya, dan dengan cepat menarik kuat perhatiannya.
Monster itu berlari kian kencang ke arah sang naga, hendak menyeruduk dengan cula di kepalanya layaknya seekor badak.
Namun ketika ia hendak menghantam Dakruo, raksasa yang saat ini tingginya hampir sama dengan monster itu, dengan mudah menahannya dengan kedua tangannya. Dari sana bisa tergambar jelas betapa lemahnya monster ini.
"Gila! Ini sih dah kayak Taanji lawan Taanji."
Bang Asger bersorak dengan tangannya terkepal erat di depan dadanya.
"Ya… walau jelas raksasa kita sama sekali tak kesulitan menghadapi Dakutan itu."
Aku jujur agak kecewa.
"Oke Mang, sekarang apa?"
"Hmm, gimana kala—"
Belum sempat aku bicara, tiba-tiba saja tubuh dan tanah di sekeliling Dakutan bergetar. Cukup memakan waktu untukku menyadarinya… monster itu... tengah menyalakan keterampilanya.
"Ghanimah, PERISAI!"
Suara teriakanku membuat seisi anggota tim kami tersentak, termasuk Ghanimah. Tapi di tengah keadaan terkejutnya, gadis itu langsung memantrakan perisai sihir tercepat yang ia tahu.
[Sihir Es]
[Tingkat 2]
"(Perisai Es)"
"Iskelung!"
7 perisai es muncul dan menutupi sisi tubuh kami yang mengarah pada Dakutan.
[Serbuan Duri Tanah]
Tiba-tiba duri-duri tanah raksasa bermunculan, melesat ke mana-mana, menabrakkan dirinya pada perisai-perisai yang saat ini melindungi kami.
Aku tahu ini memang perisai sihir tingkat terendah, tapi mereka tetap dimantrakan oleh seorang Manshira dari keluarga utama. Untuk mereka menjadi retak seperti ini…
"Kurasa, memang akan ada pelajaran yang bisa kami ambil hari ini."