Oleh: Ghanimah Himesh
Tak layaknya diriku yang datang dari tempat nan jauh… oh tunggu apa yang aku bicarakan, seisi Selebes sudah sangat besar sekarang, seakan mereka melar dan memuai.
Seluruh pulau ini bertambah luas, namun tak satupun tempat di Daratan dan Lautan yang rusak karenanya, hanya saja jarak antar tempat jadi lebih jauh. Jujur aku sangat kagum dengan bagaimana Selebes melebar, tapi kembali lagi, kapasitas Sang Pencipta tak bisa dibandingkan dengan manusia fana layaknya diriku.
Oke, semenjak Pulau ini melebar, para Penempa mulai menggunakan alat transportasi untuk membawa barang dan diri mereka. Tapi alat transportasi ini… bukan milik pribadi, karena tiap bisnis transportasi dikuasai oleh satu suku, yaitu Wongali (suku Angin).
Aku tak tahu bagaimana mereka bisa menciptakan hewan berelemen angin, tapi aku yakin Pohon Kehidupan ada campur tangannya dengan ini semua.
Di Angkasa terdapat burung angin raksasa bernamakan Ventalia dengan sayap berbentuk layaknya sebuah kipas.
Di Daratan terdapat sebuah kuda angin bernamakan Talaria dengan sebuah sayap kecil tertempel pada keempat kakinya.
Dan di bawah tanah, pada jalur-jalur kerajaan jamur yang diciptakan Sarma, terdapat Ankyla angin bernamakan Hussar dengan sepasang sayap keras di sisi tubuhnya.
Masing-masing dari mereka berwarnakan hijau tosca pucat, dan berkelana sangat cepat, benar-benar sangat cocok untuk menjelajahi Daratan yang kini begitu luas.
*
Tak lama hingga akhirnya barang-barang mereka datang, dan kami pun kini memasuki sesi pemilihan kamar.
"Baiklah, sekarang pemilihan kamar... kurasa kita akan mulai dari pembagian sederhana terlebih dahulu, para laki-laki akan tidur di bawah, sementara perempuan di lantai atas."
"Heh tunggu? Untuk apa memisahkan laki-laki dan perempuan?"
Apa-apaan ini? Bukannya mereka tak memiliki nafsu selama bukan di masa reinkarnasi, kecuali bang Asger dan Seija tentunya... tapi tetap saja, mengapa harus dipisah-pisahkan!?
"Iya! Kenapa? Bukannya sudah cukup Papendangan saja yang memisahkan kedua gender, bahkan di medan tugas kita tidur saling bertumpuk-tumpukkan tak ada masalah!"
Lalita turut protes setelahku.
"Nah kan! Bahkan Lalita setuju denganku! Eh tunggu, saling bertumpukkan?"
Hah!? Maksudnya apaan!?
"Tenang-tenang… tapi kalian perlu sadar akan privasi kalian, ini kamar, bukan hanya tempat tidur, setiap barang kalian ada di sana, bukannya para perempuan punya hal yang tak ingin dilihat laki-laki?"
Manggala tampak tak terkesan dengan ocehan kami.
"Ah itu… ada benarnya… tapi tunggu! Kita mungkin akan tinggal di rumah ini selamanya, cepat atau lambat pasti siapapun akan melihat isi kamar yang lainnya, tak ada yang bisa disembunyikan di rumah ini, terlebih lagi salah satu dari kita mampu melihat SEGALANYA!"
"He… jangan bawa-bawa aku seperti itu."
Maaf Devan tapi aku harus menggunakan segala macam cara demi memenangkan argumen ini!
"Huft… kita tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, entah ada event atau apapun itu, ada baiknya kita berjaga-jaga dan memisahkan kedua gender."
"Gue gak ngerti kenapa kalian masalahin ini… udah lah bagi aja mager gue nunggu-nunggu, mau selonjor gue!"
Akhirnya karena jelas hanya aku yang mengoceh, kami pun mengikuti bagaimana Manggala membagi kamar tiap-tiap orang.
1. Senaria Kalpataru: pojok kiri atas lantai 2
2. Lalita Kaukseya: pojok kiri bawah lantai 2
3. Seija Mercuria: pojok kanan atas lantai 2
4. Ghanimah Himesh: pojok kanan bawah lantai 2
5. Dakruo Drakonus: pojok kiri atas lantai 1
6. Manggala Kaukseya: pojok kiri bawah lantai 1
7. Asger Urania: pojok kanan atas lantai 1
8. Mahadevan Serenada: pojok kanan bawah lantai 1
Sebenarnya aku tak terlalu senang berada di lantai 2 karena jelas dapur berada di lantai 1 dan ya... aku ingin sedekat mungkin dengan dapur. Tapi tak apa lah, gak kayak aku naruh makanan di kamar atau semacamnya.
"Heeee tapi aku kan pengen sekamar sama kakak!"
Lalita merengek.
Sebenarnya kadang aku cukup iri melihat kedekatan mereka berdua yang jelas cukup… mesra. Tapi mengingat bagaimana orang-orang di Daratan cenderung akan mengawini saudaranya sendiri saat masa reinkarnasi Pohon Kehidupan, tak ada sedikitpun hal aneh dari relasi keduanya.
"Kamu kan bisa datang dan tidur di kamarku kapan saja, bukannya bagus kamu punya ruang pribadi? Bisa kamu taroh apa aja lho, kayak sarang kupu-kupu misalnya."
Jelas Manggala.
"Eh iya bener juga! Hehe… aku akan sulap kamarku jadi taman kupu-kupu~"
Gadis itu dengan mudahnya termakan omongan kakaknya.
"Anu… aku bisa bantu… kalau, bikin taman."
Dengan gugup teh Senaria menawarkan jasanya pada Lalita.
"Waaah~ makasih teh Sena!"
"Sena?
Lalita jelas tak terlihat seperti gadis yang... luar biasa pintar tapi dia tampak sangat ramah.
Namun satu hal yang aku tahu dari perempuan suku Api, gadis yang sangat hangat dan riang seperti dia, justru... yang paling berbahaya di medan pertempuran.
"Baiklah, sekarang setelah semuanya punya kamar masing-masing, kalian bisa mulai menaruh barang kalian di sana."
"Jangan deket-deket kamar gue sama Seija dulu ye, takutnya ada bahan berbahaya tumpah atau semacamnya."
"Dimengerti bang."
Setiap orang pun mulai bergerak untuk memindahkan barang mereka. Masing-masing terlihat sangat sibuk dengan bawaannya, kecuali satu orang, yang kini tengah mendatangiku.
"Imah mau aku bantuin gak naro-naro barang?"
Wah gila! Seneng banget rasanya ditolongin ama cogan kayak gini~ mana mungkin nolak lah!
"Iya… boleh."
Selagi Devan membantuku dengan bawaanku, dan setelahnya membenahi bawaannya, anggota lainnya juga bergerak secara berpasang-pasangan. Manggala dengan Lalita, bang Asger dengan Seija, dan teh Senaria dengan Dakruo.
Tiap-tiap dari kami sibuk membenahi dan merias kamar kami masing-masing, ya tentunya kami akan saling bantu dari waktu ke waktu. Sungguh pengalaman yang sangat menyenangkan jika aku boleh bilang.
Tanpa terasa hari pun sudah gelap, kami akhirnya telah selesai dengan kamar-kamar kami. Walau jelas banyak yang akan kami tambahkan ke depannya. Sekarang saatnya kami untuk makan malam, tapi…
"Mang, Devan, bahan makanan abis nih gara-gara tadi siang… ya tahu sendirikan porsi salah satu dari kita agak…"
"Mohon maaf nona..."
Raksasa itu menunduk, penuh rasa bersalah.
"Eh enggak kok gak papa, aku seneng kok kalo ada yang suka sama masakanku."
Asli suara Dakruo bener-bener bikin merinding mau berapa kalipun aku dengerin, kok bisa seberat itu dah.
"Terus mau beli di toko Guild? Mau kami bantu bawain?"
Tanya Manggala.
"Iya itu maksudku…"
"Baiklah, sekalian juga kamu data itu harga-harga di situ, kita perlu cocokin sama gaji yang bakal kita peroleh, juga perkiraan kebutuhan harian kita, jangan lupa kamu yang bertanggung jawab atas keuangan kita semua."
"Oke oke~"
Aku, Manggala dan Devan lalu berangkat menuju toko yang berada pada bagian tembok terdalam dari benteng Guild.
Tempat ini cukup besar dan… lengkap. Di taman-taman di sekitarnya juga terdapat banyak buah dan sayuran yang bebas kami petik. Sebenarnya jika dilihat-lihat, biaya hidup di benteng ini cukup murah jika hanya dari segi makanan.
Toko ini juga cukup ramai dengan anggota Guild yang berbelanja, terutama oleh Iska.
Kurasa tiap Iska yang menjadi anggota tim akan otomatis berperan sebagai juru masak di rumah timnya.
Kami jujur tak keberatan, karena masak-memasak adalah darah daging dan kebanggaan seorang Iska, kami juga senang jika orang lain doyan akan apa yang kami hidangkan.
"Eh kak Mang! Di sini juga?"
Tiba-tiba di tengah perbelanjaan kami, datanglah suara seseorang yang jelas terdengar berasal dari suku Api.