Oleh: Ghanimah Himesh
"Kavi? Wah iya nih kebetulan dapet undangan."
Wajah Manggala mendadak menjadi kian cerah ketika berbicara dengan pria itu. Mungkinkah kenalannya? Ngomong apasih aku, jelas itu seorang Santi Waraney layaknya Manggala, walau… seragam dia tampak lebih sederhana ketimbang Manggala.
"Ya... kakak dapet undangan sih udah gak diragukan lagi, kalau aku harus daftar dan test dulu."
Oh iya, kurasa gak semua anggota Guild datang lewat undangan. Atau mungkin kami justru sebagian kecil yang beruntung? Aku tahu tak satupun saudara-saudariku mendapat undangan Guild. Mungkin mereka tahu aku tak terlalu peduli pada kepemimpinan suku.
"Devan dapet undangan juga?"
Tanya Waraney itu.
"Iya Vi, gimana testnya emang? Susah gak?"
Jawab Devan, ia sama cerahnya dengan Manggala.
"Enggak kok, cuman tes-tes kemampuan praktek doang yang banyak, tes teori sama kasusnya juga lumayan gampang."
"Yee… Santi Waraney gagal tes teori mah kebangetan sih."
"Ahahaha! Iya-iya… oh iya kak Mang, ini Iska yang menjadi bagian tim kami."
Kavi pun merangkulkan tangannya pada seorang gadis Malianis dan memperkenalkan dirinya pada kami. Wajah gadis itu terlihat sangat merah, kurasa bukan sesuatu yang sulit bagi pria Genka untuk menguasai gadis Iska begitu saja. Jika salah satu, Manggala atau Devan juga menyentuhku seperti itu pasti aku akan langsung meleleh, apalagi si Devan. Walau Manggala mah mana mungkin ngelakuin hal kayak gitu.
"Nona Ghanimah…"
Gadis itu menundukkan pandangannya, iya tampaknya tahu akan diriku, posturnya membungkuk memberikan hormat kepadaku.
"Iya…"
Kubalas sapanya.
"Namanya Daania, Malianis (Support) yang kini tengah menjadi sekertaris kami."
Ah pantas saja aku merasa familiar akan dirinya, 'kembang desa seperti dia di mana aku pernah melihatnya' pikirku. Tahunya dia anak dari keluarga pembuat es krim potion yang memenangkan banyak kompetisi kuliner di Tarauntalo dan kota Angkasa.
Aku tak boleh kaget, tempat semacam Guild ini pasti dirayapi oleh orang-orang berprestasi, mengingat kita organisasi pasukan elite.
"Kami duluan ya kak, kasian orang di rumah dah pada kelaperan."
"Ah iya, tiati Vi!"
Tapi kusadari ada yang aneh dengan sikap Kavi, mengapa dia memanggil Manggala dengan 'kak' sementara Devan layaknya teman sebaya? Kukira mereka berdua seumuran? Dua-duanya sama-sama 22 tahun kok kayak aku, walau ya sebagai anak keluarga utama aku pasti lahir duluan. Dia juga tampak lebih segan terhadap Manggala, apa karena karismanya kah? Atau karena mereka sama-sama Santi Waraney?
"Ghanimah, kita juga harus segera membeli makanan kita, ada anggota yang rakus dan tamak di tim kita, mereka pasti juga kelaparan."
"Oh iya! Duh kebanyakan ngelamun aku, yuk yuk!"
Kami lekas melanjutkan sesi belanja kami. Manggala dan Devan, seperti apa yang telah kuminta, membawakan barang belanjaan. Walau sebenarnya jujur satu dari mereka saja sudah cukup. Aku benar-benar tak menyangka mereka akan dengan mudahnya membawa satu kantung berat makanan dengan satu jari! Gila! Perbedaan kekuatan fisik kita kayak Langit dan Bumi!
Aku membeli banyak sekali bahan makanan mengingat adanya Dakruo di rumah ini. Karena kita belum pernah menjalankan tugas sama sekali, aku berakhir membayar tiap hal yang kita beli. Aku gak keberatan sih, mau suku apapun itu, mereka yang dari keluarga utama pasti selalu berlimpah akan uang, dan aku kebetulan menyimpan banyak dari mereka di dimensi pribadiku.
Tak butuh waktu lama untukku menyelesaikan setiap hidangan yang ada, dan begitu meja makan telah terhias rapih dengan berbagai santapan dan aroma, aku memanggil ke-7 rekanku untuk makan malam.
Berbeda dengan saat makan pagi tadi, kini kami telah saling mengenal, jadi obrolan dan senda gurau turut mewarnai meja kami. Aku bukanlah orang yang tergolong sosial atau semacamnya, tapi jelas aku menikmati berbincang bersama tiap-tiap dari mereka.
Ditambah terdapat Lalita di sini, suasana meja makan hanya dengan kehadiran dirinya sudah dipastikan untuk terasa teramat hangat dan nyaman.
Setelah makan kami pun pergi tidur. Manggala bilang dirinya ingin mengajak kami untuk mencoba mengerjakan salah satu misi esok hari, jadi dia ingin tiap-tiap orang bagun pagi. Tapi mengingat tiap-tiap dari mereka memiliki latar belakang militer, kurasa bangun pagi bukanlah sesuatu yang sulit bagi mereka.
Tiap-tiap dari kami segera masuk ke kamarnya masing-masing. Kecuali Lalita tentunya, yang pergi tidur di kamar kakaknya. Teh Senaria juga nampaknya bermain ke kamar Dakruo, aku dengar para Sarma tak terlalu butuh tidur, jadi kurasa dia akan menghabiskan malamnya menemani raksasa naga itu.
*
Esok hari pun tiba, dan aku beranjak bangun dari ranjangku. Eh jam berapa sekarang? Pukul 6!? Apa-apaan ini aku kesiangan banget, harus segera memasak ke dapur!
Aku tak tahu kata pagi yang dimaksud Manggala itu jam berapa, namun yang jelas aku harus segera membuat sarapan untuk mereka.
Kamar mandi di rumah ini merupakan kamar mandi dalam yang ada pada tiap kamar. Aku hanya mencuci muka dan sikat gigi lalu bergegas ke dapur, tak ada waktu untuk mandi terlebih dahulu. Namun Ketika aku keluar dari kamarku, aku melihat bang Asger tengah berdiri di depan pintu Seija. Raut wajahnya tampak gelisah.
"Bang? Ada masalah apa?"
Tanyaku.
"Eh Imah, maap neh ganggu, si Seija gak mau keluar dari selimutnya, entah napa udara ni pagi rasanya lebih dingin dari biasanya."
Bahkan nada bicaranya terdengar khawatir.
"Eh!? Iya kah? Aku kelamaan di Tarauntalo kayaknya sampai gak bisa bedain suasana dingin. Emangnya si Seija gak ada baju tebel bang?"
"Kagak ade, dia kan biasanya gak berbusana malah."
Uh… Dia… bener-bener hewani ya…
"Minta tolong teh Sena aja bang, Sarma kan jago bikin baju, cepet pula."
"Nah bener, ide bagus juga tu! Cus lah gue ke Sena sekarang."
Kurasa karena Lalita kami semua jadi spontan memanggil teh Senaria dengan panggilan Sena. Si bang Asger kayaknya tahu kalau teh Senaria ada di kamar Dakruo, gadis kecil itu juga nampaknya telah menumbuhkan pohon di kamar raksasa itu untuk dia bernaung. Eh iya, aku hampir lupa harus masak!
Aku pun segera turun melalui tangga ke lantai 1, tapi lagi-lagi hal aneh terpampang di hadapanku. Lalita dengan pajamanya tengah berguling-guling di lantai layaknya seekor kucing. Mengingat kata-kata bang Asger tadi, kurasa ubin lantai saat ini terasa sangat sejuk untuknya. Apa yang sedang terjadi? Aku tak ingat suhu udara bisa tiba-tiba turun seperti ini.
Sementara itu, pada pintu depan rumah yang saat ini terbuka, Manggala dan Devan tengah berdiri melamun memandangi dunia luar. Wajah yang mereka tampilkan tak terlihat biasa, seakan mereka kaget atau terpesona atau semacamnya. Hal ini tentu membuatku penasaran, jadi aku pun menghampiri keduanya.
"Mang, Van, ada apa? Kok ngelamun aja?"
"Ghanimah… coba kamu lihat keluar."
Wajahnya sama sekali tak bergerak saat berbicara padaku, seakan ia terpaku pada sesuatu.
Karena bingung dengan ucapannya, aku pun segera mendekati pintu dan memandang keluar.
Mataku mendadak terbuka lebar selebar-lebarnya, apa yang sebenarnya tengah terjadi!?
"Mengapa… pepohonan menggugurkan daun mereka sebegitu cepatnya!?"