Oleh: Ghanimah Himesh
Seperti apa yang ditawarkan oleh bang Asger, dia pun mulai memperkenalkan Dara Komodo di sampingnya. Namun sebelum pria itu hendak mulai, Waraney yang membawa senapan di punggungnya menyela perkenalan si Vhisawi.
"Tunggu bang, sebelum mulai bukankah ada baiknya abang sama Dara abang membuka topeng kalian terlebih dahulu? Kita ber-8 kini sudah jadi sebuah tim yang mungkin akan bertahan seumur hidup, tak perlu kan merahasiakan wajah kalian dari kami?"
"Ah bener juga lu, gua aja gak sadar lagi make topeng saking udah biasanya, oke-oke bentar ye…"
Bang Asger pun memberi kode pada si Dara Komodo untuk membuka topengnya, dan keduanya kian membukanya secara bersamaan.
Seperti apa yang diharapkan dari Vhisawi wajah mereka tak kuasa menawan, tapi mungkin... terlalu menawan untuk standarku. Aku tak akan bilang mereka yang paling wah di ruangan ini, karena ya... masing-masing dari kami memiliki kualitas kami masing-masing, sehingga sulit untuk dibandingkan. Pada akhirnya tampan itu relatif dan tergantung pada selera tiap-tiap orang.
"Nah udah, boleh gue lanjutin?"
Tanya bang Asger.
"Silahkan bang."
Dengan lembut Waraney yang membawa santi memberikannya ruang dan waktu.
"Oke kenalin, ini Seija dari suku Toksik, kelas Dara Komodo, seperti yang bisa kalian lihat... dia ini gadis kadal, tingkat Manshira, umur 18. Gue harap kalian bisa berteman baik dengan gadis ini."
Bersamaan dengan perkenalannya, aku pun menunjukkan biodata yang tertulis pada halaman pertama data gadis kadal itu.
-----
Nama : Seija Mercuria
Kelas : Dara Komodo
Ranking Magis : Manshira
Ranking Guild : Iron
Senjata : Tombak Naga
Gender : Perempuan
Umur : 18
Ras : Penempa Bumi
Suku : Vhisawi
Tinggi : 173
Panjang Ekor : 135
Kota Asal : Polona
Deskripsi Penampilan :
Gadis kadal dengan badan cukup tinggi, atletis dan bersisik; berkulit putih susu; bermata biru muda; berambut panjang ikal rapih dengan warna hijau terang; memiliki ekor berwarna hijau terang.
Keterampilan :
[…]
[…]
-----
"18 tahun!?"
Diriku kian kaget ketika melihat umur gadis itu, walau aku sudah sempat mendengarnya.
"Ada masalah, nona Himesh?"
Tanya si Santi Waraney. Seisi ruangan memandang kearahku kebingungan.
"Ah, tidak tidak! Tak ada masalah apa-apa kok!"
Ah malunya... aku yakin mukaku merah membara sekarang.
Aku tahu orang dari tiap suku memang memiliki fisik yang berbeda. Tapi aku tak kuasa tuk jatuh iri melihat gadis yang jauh lebih muda dariku memiliki badan yang lebih bagus dan lebih tinggi dari tubuhku. Bahkan sisik-sisik hijaunya terlihat begitu keren!
Fakta bahwa mereka terbentuk dari grafena membuatnya terkesan sangat futuristik! Gadis itu terlihat seperti gabungan alam dan teknologi yang berbaur dengan sempurna.
Tapi... meski demikian, aku rasa aku akan butuh waktu untuk bisa terbiasa dengan lidah merah panjang lagi besar gadis itu terus-menerus memelet keluar dari mulutnya.
"Baik, selanjutnya, bagaimana dengan orang kedua tertua di ruangan ini, silahkan nona Sarma!"
Si Santi Waraney lanjut menuntun jalannya perkenalan ini.
Gadis Sarma itu pun mengangguk, lalu berdiri di atas kursinya karena tubuh pendeknya membuatnya sulit untuk memandang ke arah kami.
Ah lucunya~ aku harus pastikan menaruh bantalan pada kursinya di saat berikutnya kita akan memakai ruangan ini.
"Ah, anu… nama aku teh, Senaria… dari suku Alam, e… kelasku Nu Manah, tingkat Manshira, umur… 20? 19?"
"23 teh."
"Ah enya! 23! Anu… hatur nuhun, salam kenal semuanya."
Gemas sekali rasanya melihat dirinya berusaha keras berbicara bahasa Bumi, aku yakin si gadis Waraney setuju denganku, matanya tak henti-hentinya berbinar-binar melihat gadis kecil ini.
Aku masih tak percaya dia lahir lebih dulu dariku. Tapi ya, Sarma memang tumbuh lebih lambat ketimbang kami para manusia. Mereka juga hidup lebih lama. Namun kembali lagi, kurasa bahasanya sudah cukup bagus untuk seorang Sarma, setidaknya lebih bagus dari kebanyakan Sarma yang kutemui.
Tentu saja aku tak lupa untuk menaruh biodatanya di tengah meja rapat.
-----
Nama : Senaria Kalpataru
Kelas : Nu Manah
Ranking Magis : Manshira
Ranking Guild : Iron
Senjata : Panah
Gender : Perempuan
Umur : 23
Ras : Penempa Bumi
Suku : Sarma
Tinggi : 124
Kota Asal : Umanacca
Deskripsi Penampilan :
Gadis tanaman dengan badan sangat pendek dan ideal; berkulit putih kemerahan; bermata merah muda benderang; berambut panjang, kembang, bergelombang dengan warna putih berbercak merah.
Keterampilan :
[…]
[…]
-----
Meski bertubuh pendek, dan tampak seperti anak kecil berumur 7 tahun. Kemampuan seorang Sarma bukan sesuatu yang bisa diremehkan. Dari apa yang aku baca dari buku-buku di perpustakaan Tarauntalo, panah seorang Nu Manah tak pernah meleset, kecuali jika sengaja dihalangi oleh lawan tentunya, yang jelas beda lagi ceritanya.
"Selanjutnya... Ambawak, dipersilahkan! Dan layaknya kedua Vhisawi, tolong tampilkan wajahmu."
Seperti apa yang si Santi Waraney minta, raksasa itu pun membuka helmnya. Ia masih dalam kondisi lesehan di lantai, dan kami tetap harus menonggakkan kepala kami demi melihat wajahnya.
*KLAAANK!*
Helmnya yang tak normal ukurannya itu terjatuh membentur lantai, suaranya menggema kian lantangnya mengisi seluruh penjuru ruangan.
Aku tak tahu apa yang sedang terjadi dalam benak raksasa itu untuk menaruh helmnya dengan kian kasarnya. Entah dia tengah melamun, gugup, tak sengaja melepas helm itu dari tangannya atau apa lah.
Namun yang jelas, tiap orang di ruangan ini tahu, helmnya… tak kuasa berat, mungkin berton-ton massanya. Bahkan lantai ruang ini menjadi kian retak karenanya.
"Ah, Mohon maafkan tingkah awak."
Ucap si raksasa itu dengan suaranya yang bikin merinding dalamnya.
"Iya… tidak papa… silahkan dimulai perkenalannya."
Si Santi Waraney memaklumi tingkahnya, tapi ia jelas tak senang dengan betapa pengang telinganya saat ini.
Suasana ruangan begitu canggung, kami benar-benar gugup menyaksikan betapa perkasanya raksasa itu, ditambah tingkah si Santi yang jelas tak tergertak dan malah justru menampakkan kekesalannya.
"Dimengerti."
Sebelum memulai perkenalan dirinya, dia memperbaiki lantai yang diretakkannya dengan sihir tanahnya, yang tentu saja bukan sesuatu yang sulit untuk seorang Ambawak.
"Baik, perkenalkan nama awak Dakruo dari suku Tanah, sub-suku Palinduang, kelas Drakenkrijger atau biasa disebut dengan nama Dubalang Naga, tingkat Manshira, umur 22 tahun. Mohon bantuannya."
Aku lalu memunculkan biodatanya.
-----
Nama : Dakruo Drakonus
Kelas : Drakenkrijger
Ranking Magis : Manshira
Ranking Guild : Iron
Senjata : Parisai Naga
Gender : Laki-laki
Umur : 22
Ras : Penempa Bumi
Suku : Ambawak
Sub-suku : Palinduang
Tinggi : 527
Kota Asal : Kokkradra (Kokkradrium)
Deskripsi Penampilan :
Pria dengan badan super tinggi dan super muskular; berkulit kuning langsat; berambut cepak lurus rapih dengan warna coklat; memiliki brewok tebal dan rapih berwarna coklat.
Keterampilan :
[…]
[…]
-----
"Bajingan! Apa-apaan!?"
"Devan! Mulut woy, mulut!"
"527 centimeter…!?"
Gila sih wajar aja kalau si Istinggar Waraney tiba-tiba ngomong kasar begitu.
Dia benar, Apa-apaan!? Maksudku… ya, aku melihatnya sendiri dia perlu menunduk untuk melewati pintu depan rumah ini... tapi tetap saja! Bahkan seisi bahan makanan yang kubawa hari ini hampir habis karena dia seorang! Makhluk super besar dari kaum yang memiliki dosa rakus? Luar biasa!
"Ah tunggu, Drakenkrijger… kalian itu pasukan naga yang terberkahi oleh Tuan Ares bukan?"
Kekagetan si Santi Waraney terlihat lebih reda Ketika membaca kelas raksasa itu. Seperti sesuatu akhirnya tengah merangsang pengetahuannya.
"Benar, tuan."
Si Raksasa mengangguk.
"Kau bisa sedikit lebih leluasa denganku, kita berada di tingkatan yang sama di organisasi ini."
"T— tentu saja, maafkan atas kekakuan cara bicara awak…"
"Memangnya ada apa dengan Drakenkrijger?"
Aku tak bisa menahan diriku tuk bertanya, karena penasaran.
"Ah, kau tak tahu akan mereka? Anggap kita baru saja mendapatkan jackpot! Kelas Tank terbaik yang pernah ada di Dunia baru ini!"