Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 114 - Chapter 4: A Party of Eight pt. 1

Chapter 114 - Chapter 4: A Party of Eight pt. 1

Oleh: Manggala Kaukseya

Tak perlu lama menunggu untuk dua anggota lainnya memasuki rumah besar ini. Begitu pintu kembali terbuka sesosok pria dan wanita berambut hijau benderang pun datang menampilkan diri mereka... tanpa berucap sapa.

"Wah gile, dah rame…"

Mereka adalah Jawara dan Dara Komodo dari suku Toksik. Seragam mereka bercorakkan hitam-biru-hijau dengan logo tombak pada baju si pria dan lambang Komodo pada dada si wanita.

Keduanya menggunakan topeng karbon, yang matanya menggemakan cahaya biru toksik. Meski begitu lidah dari wanita itu tak hanya sesekali memelet keluar dari topengnya, tapi aku yakin tiap orang di ruangan ini mampu memaklumi tingkah si gadis kadal, walau ekor besarnya cukup membuatku takut ia akan mengenai barang di rumah ini.

Di kedepannya tentunya, rumah ini... masih teramat kosong untuk standarku.

"Bang, cuman datang berdua?"

Tanyaku, berharap sekiranya mereka berbincang dengan kami walau tanpa menyapa.

"Iye, 2 lagi kan gue kagak tau sapa, jadi ye gak ngajak-ngajak."

Ah logat toksiknya… kuharap nona Himesh di depanku tak terganggu akan hal ini. Dari semenjak datang aku sudah berusaha meminimalisir kesopananku, agar dirinya bisa terbiasa dengan para orang Toksik. Relasi antar anggota merupakan suatu inti penting dari keberhasilan sebuah tim.

"Tapi abang tahu kan mereka orang mana aja?"

Tanyaku.

"Hm? Jelas tahu lah… lagian para Sarma dan Ambawak minggat gak lama habis kami, harusnya sih—"

Si Jawara menatap keluar, ia bergeming sejenak, mata topengnya menyala semakin terang. Aku tak yakin apa yang terjadi, namun jelas dia tengah melihat sesuatu yang mengejutkannya.

"Tuh mereka datang, kalo gitu gue geser sedikit dulu biar gak ngalangin."

Setelah ia memindahkan tubuhnya dari depan pintu, seorang pria pun berjalan masuk bersama gadis kecil di sebelahnya.

"Demi Mentari…"

Apa-apaan pria itu! ? Ia bahkan harus menunduk terlebih dahulu sebelum bisa melewati pintu rumah ini! Dirinya mengenakan zirah tebal berwarnakan coklat tua dan hijau terang (lebih terang dari hijau Ambawak, namun lebih gelap dari hijau toksik), di tiap-tiap sisinya diukir dengan berlian dan… batu? Tidak, aku yakin itu logam, tapi teksturnya mirip sekali dengan batu.

Wajahnya tertutupi helm yang berbentuk cukup unik, mirip seperti kadal, dan dari wilayah matanya warna hijau terang bersinar cerah, bergelombang menyamping layaknya ombak cahaya. Di punggungnya tertempel parisai besar terbentuk dari berlian dan logam yang mirip batu.

Sementara gadis kecil di sampingnya mengenakan seragam Nu Manah (Pemanah suku Alam) dengan corak putih dan merah muda. Ia membawa tas sandang kecil terbuat dari kapas dan aksesoris di sekitar seragam dan rambutnya yang mirip seperti boneka bunga. Meski begitu panahnya menggemakan cahaya merah muda yang begitu terang, dengan ratna berceceran di segala sisi, menandakan dia seorang Sarma yang amat teramat kuat.

"Tuh van, tadi kamu nanya Ambawak mana yang tingginya 5 meter…"

Ku goda sahabatku itu.

"Bangsat!"

HAHAHAHAHAHA!

"Selamat pagi semuanya."

Suara yang keluar dari mulut pria itu begitu berat dan dalam, seakan bumi ini menarikku erat hanya dari mendengarnya.

"P-p-pagi…"

Gadis es di depanku menggigil hebat menjawab pria itu, tapi aku bisa paham benar rasa takutnya.

"Waaaah~ Lucunya!!!"

Namun ditengah ketegangan tiap orang di sana, ada satu orang yang justru terfokus pada gadis kecil di samping si raksasa. Maklum saja, sebagai duo Santi dan Ina Waraney, aku dan Lalita tak pernah merasa tergertak pada besarnya suatu makhluk.

"Kamu, Sarma gen 4 kan?"

Lalita berdiri dari kursinya dengan mata berbinar-binar.

Melihat sikap gadis itu nona Himesh lekas kembali ke ketenangannya, setelah menghelakan nafas yang suara hembusannya hampir memenuhi seisi ruangan.

"Sekarang sudah 8 orang hadir di rumah ini, berarti lengkaplah anggota kita... yuk! Aku sudah siapkan makanan untuk kalian, kita bisa mulai saling berkenalan setelah ini."

Seperti yang diharapkan dari keluarga utama, dia bisa dengan cepat mengambil keputusan yang tepat.

"Setuju."

"Oke~"

"Dimengerti."

"Well, gue sih gak bakal nolak makanan Iska gratisan."

Seperti apa yang diharapkan nona Himesh, kami ber-8 pun menyantap makanan yang telah disiapkan dirinya. Kurasa siapapun di Dunia baru ini bisa setuju kalau masakan Iska lah yang terenak sejagat raya, dan lebih mantabnya, semakin kuat seorang Iska semakin nikmat pula rasanya.

*

Setelah kenyang, kami pun beranjak ke ruang di serong atas ruang makan, yaitu ruang rapat. Tiap-tiap dari kami menduduki kursi yang mengitari sebuah meja bundar. Kecuali tentunya…

"..."

"..."

"..."

"Uh… bukannya benteng ini dibuat para Ambawak?"

Aku pura-pura mengoceh, padahal jelas masalahnya bukan itu, dianya saja yang terlalu besar!

"Apa boleh buat, awak duduk di lantai saja."

Si raksasa yang lebih tinggi dari pintu masuk itu pun menyingkirkan kursi dari sisi mejanya.

"He eh, iya… mungkin ada baiknya begitu."

Nona Himesh benar-benar grogi akan kehadiran si raksasa, keringat terus bercucuran dari wajahnya.

Sebenarnya ada baiknya jika orang yang tak dapat kursi untuk berdiri saja. Namun, khusus untuk dirinya, berdiri jelas akan merusak leher kami yang harus selalu menonggak ke atas tiap kali dia berbicara.

Bahkan setelah duduk manis di lantai dia masih jauh lebih tinggi dari kami. Apa perlu, kami minta dia tiarap? Gak ngotak asli, ini orang besar banget!

"Ehem! Baiklah, kita mulai saja ya."

Ucapku demi menghilangkan kecanggungan luar biasa ini.

"Seperti yang telah diucapkan nyonya Zoastria, Guild menaruh segala data lengkap tentang apa yang perlu kita tahu pada berkas-berkas yang ada di rumah ini. Tapi sebelum kita ke sana, ada pepatah Buana Yang Telah Sirna yang berkata 'tak kenal maka tak sayang', jadi ada baiknya kita saling memperkenalkan diri terlebih dahulu."

"Sayang…?"

Aku tak tahu ekspresi apa itu yang dibuat nona Himesh, entah dia jijik, gugup, salah tingkah, bergairah atau apa, yang jelas wajahnya merah dan rautnya tak beraturan.

"Oke, dari pada lama-lama, gue duluan aje ye."

Pria Toksik di antara kami pun menawarkan dirinya.

"Silahkan tempat dan waktunya, bang."

Ucapku.

"Shiaap!"

"Kenalin, gue Asger dari suku Toksik, kelas Jawara Tombak, tingkat Manshira, umur 27. Met kenal semuanya."

"Hah, make umur?"

Nona Himesh kaget mendengarnya.

"Kenapa enggak? Semua info kita ditulis di biodata kan?"

Jawab si pria Toksik.

"Ah benar juga bang."

Aku lekas mengambil kertas biodata yang ada di depanku dan memberikannya pada nona Himesh.

"Nona, gunakan sihir esmu dan taruh segala isi biodata bang Asger berputar melayang di tengah meja."

"Tunggu, apa? Bagaimana bi-"

"Ada apa? Kamu kaget aku tahu kamu bisa melakukannya? Kamu tak bisa menyembunyikan nama keluargamu, terutama saat suku Api menyimpan banyak sekali info tentang Siska. Jangan lupa kalau kedua suku kita hampir bersatu."

Nona Himesh kian tersentak kaget mendengar aku tahu dia bisa membentuk kata-kata dari es dan melayangkannya.

"Aku merasa seperti baru saja ditelanjangi."

Dia menggelengkan kepalanya.

"Woi! Jangan bawa fantasi mesummu di pertemuan pertama kita."

"!!!" Wajahnya benar-benar matang mendengarnya.

"Oke! Oke! Sini berikan berkasnya padaku!"

Dengan galak ia berusaha menarik kertas biodata dari tanganku. Dan tentu saja…

"..."

"..."

Karena dia hanyalah Ilmuan yang lemah, kertas dan tanganku tak sedikitpun berpindah.

"Kamu hanya perlu memintanya baik-baik, nona…"

"Argh… kenapa sih…"

Dia tertunduk malu dan wajahnya semakin memerah. Karena kasihan, dengan lemah lembut aku menaruh tiap berkas biodata di sisi mejanya.