Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 105 - Chapter 39: Forge My Heart as a Seal to Our Promise

Chapter 105 - Chapter 39: Forge My Heart as a Seal to Our Promise

Setahun setelah penyerangan pertama Angkasa, Falah mengundang Amartya untuk datang ke kastilnya. Tentu saja tak satu pun orang tahu tentang kedatangannya kecuali kami bertiga, tidak pula Hakan dan para musisi. Dan di sanalah mereka, duduk di sebuah ruang kecil yang nyaman dengan perapian menyala-nyala di samping mereka.

"Bagaimana? Tak ada yang menghambatmu ke sini kan?" Tanya Raja Falah pada Amartya.

"Luar biasanya tidak, aku kira ribuan sihir akan melayang ke arahku setelah Raja Magnet membukakan gerbang Angkasa." Amartya muda terlihat begitu bingung dari atas bangku sofanya.

"Ahahaha, aku tak akan mengundangmu ke sini jika hal sedemikian akan terjadi."

"Sabarkanlah diriku Mentari…"

Falah berhenti tertawa, raut wajahnya perlahan menjadi kian layu, seakan dipenuhi dengan beban dan penyesalan.

"Maaf karena telah menyerangmu nak."

"Yang Mulia tahu, itu bukan hal yang mudah untuk dimaafkan."

"Tak apa, memang lebih baik jika dirimu membenci kami, terutama dirinya."

"Mengapa?"

"Mengapa? Agar tak ada lagi penyesalan yang tersisa ketika kamu merenggut nyawa dari tubuhnya."

"Tubuhnya? Siapa yang anda maksudkan Yang Mulia?"

"Siapa lagi? Apakah aku terlihat seperti raja yang baik di matamu nak?"

"Hamsah? Tentu saja penyerangan pada kami luar biasa ofensif, tetapi aku tak akan sampai membunuh gadis itu."

"Bukan begitu nak, aku pernah berbicara pada para musisi sebelumnya tentang bagaimana nasib kerajaan Angkasa dan hubungannya dengan Daratan dan Lautan."

"Lalu?"

"Seseorang dari mereka merupakan pembongkar informasi yang sangat handal, bahkan dari Sang Pencipta sekalipun."

"Dia membongkar informasi dari Sang Pencipta? Bagaimana bisa? Beliau bahkan sangat jarang terlihat menapakkan kakinya di Dunia baru ini."

"Aku juga tak tahu nak, namun perkataannya luar biasa dapat dipercaya dan akurat, seakan dia terlahir sebagai rasul dan peramal."

"Kemudian, dia bilang apa?"

"Katanya, Sang Pencipta menakdirkan keluargaku untuk menjadi kambing hitam atas peperangan antara Angkasa dan Daratan."

"Peperangan? Tidakkah sudah terlalu banyak pertumpahan darah di Dunia ini, mengapa beliau ingin menambahnya lagi?"

"Entahlah, namun ini Dunia yang ia buat, ia pasti juga memiliki cerita yang ingin dia ukir pada Dunia ini."

"Oke, kita anggap itu benar, lalu mengapa Hamsah?"

"Ah terkadang kamu tidak secermat yang aku kira Amartya?"

"Aku cukup merasa terhina mendengarnya, tapi bisakah Yang Mulia jelaskan lebih detail."

"Kita tahu aku akan meninggalkan Dunia ini."

"Tentu, saat Hamsah dewasa kan?"

"Ya, dan jika aku tak mampu memercikkan api peperangan antara kedua bangsa, maka beban itu akan Sang Pencipta taruh pada gadis malang itu."

"Yang Mulia pikir Hamsah akan menimbulkan sebuah konflik yang besar?"

"Jujur, awalnya tidak, aku sama sekali tidak terpikir anak semanis dia akan menumpahkan begitu banyak darah, namun setelah mendengar apa yang diucapkan Gabriel pada pesannya, aku mulai panik."

"Jadi kau memutuskan untuk menyerangku agar aku membenci kalian?"

"Tidak, itu bukan ideku… tapi aku tak juga memiliki niatan untuk menghentikan mereka."

"Baiklah, kita singkirkan pembicaraan ini sejenak, mengapa Yang Mulia ingin aku yang mengakhiri Hamsah?"

"Itu…"

"Yang Mulia berpikiran tidak ada satupun orang di Dunia ini yang sanggup menghabisinya selain aku?"

Pada saat itu tanpa sesadarku Hamsah melewati ruangan itu dan mendengar suara ayahnya. Aku menjadi panik dan segera bergegas ke sana, berharap semua rencana sang Raja tak hancur karena kehadirannya. Sayangnya dari tempatku berniang ke kastil kerajaan, memiliki jalan yang tak bisa ditempuh sekejap mata. Aku cukup kesal pada diriku yang tak terfokus pada Hamsah, karena sibuk mendengar pembicaraan mereka.

"Bukan begitu… jika aku hanya ingin putriku mati, aku akan meminta para Vhisawi meracuni dirinya."

"Lalu?"

"Aku bertanya pada gadis itu, 'jika seandainya suatu saat kamu akan mati, kematian seperti apa yang kamu inginkan?' lalu dia menjawab, 'hmm bagaimana ya? Aku, ingin dibunuh.' Lalu aku kembali bertanya, 'dibunuh? Oleh siapa?' diapun menjawab, 'mungkin oleh mu, atau… kak Amartya…' ia tersenyum begitu tulus ketika menyebut nama itu, betapa sakitnya hati ini, sekiranya aku ingin memenuhi keinginannya di akhir hayatnya nak."

Aku pun sampai, sungguh tak sampai satu menit perjalananku, tapi terlambat tetaplah terlambat. Ketika ia melihat ke arahku, mukanya sudah basah, ia kemudian melarikan diri dan mengunci dirinya di kamarnya. Kedatanganku mungkin justru membuat segalanya semakin kacau, jika saja aku membiarkannya mendengarkan pembicaraan mereka sampai habis... ia bahkan tak tahu Falah sedang berbicara dengan siapa.

"Luar biasa, kemudian? Jika Yang Mulia ingin aku membencinya mengapa memberitahu aku semua ini, mengapa mengundangku kemari?"

"Karena hal itu tak akan pernah terjadi Amartya."

"Hah!? Sekarang anda semakin tidak jelas."

"Begini Amartya, pernahkah dirimu bertanya segel apa yang digunakan para malaikat untuk menahan api neraka di tubuhmu?"

"Api neraka ditubuhku disegel? Aku kira mereka hanya belom matang."

"Tidak, kebalikannya, Sang Pencipta menunggu api neraka di tubuhmu untuk mereda agar bisa digunakan sepenuhnya di Bumi barunya ini."

"Ah oke, itu mungkin lebih— logis… mungkin… lalu?"

"Segel ini lah yang membuat dirimu tak bisa merasakan cinta selama ini."

"Semacam efek samping?"

"Tidak, yang digunakan Zabaniyah (malaikat-malaikat penjaga neraka) untuk menyegel apimu ialah sebuah hati."

"Hati?"

"Benar, mereka memasang hati kedua pada tubuhmu untuk menahan api itu agak tidak membara ke mana-mana."

"Jadi sekarang aku punya dua hati?"

"Tapi, hati keduamu lebih mendominasi dari hati aslimu."

"Maksudnya bagaimana? Aku hanya bisa merasa dari hati tambahanku begitu?"

"Bisa dibilang, hanya saja segel yang terpasang ini agak sedikit rusak karena menahan api di tubuhmu."

"Itu sebabnya aku tak bisa merasakan cinta?"

"Tepat, dan oleh karena itu Sang Pencipta menjadikan Fannar sebagai nabi, dan membuat anaknya sebagai 'obat' dalam bahasamu, untuk mengobati hati yang rusak karena kobaran api itu."

"Ah, sekarang aku mengerti… lalu kembali lagi, apa hubungannya dengan Hamsah? Mengapa aku tidak bisa membencinya?"

"Hati aslimu."

"Hati asliku? Sang Pencipta juga mengotak-atik hati asliku?"

"Nampaknya begitu nak, aku tak tahu apa yang terjadi ditengah-tengah perencanaannya akan Dunia baru ini, namun yang jelas kalian berdua seharusnya diperjodohkan dengan sedemikian mutlaknya, hingga hampir mustahil untuk kalian berdua saling benci."

"Lalu apa yang akan terjadi setelah api neraka dalam tubuhku cukup reda, bukankah berarti segel hatinya sudah tak berguna lagi? Apakah ia akan hilang atau menetap? Jika hilang apakah perasaanku pada Naema akan sirna begitu saja, kemudian aku mulai mencari cinta Hamsah? Tetapi jika aku menjalankan rencana Yang Mulia, Hamsah pasti sudah mati saat api ini reda."

"Aku— aku tak tahu harus menjawab apa nak… Sang Pencipta bukanlah Tuhan, ia harus menggunakan cara-cara aneh untuk mengatur jalan ceritanya."

"Huft… aku merasa layaknya mainan— Sudahlah! Akan kurenggut nyawa Hamsah sesuai keinginan Yang Mulia, kuharap tak ada hal aneh yang terjadi antara kedua bangsa setelah anda kembali ke akhirat." Amartya pun berdiri, bersiap pulang ke Daratan.

"Mengenai itu… Dramu yang berbincang denganku bilang, gadis itu, tak akan mati tanpa pertumpahan darah yang hebat."

"Demi mentari… Dunia ini— benar-benar… bedebah."

Seperti yang kita semua tahu, Raja Falah Yardian akhirnya meninggalkan Dunia ini tepat ketika Hamsah berusia 18 tahun. Anak itu, ia kehilangan ayahnya di hari ulang tahunnya, dan orang yang paling ia cintai, tak bisa datang untuk merayakannya.

Setelah naik tahta Hamsah langsung menjalankan apa yang menurutnya dikehendaki ayahnya, dan berniat untuk mengundang Amartya untuk mengirimnya pergi dari Dunia ini. Namun undangan yang ia siapkan, tergenang dalam lautan darah.

Aku tak paham mengapa ini bisa terjadi, tetapi Parjanya setuju untuk menjalankan rencananya. Mereka bersiap menyerang daratan, hendak membuat Amartya menganggap Hamsah sebagai ancaman bagi mereka yang berjalan, dan menanam kebencian di dalam dirinya.

Mengapa aku tidak menyabotase mereka sejak awal? Aku jujur juga tak tahu harus menjawab apa. Tetapi akhirnya aku mendatangi mereka beberapa hari sebelum penyerangan terjadi. Apa yang membuat diriku tiba-tiba memberanikan diri untuk ikut campur? Maaf tapi aku masih tak bisa menjawabnya.

"Kita bertiga sudah bersahabat bertahun-tahun lamanya, dirimu yakin ingin melakukannya?" Di sana Parjanya tengah berbincang dengan Hamsah ketika aku membuka kencang pintu ruangannya.

"Ya, dengan begini kakak akan bisa melepasku dengan tenang."

"Yang Mulia tolong berhentilah! Perang ini tak akan sedikitpun menggoyahkan perasaannya padamu." Aku panik, ribuan orang akan segera kehilangan nyawanya karena kelalaianku menghadapi krisis ini.

"Aku mengerti kekhawatiranmu akan kedua bangsa Polar, namun ijinkanlah keegoisanku merana untuk terakhir kalinya."

"Tapi— Ah! Jika memang begini jadinya, kan kupastikan perpisahanmu berjalan dengan mudah dan lancar."

"Terima kasih, kutahu aku dan bangsa ini bisa bergantung padamu."

Jangan bicara seperti itu sial, aku telah membiarkan bangsa ini mati tanpa logika yang jelas. Aku berpikir untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa, tapi aku yakin setiap mereka yang bersayap di perang itu, pasti sudah jelas nasib akhirnya. Maka dari itu aku menawarkan diriku pada Amartya untuk membantu dirinya, tapi dia menolakku, aku akan menodai kehormatan banyak orang ujarnya.

Tapi aku tetap ingin sebanyak mungkin Penempa Bumi selamat dari pertempuran ini. Jadi aku memberikan sebuah inovasi yang kupelajari dari Buana Yang Telah Sirna, komunikasi jarak jauh. Melakukannya begitu mudah semenjak aku memegang kendali atas semua gelombang elektromagnetik di Dunia ini, bahkan cahaya.

Untungnya Amartya menerimanya, tapi ia memaksaku berjanji untuk tidak mencampuri perang ini sama sekali lebih dari sekedar komunikasi. Dia sudah mempelajari bagaimana jantungku bekerja, aku hidup atas sumpah dan janji, tak mungkin aku bisa mengingkarinya, jiwaku terlalu pengecut untuk melawan apa yang tertanam padaku.

Hasilnya… kalian tahu sendiri, hampir semua musisi lenyap. Aku tahu Parjanya akan menembak habis mereka, tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa selain berdoa agak sihirnya tak cukup untuk membunuh mereka.

Namun di saat Parjanya menjalankan aksinya ada satu hal yang ia tidak ketahui, rencana Hamsah untuk menghabisi setiap petinggi Langit dan militer Angkasa. Ia mengirim salah satu Profisa untuk menculik Borea dengan angan-angan menjadikannya bahan penelitian, dan mengirim sisa klon setelah Parjanya selamat dari api putih.

Semuanya berjalan begitu lancar, begitu sempurna, sekarang ia hanya perlu memastikan Amartya yang marah datang untuk membunuhnya.

"Lihat tanganmu, baru setahun tahta ini diwariskan padamu, dan mereka sudah tenggelam dalam lautan darah."

"Polar!" Ucapnya terkejut melihatku, tapi wajahnya tak menampilkan rasa bersalah sama sekali.

"Aku yakin dirimu menyaksikan semuanya dengan sedetail mungkin, bagaimana? Kini kak Amartya akan datang kemari bukan?"

"Es dan Salju, keduanya begitu dingin, tetapi siapapun bisa dengan mudah membedakannya ketika bersentuhan dengan keduanya, yang satu keras dan yang lainnya setidaknya terasa lembut."

"Hah?"

"Tahukah perbedaanmu Yang Mulia Ratu Es, dengan permaisuri pria yang kau cintai? Kamu melawan aturan yang tercipta di dunia ini, sementara Naema mematuhinya dengan baik."

"Maksudmu!?"

"Sang Pencipta menciptakan dunia ini teramat seksis, bahkan bentuk ruh keduanya berbeda, laki-laki ditakdirkan sebagai pemimpin, pembawa, berdiri di garis depan, sementara perempuan di belakang mereka, menjadi dukungan yang kokoh."

"Cukup! Kau pikir aku ingin akan semua ini!? Seharusnya Amartya menikahiku dan menjadi raja atas Angkasa dan Daratan! Tapi Sang Pencipta! Sang Pencipta… Beliau… memberikan takdir yang lain…" Gadis itu seakan ingin menangis aku mulai merasa kasihan melihatnya.

"Kamu ingat saat dirimu menguping pembicaraan Almarhum Yang Mulia Falah mengenai keinginannya untuk Amartya membunuhmu?"

"Ya? Kenapa?" Tatapannya begitu dingin, rasanya seakan aku bisa mati saat itu juga.

"Seharusnya kamu tetap di sana dan menguping pembicaraan mereka sampai habis."

Aku pun menceritakan kembali isi percakapan Raja Falah dan Amartya, sedetail yang aku bisa. Hamsah tak terlihat cukup senang mendengarkan tiap kalimat yang aku tuturkan. Berbeda dengan Naema yang pemalu dan mudah merona (ditambah aku bukan Amartya), sikap Ratu Es sangatlah… dingin.

"Oh jadi begitu, dan baru sekarang kau ucapkan ini padaku?"

"Ya… itu—"

"Aku tak mengira ternyata kau sekeji ini Polar, kukira kau hanya seorang penguntit yang gemar menguping orang dari belakang, seharusnya aku tak pernah mempercayai orang yang menyimpan dendam pada bangsaku sendiri."

Dendam? Ah benar, kurasa aku pernah bercerita padanya tentang awal aku dibawa ke Angkasa. Aku harus belajar menutup mulutku akan informasi-informasi semacam itu, dan membuka mulutku pada informasi lainnya.

"Sudahlah! Setidaknya akhirnya semua berjalan sesuai keinginan ayah untuk mematikan sistem monarki Angkasa, haruskah aku berterima kasih atas semua ini? Raja Magnet!?"

"Ah ngomong-ngomong semenjak Amartya akan datang tanpa rasa benci, kamu bisa utarakan semua isi hatimu."

"Kau tak perlu memberitahuku soal itu Polar, sekarang enyahlah! Aku mau menikmat detik-detik terakhir penyesalanku."

Kemudian saat Amartya akhirnya datang, kalian tahu sendiri bagaimana hasilnya.

Baju, tangan dan wajah, tiap sisi Amartya berlumuran darah, baik itu dari tubuh Hamsah, ataupun matanya yang tak mampu mengalirkan air mata.

Seperti permintaan Hamsah, ia pun membawa tubuhnya turun ke Daratan. Perlahan ia baringkan gadis yang sudah tak bernyawa itu di luar pondoknya, di samping kamarnya, dan ia kuburkan sudah jasadnya.

Akan tetapi setelah selesai, ia merasakan sesuatu yang dingin memeluknya dari belakang.

"Ah adinda, sudah selesai jalan-jalannya? Bagaimana? Lumayan menarikkan kota Angkasa?"

Ia lalu membalikkan badannya, tapi tak ada seorangpun di sana, hanya tanah kosong, dengan sekumpulan singa api yang tertidur.

"Sial… apa-apaan ini? Jika begini jadinya aku lebih memilih untuk tak bisa merasakannya, aku harap— aku bisa kembali dikutuk oleh segel ini… keindahan yang ia paparkan, tak sebanding akan apa yang harus dibayar."

Omong kosong bukan? Bagaimana bisa sesuatu seindah cinta berakhir kian mengenaskan. Dari awal, Dunia ini tak diciptakan oleh orang baik-baik, atau mungkin ada sesuatu yang membuat Sang Pencipta menjadi sedemikian kejamnya.