Tak lama akhirnya mereka menembus awan, dan di hadapan mereka terpampang gerbang raksasa yang terbuat dari logam-logam yang tebalnya melebihi satu kamar tidur. Aku tentunya sudah berdiri di sana, bersiap menyambut mereka.
"Selamat datang kembali di kota Angkasa tuan Amartya!"
"Ah Polar… rasanya sudah cukup lama semenjak terakhir kali aku ke sini, serangan Indra membuat hubungan antara Angkasa dan Daratan begitu canggung." Amartya tampak letih dan mual berkendara ke Angkasa, pergerakan vertikal pesawat musik Verslinder terlalu cepat untuk manusia daratan seperti dirinya.
"Ehm... aku minta maaf soal itu, waktu itu aku terlalu muda untuk bisa mencampuri politik para Ilmuan Langit."
"Tak apa, yang berlalu biarlah berlalu."
"Ngomong-ngomong, apa yang terjadi pada Magistra Indra?" Naema menyela masuk ke dalam pembicaraan kami.
"Indra? Para Waraney memburunya semenjak dia terus menerus meneror Daratan demi menangkapku, dia sebenarnya kakak kandung Parjanya, melihatnya mati cukup membuatku merasakan hal aneh."
"Oiya, semenjak kedua musisi yang tersisa datang ke sini, ada seseorang yang mungkin ingin kalian temui."
"Seseorang?" Verslinder tampak sangat bingung mendengar ucapanku.
Aku pun membukakan gerbang Angkasa. Darinya datang sesosok pria berpakaian hitam dengan logo boneka yang menyerupai Austra di sakunya. Ia berjalan perlahan dengan kaki terpincang-pincang, dan tangan yang memegangi bahunya. Tubuh dan pakaiannya perlahan meluap seperti para musisi lain sebelum mereka mati.
"Broer!?" Austra kaget melihat kakaknya keluar dari kota Angkasa, apalagi dengan kondisi tubuh yang begitu buruk. Suaranya hampir terasa akan berteriak.
"Ah? Adikku tersayang, selamat datang di kota Angkasa! Hehehe, para penyihir itu ternyata lumayan juga, aku merasa seperti baru saja kehilangan separuh nyawaku." Bahkan dikondisi separah itu, Borea masih bisa tersenyum dengan tulusnya.
"Itu…"
"Ngomong-ngomong mengapa kalian berdua di sini? Di mana bapak Conductor dan yang lainnya?"
"…" Verlinder dan Austra tak sanggup menjawab pertanyaan Borea, begitu pula dengan kami bertiga.
"Tunggu… serius? Lalu? Isti (Khatulistiwa, nama istri Borea)? Isti di mana?"
Bibir Austra menggigil, air mulai menetes dari matanya.
"Begitu, semua jelas sekarang, pantas saja tubuh ini bisa terluka sedemikian parahnya."
"Maaf…" Verslinder akhirnya membuka mulutnya, ia tak mampu menatap mata Borea.
"Bukan salahmu gagak kecil… baiklah jika memang begitu jadinya, sudah tak ada lagi alasan untuk menahan pedih yang diterima tubuh ini."
"Tunggu! Broer!? Broeer!!!" Austra menjadi kian histeris.
"Aku yakin Austra akan baik-baik saja di tanganmu Verslinder… mungkin kita akan berjumpa lagi, kelak di Surga nant—" Tubuh Borea akhirnya sempurna meluap, menyatu bersama bayangan.
"Dua kali… dua kali kau mati di hadapanku…" Austra mematung melihat kakaknya menghilang begitu saja.
"Sudah cukup duka untuk kami hari ini Tuan Penguasa, kami izin undur diri." Dengan cepat Verslinder membawa Austra, dan keduanyapun lenyap begitu saja menjadi sekumpulan bulu gagak. Keduanya kini kembali ke Ratmuju. Tak ada lagi yang perlu mereka hadapi hari itu.
"..."
"Jika boleh jujur tuan Amartya, aku membenci perang ini."
"Begitu pula aku Polar… begitu pula diriku…"
Kami bertiga kemudian memasuki gerbang Angkasa, dan terpampanglah kota modern yang jauh lebih canggih dari apapun yang ada di Daratan. Cahaya bersinar dari jalan dan bangunan, layar dengan gambar bergerak tertempel di mana-mana, toko-toko berdiri dengan corak yang berpancarona, orang-orang berpergian ke sana kemari dengan kaki mereka dan ratusan sarana transportasi berterbangan di atas mereka, ditenagai oleh angin.
Kota Angkasa menopang banyak teknologi karena adanya kristal listrik yang sangat mudah diperoleh. Meskipun aku tahu di dunia kalian listrik mentenagai hampir segalanya, tetapi di sini kami juga banyak memakai elemen lain.
Kristal angin untuk pentenagaan transportasi, kristal cahaya untuk lampu-lampu, kristal es untuk pendinginan, kristal tanah untuk membuat lahan berpijak, kristal kegelapan untuk peredupan cahaya, kristal alam untuk segala keperluan medis dan pertanian, kristal air untuk keperluan perairan, kristal toksik untuk katalis reaksi kimia dan kristal api untuk segala keperluan pemanasan dari mesin hingga memasak.
"Ada banyak sekali Penempa Bumi dan Pelukis Samudra di sini…" Naema tak mampu berkedip ataupun menutup mulutnya yang terbuka kian lebar saat melihat kota Angkasa yang sangat jauh berbeda dengan kota-kota di Daratan.
"Tentu saja, kota ini adalah ibu kota Angkasa dan pusat perekonomian dunia, sebagaimana kalian bisa lihat banyak Ambawak yang memiliki toko di sini." Ucapku menjelaskan selagi mengarahkan tanganku pada ruko-ruko yang ada.
"Aku kira hubungan Daratan dan Angkasa terusak setelah Indra melancarkan serangan pada Bumi?" Ah iya, sebenarnya agak salahku juga tidak melaporkan situasi Angkasa pada Amartya di masa-masa genting.
"Bahkan aku melihat banyak Genka berjalan di mana-mana."
"Ah itu tuan Amartya, informasi soal penyerangan, perang dan segala macamnya hanya diketahui oleh para petinggi suku dan mereka yang bergabung di bidang militer, dan seperti yang anda ketahui tuan, tak banyak dari Ilmuan Langit yang tertarik dengan kemiliteran kecuali dua suku yang saling membunuh satu sama lain."
"Itu kah sebabnya kita bisa berjalan di sini dengan bebas tanpa satupun misil terbang ke arah kita?"
"Bisa dibilang."
"Lalu bagaimana dengan Naema?"
"Seharusnya tak ada orang yang tahu bagaimana muka Naema semenjak dia turun di saat bayi."
"Bukannya mereka tau wajah Fannar dan Eira?"
"Hanya generasi kedua, mereka tidak terlalu sering keluar rumah, anak-anak mereka yang mengurusi kehidupan dan bisnis mereka."
"Menarik."
Tiba-tiba Naema terhenti di depan sebuah bangunan tinggi bewarna coklat kemerahan. Dari jendelanya ia bisa melihat ribuan buku terpapar rapih di dinding dan rak-rak kayu. Furnitur di sana juga banyak yang terbuat dari kayu tebal, bersama perapian yang membuat suasana di sana terlihat hangat ketimbang di luar yang dimana tiap pejalan kaki mengenakan pakaian tebal.
"Kakanda! Kakanda! Lihat!" Gadis itu berlompatan kegirangan layaknya anak kecil yang baru menemukan sebuah harta karun.
"Ah, kamu belum pernah ke toko buku sebelumnya?"
"Toko buku?"
"Ya, kita bisa membeli buku di sana, sebenarnya banyak buku yang ada di rumahku dan rumahmu yang berasal dari salah satu toko buku ini, buku-buku yang mereka terbitkan selalu memiliki logo 'Ziz Media'."
"Ziz Media? Oh iya ada banyak buku di rumah yang seperti itu— tunggu! Bagaimana kakanda bisa tahu buku-buku di rumahku!?" Matanya terbuka lebar, seakan melotot kaget.
"Polar, sebaiknya kamu ajak Naema berkeliling kota Angkasa, kamu tahukan betapa personalnya pertemuanku dengan sang ratu?"
"Tentu saja tuan… mari 'nyonya' permaisuri, kita masuki toko bukunya."
"Aku akan temui kalian lagi di rumah pondok, adinda."
Sementara aku menemani Naema menjelajahi ibu kota, Amartya mendatangi kastil Yardian, kediaman penguasa tertinggi Angkasa. Beruntung baginya para pengawal istana tidak mengetahui konflik antara Ilmuan Langit dan Amartya, sehingga mereka menganggap dirinya sebagai teman masa kecil Yang Mulia Ratu, dan memperbolehkannya masuk. Aku tahu, aku juga takjub dengan bagaimana Falah ataupun Hamsah mampu menjaga informasi di Angkasa dengan sedemikian ketatnya.
*Tok! Tok! Tok!*
Suara pintu terketuk. Sang singa api menandakan pintanya pada sang ratu, hendak memasuki sarangnya. Irama yang muncul terasa begitu familiar, hingga gadis itu termenung sekilas sebelum memberikan izinnya.
"Masuk!"
Terbukalah pintu itu, dan darinya tampak sepatu baja yang memunculkan hawa panas. Udara yang membeku kini cair, menghembuskan angin sejuk yang memenuhi seisi ruangan. Jubah merah pun terkibar, memunculkan api yang kian berkobar, namun yang datang darinya hanyalah kehangatan dan berjuta rasa rindu.
Di hadapan Amartya seorang gadis memandangnya, tercenggang akan kehadirannya. Dengan mata bagai permata, rambut bagai awan di antara langit biru, kulit lembut seputih salju dan sayap raksasa yang terkembang berkilaukan cahaya. Berbeda dengan Naema yang hanya rakyat biasa meski dari keluarga utama, Hamsah merupakan keturunan langsung raja Angkasa yang rupawan dan penuh gemerlap sihir. Ia adalah gadis tercantik yang ada di Angkasa, keindahannya akan membuat bunga manapun tertunduk malu.
*Bruk!*
Bagai angin gadis itu melesat, melemparkan tubuhnya pada tubuh Amartya, rasa rindu yang sudah tertimbun bertahun-tahun lamanya, kini tak mampu lagi terbendung. Meski begitu, pikiran pertama yang muncul ialah 'berat!', sayap Hamsah begitu kolosal karena kekuatan sihirnya, menjadikannya sebuah beban yang cukup tinggi bagi seorang Penempa Bumi yang tak mampu mengangkatnya dengan sihir.
"K-kak Amartya? Kau sungguh data— maksudku, ada maksud apa kemari?"
Amartya hendak menjawab pertanyaannya, namun sesuatu dalam dirinya membuatnya membisu, hanya ingin menikmati pelukannya dengan Hamsah.
"Ah… sudah lama sekali rasanya, terakhir kakak di sini Parjanya masih anak cengeng yang menciut hanya dari mendengar cerita kakak."
Pemuda itu merasa semakin lama ia di sana... semakin sering ia mendengar suara Hamsah... semakin ia akan menyesali tiap desisinya dan semakin sulit baginya untuk mengahiri semuanya.
"Hey kak, semenjak Yang Mulia Ayahanda tidak lagi ada di sini, ingin bermalam di mari? Dunia sepi sekali rasanya tanpa dirinya ataupun dirimu."
Sudah yakin tekatnya, setiap detiknya waktu berjalan tugas ini akan semakin mustahil. Ia pun mengangkat tinggi tangan kanannya tepat di atas punggung Hamsah, dan dari jemarinya sebuah cincin berubah menjadi sebilah pisau yang menyala-nyala. Hamsah sadar akan hal ini, dan dari wajahnya pun keluar sebuah senyuman manis lagi pahit, menandakan betapa leganya dirinya.
"Maafkan aku… kak…"
Sayap Hamsah pun perlahan hilang, menjadi butiran kristal es yang memenuhi ruangan. Ia memberikan jalan lurus untuk pisau itu menuju punggungnya. Amartya yakin itu batas keteguhannya, dan dengan sekuat-kuatnya ia tancapkan pisau apinya pada tubuh kecil gadis itu.
"Maaf, aku bukan orang yang melepas segelmu."
Sekarang ia hanya perlu menarik pisau itu ke bawah, dan mempercepat kematian Hamsah. Tapi entah mengapa ada sesuatu yang menghadangnya, tubuhnya bergetar kian hebat ia tak mampu menggerakkan dirinya, dan air mulai menetes dari matanya.
"Ada apa? Mengapa kakak begitu ragu? Aku rasa Polar benar, semua ini memang sia-sia."
Amartya tak mampu melakukannya, ia hanya menyiksa dirinya lebih lama. Darah mulai mengalir deras dari matanya, nafasnya menjadi begitu berat, dan jantungnya berpacu kian cepatnya. Hamsah bisa merasakannya berdetak di wajahnya.
"Jika memang kakak tak bisa… membenciku, izinkan tubuhku untuk tetap bersama kakak, setidaknya biarkan diri ini berbaring di tanah yang sama setiap malamnya."
Pemuda itu menggengam belatinya semakin erat, tapi tak sedikit pun ia bergerak. Nafasnya begitu lantang dan cepat, uapnya menghembuskan udara panas pada rambut putih yang menempel di dadanya. Ia mulai tak bisa lagi merasakan dinginnya tubuh yang kian erat mendekap badannya.
"Maafkan… aku… kak… mungkin, lain wakt… kita… bisa bersama… kemb… a… l—"
Hamsah melepas pelukannya, tubuhnya lemas, sudah tak adalagi yang berniang di dalamnya. Hingga akhir, tak sepatah katapun keluar dari mulut Amartya. Namun hatinya berteriak begitu kencang, tenggelam dalam nada-nada histeris, suara yang bahkan tak mampu terdengar itu membuatku terjaga ratusan tahun lamanya.