Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 103 - Chapter 37: Those left Behind

Chapter 103 - Chapter 37: Those left Behind

Pertunjukkan pun berakhir, panggung semesta menutup dirinya, Aurora kembali pudar dan tanah berjatuhan, kembali menyatu dengan Daratan. Sementara Austra dan Verslinder, berdiri di atas tubuh seorang penyihir, satu-satunya yang tersisa dari pasukan Langit.

"Jadi... kau Parjanya?"

"Kenapa? Ingin membalaskan kaummu? Ayo cepat bunuh aku!"

"Ah… bagaimana kau bisa sedemikian serakahnya?"

"Hah?"

"Tidakkah kematian terdengar terlalu manis untuk dosa sebesar yang kau perbuat?"

"Memangnya aku peduli! Sejarah akan mengingatku sebagai orang yang hampir menghabisi satu suku, tidak, bahkan 2! Apalagi suku yang hanya berisikan calon penghuni Surga."

"Hampir."

"Diam! Dan cepat akhiri ini semua!"

"Sayangnya tidak bisa wahai penguasa petir, ada sejarah lain yang perlu kau ukir, tapi tidak dengan tubuh ini, terlalu banyak dosa di sana."

"Apa? Kau bicara Apa!?"

"Sesungguhnya ada banyak hal di Dunia ini yang tidak kalian ketahui, mahkluk fana."

Verslinder menodongkan tangannya pada Austra, gadis itu pun memberinya sebuah kotak dengan 2 pintu, dan sebuah segel yang belum terpasang. Verslinder lalu membuka kotak itu dan mengarahkannya pada Parjanya.

"Saat waktunya tiba, kau akan datang padaku untuk mengambilnya kembali."

Dari sekujur tubuh Parjanya keluar kabut violet yang tertarik masuk ke dalam kotak itu. Ia berteriak, merintih, kian lantangnya, badannya tak henti-hentinya berkejang. Verslinder mengambil elemen listrik Parjanya, dan menyegelnya pada kotak itu.

"Kau… ap… yang ka… u… perbu… t?"

"Bagaimana rasanya menikmati hidup tanpa elemen? Tenang, salah satu kaum yang kami bantai berhasil hidup ribuan tahun lamanya, tanpa memiliki elemen, tapi tentunya, sekarang bukan saatnya bagimu untuk hidup Parjanya."

"Si…a…l"

"Woy boneka, ambil ruhnya, kita akan tempelkan dirinya pada Sang Penguasa."

"Baiklah~ Tidur nyenyak nak, sampai jumpa lain hari."

Austra kemudian menginjak tubuh Parjanya dengan kaki kanannya. Lalu ia tempelkan kedua tangannya pada lukisan roh yang berada pada jantung Profisa itu. Dengan mudahnya ia menarik keluar jiwa Parjanya, dan membawanya pergi, sebagaimana kekuatan yang dianugrahkan malaikat Azrael kepada dirinya.

Dengan ini berahir sudah perang Sfyra. Perang ini tercatat sebagai perang kedua dimana tiap suku Penempa Bumi dan Ilmuan Langit saling berkelahi antara satu dengan yang lainnya. Yang pertama tak lain ialah perang 7 keluarga yang dikomandoi musisi Dramu.

"Apa akhir dari semua ini sesuai ekspektasimu, kakanda?" Naema dan Amartya kian duduk di atas tembok Sfyra, memandangi genangan penyihir yang gugur, serta para mayat hidup yang membawa mereka pergi menuju Ratmuju.

"Sebenarnya kita masih ada satu tugas lagi, tapi ya… untuk perang ini, perasaanku campur aduk."

"Mengapa?"

"Entahlah, terkadang aku berharap segel hati ini tak kan pernah terbuka, tapi jika hal itu terjadi, maka diriku tak akan bisa mencintaimu."

Naema bahkan tak merona mendengarnya. Ucapan itu jelas membuatnya senang, tapi ia bisa merasakan kegaduhan dalam hati Amartya setelah ia kehilangan begitu banyak dalam perang yang tak seharusnya sedemikian rumit.

"Tapi bukankah… selain para musisi tentunya, kita tak terlalu menderita dari banyaknya korban yang gugur?"

"Ah, kamu benar soal itu adinda, para Vhisawi kehilangan beberapa puluh orang di serangan terakhir, begitu pula dengan Ambawak, ocehan Yang Mulia Uranus sudah mulai terngiang-ngiang di kepalaku."

"Malianis juga kehilangan beberapa orang, aku harap itu tak akan terlalu berefek pada regenerasi generasi keempat mengingat mereka semua wanita."

"Tak satupun prajurit yang gugur dari pihak Genka dan Tanduk Putih, tentu saja dengan bagaimana kondisi pasukan Api saat ini, hal ini sudah seperti apa yang diharapkan, namun bagi para Pasilek, aku sangat bersyukur mereka semua dapat pulang dengan utuh. Tak seperti pria Bumi pada umumnya, mereka memiliki banyak istri yang menunggu mereka pulang."

"Lalu para Sarma dan Raksaka?"

"Mereka semua kembali ke Umanacca, makhluk dengan regenerasi tubuh secepat mereka tak akan mati ketika bertempur di jarak yang begitu aman."

"Oke, kurasa perang ini bisa dibilang sukses." Naema berdiri dari duduknya, dengan senyuman cerah sesejuk mentari pagi. Amartya bisa merasa ketenangan di hatinya, sekiranya cukup untuk membantunya berpikir logis ke depannya.

Di tengah pembicaraan mereka, Verslinder dan Austra mendatangi mereka di atas tembok. Wajah mereka tampak gundah, tetapi ketegaran mereka melebih siapapun di dunia ini. Bagaimana tidak? Mereka berdua datang dari kaum yang sudah biasa merasakan kehilangan. Dan tentu saja kebanggan Dramu akan menolak Verslinder untuk tetap merana.

"Apa rencanamu selanjutnya, wahai penguasa?"

"Rencana? Aku akan mengakhiri ini semua."

"Kalian akan mendatangi kota Angkasa?"

"Hah? 'Kalian'? Ah ya, kurasa Naema bisa ikut."

"Kita akan pergi ke negri di atas awan kakanda?"

"Sebenarnya ini agak sedikit personal, namun semenjak kamu tidak pernah berkunjung ke sana, aku mungkin bisa titipkan dirimu pada Raja Magnet."

"Kalau begitu aku dan Austra juga akan ikut dengan kalian, lagi pula tak ada sarana yang lebih cepat ketimbang musik kami."

"Dimengerti, jika begitu sebaiknya kita bergegas, aku yakin sang ratu juga sedang menunggu kedatanganku."

Verslinder lalu menjentikkan jarinya, dan darinya keluar nada yang membentuk platform di bawah mereka berempat. Ia terlihat begitu letih, jadi ia biarkan biolanya yang menyelesaikan sisa pesawat musik tersebut dan menerbangkan mereka. Berbeda dengan yang sebelumnya ia buat bersama DiVarri, platform ini tidak transparan, Verslinder terlalu kenyang untuk memakan ketakutan dari 3 orang lainnya.

Naema tampak begitu gembira bisa mengudara tanpa harus mengepakkan sayapnya. Ia mungkin satu-satunya di antara mereka berempat yang tidak memiliki beban mental saat itu. Sementara kedua musisi termenung memandangi Angkasa yang terbentang di hadapan mereka. Austra pun mulai berbicara pelan pada Verslinder.

"Hey... Sweet Crow?"

"We're outside Ratmuju you stupid doll."

"I know, this information is… classified."

Verslinder kemudian melirik ke arah Amartya, ia yakin pemuda api itu kini sudah mampu memahami Unity. Amartya mengerti arti pandangan Verslinder, dan menjauh sedikit bersama Naema, berusaha berbincang untuk menyibukkan pendengarannya.

"Go on then…"

"Do you regret, you know… saving me?"

"There is no use living in regret."

"Well that's true, but… do you?"

"Huft… listen here Austra—"

"You actually said my name, is it really that bad?"

"You piece of shit! I will fucking kill you—"

"Why won't you then? You know you'll also died when I die right? We can meet DiVarri and the others in Heaven if that happened"

"… I can't"

"Why?"

"I— I don't know… maybe Leviathan's prayer kept me from doing so."

"Then, do you want to stop using English (Unity)? Since we're the only one left?"

"No… please... they kept me stay... sane…"

Melihat betapa melasnya muka anak itu, Austra kemudian mendekatkan kepala Verslinder ke dadanya, dan memeluknya dirinya erat, penuh dengan kasih sayang.

"Don't worry Sweet Crow… I may not have a motherly figure, but no matter what happens, I'm always here for you, always…"

Verslinder terlihat begitu tenang saat itu, ia seakan ingin menangis. Bagaimanapun juga, Verslinder memiliki jiwa anak-anak di dalam dirinya, dan kini ia kembali kehilangan seisi keluarganya. Tidakkah takdir begitu kejam kepada dirinya?