Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 102 - Chapter 36: Song of the Sacrificed pt.2

Chapter 102 - Chapter 36: Song of the Sacrificed pt.2

Kesedihan membanjiri udara, digenangi oleh iringan musik yang merambat kian megahnya. Para penyihir pun terlepas dari pengaruh nada steroid Austra, kini mereka hanya terpaku memandangi Angkasa, terhanyut dalam aliran melodi yang membawa mereka melewati sungai kenangan dengan pohon-pohon yang tertanam dari kasih dan rindu Austra pada kakaknya.

Daun-daun berguguran dan alunan cello mulai mengelus manja leher mereka, berbisik akan keluh kesah seorang gadis yang baru terpisah dari tubuhnya. Violin dan viola beriring-iring, menuntun mereka bagai dua malaikat, berjalan perlahan ke alam kubur. Kini terasa tubuh itu terbaring di antara sunyi dan gelap.

♪ It's dark, so cold ♪

♪ Nothing moved yet I trembled in fear ♪

♪ Lying on a solid rock ♪

♪ Between two men dressed in white ♪

Musik bergetar kian cepatnya, ketukan timpani yang teramat keras, menggambarkan ketakutan luar biasa yang dihadapi Austra di alam kubur. Kedua instrument gesek terdengar semakin jelas, seakan mereka berusaha menyadarkan siapapun di sana tentang kehadiran mereka.

♪ A paper and a whip ♪

♪ One ask and one ready to punish ♪

♪ Speak and none would be heard ♪

♪ Only faith were allowed to answer ♪

Instrumen lain mendadak senyap, hanya violin dan viola yang berbicara. Berucap kata yang tak merambat, serasa berbisik di antara teriakan yang lantang. Nada yang muncul mencekik kian membelenggu, angankan telinga ini dipaksa mendengar. Mereka terus bertanya, menanti-nanti jawaban yang begitu berat untuk dilantunkan.

♪ Who's your God? ♪

♪ Who's your God? ♪

♪ As the first question asked ♪

♪ My journey, has already begun ♪

Suasana menjadi begitu sepi namun ramai. Penuh dengan kesendirian, di tengah rasa sadar akan penuhnya alam itu. Setiap orang sibuk dengan masalahnya sendiri, sibuk dengan kedua malaikat yang senantiasa menemani mereka, baik itu sebagai teman, ataupun sebagai hakim dan algojo.

♪ Ra… ra… ra… ra… ♪

Kedua alat gesek teramat tegas, meski instrument lainnya merengek. Austra bernyanyi dengan sendu dan tenangnya, namun ketika suaranya sampai di telinga, aku bisa merasakan setiap orang di sana kehilangan kewarasannya.

♪ Forgive me! Forgive me! ♪

♪ Help me! Help me! ♪

♪ Stop! Stop! Stop! Stop! Stop! Stop! ♪

♪ AaAaAaAaAaAaAaAaAaAaA!!!!! ♪

Para wanita hitam terus merontakan ucapan ampun, luar biasa pedih untuk didengar, menggambar jelas betapa horornya alam kubur, dengan penghuninya tenggelam dalam siksaan. Sementara bagi Austra, ia sampai pada pertanyaan terakhirnya.

♪ Who's your brothers? ♪

♪ Who's your brothers? ♪

♪ Faith answer, yet my body shivers ♪

♪ As tears can't lie, tell me why oh brother ♪

Melodi perlahan meredup, berjalan menuju tahap transisi. Air mata yang menetes dari mata Austra menggenang, membanjiri daratan dengan cahaya. Para penyihir yang terjebak di dalamnya, bisa merasakan balada gadis kecil yang tak henti-hentinya menyayat hati mereka. Bahkan di tengah teriknya sinar Austra, depresi datang menghampiri.

Negri bawah mungkin cerah, tetapi mereka yang di atas masih terperangkap dalam gulita. Di tengah kesunyian yang mencekam, Verslinder berbisik, melagukan kisah Borea, sang kakak yang ditinggal adik tersayang. Irama serak yang keluar dari mulutnya, sungguh berat, seakan ia lupa caranya bersuara.

♪ Mocked, by the spinning circles ♪

♪ I, saw the trees growing red ♪

♪ And the skies, burning with your name ♪

♪ With no where to go home, no one to go back ♪

♪ I. Just. Standing here. Crying… ♪

Sayap Verslinder mendadak berhenti berkepak. Ia terjatuh bebas, layaknya seekor burung yang kehilangan nyawanya. Kesedihan Borea terlalu berat bahkan untuk seorang lambang kematian, tubuhnya menjadi begitu lemas, begitu sulit untuk digerakkan. Dengan kerasnya, dirinya pun menghantam tanah, dan seisi Sfyra pun pecah, melayang-layang di antara langit dan pepohonan.

♪ Alone… ♪

Perkusi berbunyi, menandakan transisi melodi instrumentasi. Alat-alat gesek merinai sendu di antara kicauan instrumen tiup yang mendayu-dayu. Pecahan tanah yang menari mengikuti alunan biola, berputar spiral, membayang-bayangi arah gesekan, dan setiap timpani berketuk, mereka menggemakan cahaya keunguan.

♪ Devoured alone ♪

♪ I bury my soul within these piles of dirt ♪

♪ Crying only one word ♪

♪ Promise promise ♪

Petikan gitar menuntun bisikannya seorang, bersama tangisan malam. Irama dari senar yang bergoyang, satu demi satu berbunyi, terasa senyap seakan menghantui. Melodinya mempercantik kesedihan Borea, angankan menari di atas air mata.

♪ What's my sin ♪

♪ O what's my sin ♪

♪ To carry such pain ♪

♪ O to carry such pain ♪

♪ Pain… ♪

Perkusi kembali menyuarakan transisinya. Para instrument kembali memainkan melodi yang sama, namun lebih agung, lebih hikmat. Bersama para wanita hitam yang nyanyiannya seakan memanggil Verslinder bangkit dari kegelapan. Bongkahan tanah yang pecah di punggungnya, perlahan menopangnya berdiri, mengikuti irama musik yang mendayu-dayu.

♪ Shall I walk, to an empty room ♪

♪ Only to cry from a gentle voice ♪

♪ Lies my heart, within this doll ♪

♪ Suffering… from her smile ♪

Lantunan gitar kembali mengambil alih simfoni, namun kali ini ia dibuntuti jentikan nada piano. Suara mereka saling membayang-bayangi, layaknya tetesan air dan percikannya. Terasa kerinduan Borea yang kuat, momen ia mengelus lembut boneka yang ia buat. Sungguh malang nasibnya, sungguh malang nasibnya…

♪ What's my sin ♪

♪ O What's my sin ♪

♪ To carry such pain ♪

♪ O to carry such pain ♪

♪ Tell… me… ♪

Perkusi menandakan transisi melodi, dan kini instrument yang bermain semakin ramai. Nada-nada yang bersahutan semakin megah dengan suara gamelan memimpin irama mereka. Begitu agung begitu perkasa, tanah pecah yang melayang kini berukir dalam bentuk batu bata, berbaris rapih mengelilingi medan tempur, mendirikan menara yang luar biasa tingginya. 1000 gamelan merinai pada dinding mereka, dan Verslinder kini berdiri tegak, dipenuhi determinasi.

♪ Sit above the throne of a thousand melodies ♪

♪ Between dawn knights with fiery armor ♪

♪ As I present the stage of the universe ♪

♪ All to you… only you… ♪

Dari tangannya Verslinder memunculkan kembali baton DiVarri. Batangan pendek itu dilumuti cahaya kuning dan ungu, berlumurkan kabut dan cahaya, sungguh suci dan terkutuk dirinya. Dan dengan batonnya menghadap ke atas, Pria kecil itu menyiarkan panggungnya pada dunia.

♪ And let the show begin! ♪

Sang Menara pun merekah angankan bunga di kala semi, membuka dirinya pada langit hitam yang menutupi dirinya dari mentari, dan alunan lagu berbondong-bondong membentuk mahkotanya. Gitar hendak berdistorsi, dan bersama 4/4 ketukan dari batonnya, Verslinder membunyikan titahnya.

♪ Now paint for me Aurora! ♪

Angkasa pun dilukis cahaya, yang menari-nari di atas pangung yang pekat gulita. Berombak-ombak bagai lautan yang ganas, mereka menggemakan sayap Verslinder dengan sinarnya, menghipnotis mata mereka yang melihat.

♪ Paint for me! ♪

Tiap bata Menara berputar spiral, mengikuti tarian Aurora yang terpandu baton pria itu. Mereka terus menggemakan cahaya bersama timpani yang berketuk, merayu-rayu para penyihir di dalam pesta terakhir mereka.

♪ Paint for me Aurora! ♪

Pasukan Langit berdansa di bawah gemilang Aurora. Tubuh mereka melayang-layang, layaknya mempersembahkan diri pada Angkasa. Tak ada yang bisa menggerakkan mereka kecuali langit itu sendiri. Sayangnya, seindah apapun pertunjukan, mereka tetap memiliki akhir.

♪ PAIN FOR ME! ♪

Ribuan cahaya berbondong-bondong menusuk tubuh para penyihir, melukis malam dengan darah merah yang tak henti-hentinya menghujani Daratan. Setiap Ilmuan dan klon yang ada di sana bisa merasakan tubuh dan jiwa mereka direnggut cahaya, semua kecuali satu orang.

♪ Tap, tap, the cold embrace ♪

♪ Sister come, brother… gone ♪

♪ Oh how love, please smile ♪

♪ In the winter storm, you… why? ♪