Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 101 - Chapter 35: Song of the Sacrificed pt.1

Chapter 101 - Chapter 35: Song of the Sacrificed pt.1

Ratusan bendera perang pun berkibar di antara pasukan Langit, panji-panji Angkasa terpampang di seisi medan tempur, pasukan Langit dengan rapihnya mulai berbaris membentuk formasi perang mereka.

*Tick!*

Verslinder menjentikkan jarinya dan bumi seketika bergetar, seisi pasukan kegelapan yang gugur di pertempuran pun bangkit kembali dan berbaris di belakangnya. Kini kedua pihak saling berhadapan satu dengan yang lainnya. Siap untuk saling bertumpah darah.

Para elemental berdiri di barisan terdepan tepat di belakang Parjanya yang kini memimpin seisi pasukan Langit. Para Diabolic menaruh perisainya di depan dan tombaknnya menempel mengarah pada pasukan Kegelapan. Sementara di belakangnya barisan Angkasa dipenuhi lingkaran sihir yang menyala-nyala.

"Lihat itu, pasukan Langit kini terlihat lebih profesional."

Verslinder melepas biola dan penggeseknya ke udara, dan kini keduanya melayang tinggi di atasnya. Lalu terbentuklah dua karih hitam dengan ukiran ungu di kedua tangannya. Keduanya menyala-nyala dan haus akan darah.

"Verslinder tak akan menggunakan musik?"

"Nampaknya tidak. DiVarii pernah berkata padaku, ketika Verslinder sedang terlahap amarah dan dendam ia lebih suka untuk menyelesaikannya langsung dengan kedua tangannya sendiri."

"Apakah ia dulunya seorang petarung atau prajurit?"

"Tidak, Verslinder mungkin lebih muda secara mental dan tubuh dari Ares, namun Ares sangat menghormatinya sebagai leluhur dari kaumnya, dan atas dasar itu ia mengajarinya ilmu silat dari Buana Yang Telah Sirna, dan tentu sebagai seorang jenius, Verslinder sangat ahli dalam menguasainya."

*JEDARR!!*

Parjanya menembakkan petir ke Angkasa, dan seisi medan pertempuran kini diliputi awan-awan kelabu yang terguncang akan kilatan-kilatan violet. Para penyihir berdiri rapih di atas barisan mereka, mantra-mantra yang menyala kini mulai menodongkan mata mereka pada pasukan Kegelapan.

"Demi Widya Dhirga, BANTAI MEREKA SEMUA!"

Parjanya melengking nyaring dan berlari bersama para elemental kearah pasukan Kegelapan, gemruh langkah mereka memenuhi medan pertempuran. Verslinder turut berlari hendak memberikan dirinya sambutan, dan seisi pasukan Kegelapan menerjang balik ke arah mereka. Sihir dan kegelapan bertebangan di udara saling menghantam satu sama lain. Sementara karena kecepatan mereka yang luar biasa, Parjanya dan Verslider hendak bertemu di tengah terjangan kedua pihak.

*Buk!*

Verslinder meninju Parjanya begitu kuat, hingga ia terpental ke tengah-tengah pasukan Langit, menyisakan debu kelabu yang tebal. Dari jejaknya, puluhan elemental dan penyihir tertabrak oleh tubuhnya yang melayang sangat kencang, bersama daya hantam yang bukan alang kapalang besarnya.

Para mayat hidup dan elemental terjebak di dalam baku hantam sementara kesembilan naga berterbangan di antara misil-misil sihir yang melenting ke arah mereka, menghujani lawannya dengan semburan elemen. Pertempuran kian ganas di antara ratusan bendera yang berkibar, dipenuhi dengan cahaya, dipenuh dengan warna, dan dipenuhi dengan darah yang terpercik ke segala arah.

Sementara Angkasa dihias dengan 1000 genderang yang terus berpacu, memberikan hentakan kuat dan membakar adrenalin kedua pihak. Biola Verslinder yang kini melayang di Udara mulai tergesek, dan di tengah-tengah barisan pasukan Langit terbentuk 7 lapis lingkaran, dan di antara masing-masing lingkaran tertuliskan 5 garis yang turut memutar.

Biola itu pun tergesek dengan teramat cepatnya, dan 999 not balok terlukis di atas garis dan lingkaran itu dari dalam ke luar, berurutan layaknya sebuah pena raksasa menulis mereka dengan kecepatan tinggi. Cahaya ungu keluar dari tiap-tiapnya, memukul para penyihir yang terjebak di dalam ketujuh lingkaran layaknya sebuah palu. Verslinder lalu melesat bagai cahaya masuk ketengah-tengah lingkaran itu.

♪ Da Capo, al Fine! ♪

Dalam sekejap seisi not balok pun terreset mundur, kembali ke awal dan bersiap untuk terlukis ulang.

♪ Prestissimo, SFORZANDO! ♪

Dengan sesingkat-singkatnya waktu, seluruh nada kembali termainkan, begitu kencang, dan meledakkan para Ilmuan Langit tinggi ke Angkasa bersama bongkahan tanah tempat mereka berpijak. Gagak-gagak hitam menyinggahi bongkahan tanah itu, menatap para penyihir dengan mata bulat mereka.

Biola pun kembali bermain, para gagak menjadi kian berisik dan rusuh tidak karuan, mereka berbondong-bondong menggerogoti habis para Ilmuan yang melayang di Udara. Sementara di Daratan, misil-misil sihir kian pesatnya berterbangan ke arah Verslinder, tapi seketika perisai-perisai ungu pun muncul, mengitari dirinya dan menghentikan mereka semua.

Verslinder pun mengangkat karihnya, melonjak menuju para penyihir dan menebas mereka hingga robeklah jantung-jantung malang itu, dan darah mengucur keluar dengan derasnya. Bagai peluru ia meluncur, berlompatan dari satu penyihir ke penyihir lain dan menyayat tubuh mereka, begitu cepat, hingga yang terlihat hanyalah segaris cahaya ungu dan darah yang terciprat keluar.

[Sihir Es]

[Tingkat 6]

"(Jeruji Es)"

"Isrujika!"

Rantai-rantai es keluar dari tanah dan mengikat kedua kaki Verslinder, membelenggunya dengan eratnya, menjadikan dirinya kesulitan menggerakkan kakinya dan terpaku mantap pada tanah. Dan para penyihir tetap tiada hentinya melancarkan serangan mereka pada dirinya.

"(Menembus Cayaha)"

♪ Trafiggere la Luce! ♪

Verslinder mengayunkan karihnya selebar mungkin dan gelombang kegelapan pun terkibas, semakin jauh semakin membesar, mengikis tanah dan cahaya, meluluh lantahkan siapapun yang terjebak di hadapannya.

Di antara kerusuhan yang diakibatkan gelombang itu, Verslinder menghancurkan rantai-rantai es yang terpasang di kakinya. Namun begitu satu hancur, rantai es lainnya muncul dan menggantikannya. Menyangkalnya untuk bisa bebas dari tempat itu.

"Apaan sih ini?! Brengsek!"

Bersama amarah dan rasa takut yang ia makan, Verslinder mengembangkan sayapnya selebar mungkin, hingga bayangannya cukup untuk menutupi daerah dirinya berpijak dengan bayangan. Lalu digetarkan karihnya, mengetuk tiap-tiap rantai es itu dengan cepat. Nada-nada kegelapan kini menumpuk di sekitaran kakinya.

*Tick!*

Ia pun menjentikkan jarinya dan nada-nada itu meledak, menghancurkan setiap rantai es dan melontarkan Verslinder tinggi ke Angkasa bersama ratusan bulu hitam yang terbang bersamanya. Rantai-rantai es lainnya berusaha mengejar Verslinder ke atas, namun langkah mereka terhenti, tak sanggup melakukannya, karena kecepatan hentakkan yang melemparnya jauh tinggi di atas sana.

Kini ia melayang di Angkasa, dengan kedua sayapnya terkepak, menjaganya tetap mengudara. Dari sana ia bisa melihat seisi medan pertempuran, awan, mentari yang tertutup kegelapan dan bintang-bintang yang bertaburan menghias langit. Pemandangan yang menyita matanya membuat bocah itu termangu dalam pikirannya, dan sebuah kenangan datang mengetuk pintu rumahnya.

"Hei nak, kamu tahu mengapa sebuah orkestra memiliki seorang Conductor?" Suara DiVarri terdengar begitu lembutnya, berbisik dari ingatan Verslinder.

"Untuk memimpin laju dan alur musik bukan?" Verslinder menjawab.

"Hahaha, kamu tak salah soal itu."

Tawa hangat DiVarri masih terngiang-ngiang di kepalanya. Ia kemudian mengambil baton DiVarri dari sakunya dan menggengamnya di tangan kanannya. Ia terus menatapnya, hingga rasa rindu kian pekat meluputi jantungnya.

"Kamu ingin mencobanya, Verslinder? Mungkin suatu hari ada lagu yang ingin kamu perdengarkan pada Dunia, dan membimbingnya dengan tongkat kecil ini."

Verslinder memegang dasar dari baton itu dengan ketiga jarinya. Ia pun menjentikkan tangan kirinya dan sebuah stand partitur melayang di hadapannya. Baton itu pun ia ketukkan 77 kali pada stand itu. Kini setiap alat musik yang dimainkan dramu bersama 11 wanita hitam, membentuk barisannya di hadapan Verslinder.

"Menjadi seorang conductor bukan hanya mengenai mengayunkan baton dan tanganmu nak. Gairah, emosi, dan karisma dari musik itu sendiri kamu pancarkan dan gambarkan melalui gerakkan yang kamu pertontonkan, lalu dari sanalah alunan nada mulai mengalir pada arus yang kamu ciptakan."

"Anggap saja dirimu berdansa di antara melodi yang terus berlarian ke sana kemari."

Verslinder mengayunkan batonnya dengan lembut nan sendu. Ke-66 instrumen bersimfoni mengikuti arahannya, nada-nada merdu yang memanjakan telinga membanjiri udara dan medan pertempuran.

Dengan aba-aba Verslinder, Austra mulai bernyanyi dengan suara merdu lagi halusnya yang terdengar begitu samar, berbayang-bayang, seakan terdengar dari sebuah boneka yang terasuki arwah gadis kecil. Dan para wanita hitam mengiringi di belakangnya.

♪ Tap, tap, the cold embrace ♪

♪ Sister stop, brother distressed ♪

♪ Oh how love, smile no more ♪

♪ In the winter storm, you go… ♪