Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 98 - Chapter 32: I Was Once the Strongest

Chapter 98 - Chapter 32: I Was Once the Strongest

Meskipun dengan segala rasa takut yang ia serap, Ares tetap terbelenggu di antara rantai listrik. Hal ini membuat Parjanya berusaha untuk keras untuk tidak menghiraukannya, lebih buruk dari itu, ia bermaksud untuk menghabisi Vulnera dan mammoth-mammothnya agar bisa berfokus pada Ares serta naga dan pasukannya.

Mengingat Vulnera selamat dari empat pilar elemen, Parjanya tahu hal ini tak akan mudah.

Kalauan cahaya bergemilang di antara kerumunan pasukan Langit. Profisa listrik itu pun melesat bagai kilat ke atas barisan para mammoth Vulnera. Mata violetnya terbuka lebar, pupilnya mengecil menatapi pria kegelapan di bawahnya, dan dari tongkat yang ia angkat tinggi ke atas, muncullah 33 tombak petir.

[Sihir Listrik]

[Tingkat 7]

"(Penidur Petir)"

"Gunbatiruhlem!"

Ke-33 petir itu kian ganasnya menyambar tiap-tiap mammoth dan menyengat mereka ke tanah. Kini hanya Vulnera satu-satunya yang berdiri di barisan belakang.

Ia melihat ke arah Parjanya dengan terompet masih tertempel di tangannya, wajahnya tampak begitu tenang tanpa rasa takut, seakan tak menganggap penyihir listrik di atasnya bukan sebuah ancaman.

Ketenangan Vulnera cukup menyentakkan keteguhan Parjanya, dan di antara keraguannya ia memunculkan sebilah belati listrik sebesar menara di tangan kanannya. Dengan sayap violetnya, ia menerjang terbang ke arah Vulnera dan hendak menebasnya. Tetapi pria hitam itu tak sedikit pun tergertak. Tidak, kebalikannya, ia menyeringai kian kerasnya.

"Gunmandau mandirikuca'!"

Namun tiba-tiba, belati itu berhenti tepat di depan wajah Vulnera. Senyumannya semakin lebar dan semakin menghina. Sementara Parjanya terdiam kaku, tak mampu menggerakkan tubuhnya, tak mengerti apa yang sedang terjadi. Rasa panik seketika mendekap tubuhnya, kini ia bermandikan keringat dingin, sesuatu yang besar mengundangnya untuk datang ke arah yang lain.

Suara Ares, kian beratnya, kian seraknya, kian lantangnya, memanggil tiap pasukan Langit yang tengah tersentak kaku, tak kuasa kehilangan kontrol atas tubuh mereka.

"Kalian pikir sopan untuk tak menghiraukanku?"

"HAH!?"

*!!!*

Tiba-tiba wajah dan tubuh Parjanya dipaksa berputar kebelakang secara perlahan, atmosfir terasa begitu pekat, dan seakan udara tengah diterka gempa yang dasyat, ia tak bisa melawannya. Seluruh penyihir terhenti dari pertarungan mereka, dan menghadap pada sosok kolosal yang terus menerus memanggil-manggil mereka, tanpa terkecuali.

"AKULAH LAWAN KALIAN!"

Di sana Ares berdiri dengan seisi badannya mulai tergantikan oleh sisik naga. Tubuhnya perlahan berubah, membesar, dan dari punggungnya pun muncul sepasang sayap hitam, begitu besar dan tak berbulu, ditutupi oleh sisik-sisik yang lebih kuat dari apapun di dunia ini.

[Provokasi Mutlak] tak ada seorang pun yang mampu melawan panggilannya.

Para penyihir termakan frustasi, panik dan mulai menembakkan tiap-tiap yang mereka punya pada Ares. Mereka melihat perlahan badannya mulai bergerak, Cassidix (penyihir es) yang tergertak lantas memantrai seluruh tubuh Ares dengan es dan membekukan tiap sisi tubuhnya. Suasana pun akhirnya hening untuk beberapa detik.

*!!!*

Tapi seketika es itu pecah. Darinya meledak api berwarna ungu yang dengan cepat menyebar ke segala penjuru, membakar habis siapapun yang terperangkap di dalamnya. Mereka menjadi semakin stres dan frustasi, dan kembali menembakinya dengan sihir-sihir mereka. Namun apa yang datang dari balik es itu, tak lagi apa yang bisa mereka sebut manusia.

*RAAAAAAAAGGHHHH!!!*

Mengaumlah seekor naga raksasa, dengan puluhan batu mulia menempel pada tiap sisi tubuhnya, Ares telah berubah kembali ke wujud aslinya. Sosoknya begitu besar, bahkan lebih tinggi dari tembok Sfyra. Parjanya tak pernah merasa sedemikian takutnya selama masa hidupnya.

"Tunggu! Ares bisa berubah menjadi naga?" Naema terlihat begitu terkejut, bahkan dirinya yang berada jauh di atas tembok Sfyra juga mampu merasakan rasa takut menggerogoti tubuhnya.

"Tidak... itu adalah wujud aslinya." Amartya melongo memandang ke arah naga raksasa itu, tak sedikit pun wajahnya bergerak ketika dia berucap. Apa yang ia saksikan bukanlah sesuatu yang dapat dihadapi manusia, sekuat apapun mereka.

"Wujud asli!? Maksud kakanda?"

"DiVarri pernah bercerita padaku tentang percakapannya dengan Sang Pencipta."

"Lalu?"

"Ares merupakan karya hidup tersulit yang pernah ia ciptakan, karena tubuhnya di Buana Yang Telah Sirna tak lagi berbentuk manusia, melainkan seekor naga raksasa yang dipenuhi ratna dari naga lain yang ia bunuh."

"Ares... terlalu kuat."

"Lebih dari itu, tak seorang pun yang berhasil melukainya, ia tak pernah terbunuh sebelumnya."

"Tunggu, apa?!"

"Satu-satunya hal yang menidurkannya ialah hembusan angin yang merenggut nyawa semua orang beriman sesaat sebelum akhir zaman, dengan kata lain, ia hanya mati karena Tuhan hendak mengakhiri Buana Yang Telah Sirna."

Kapak Ares yang terjatuh saat ia berubah menjadi naga kembali ke bentuk cellonya. Cello itu seketika berdiri tegak dan memainkan 666 nada dengan luar biasa cepatnya. Tanah pun bergetar dipenuhi not balok.

Setiap 111 nada membungkus tiang yang membelenggu Ares, keenamnya pun berubah menjadi cello setelahnya. Cello Ares memandu ke-6 cello lainnya memainkan musik yang teramat lantang, megah dan memacu adrenalin.

*RAAAAGGHH!!!*

Ares mengaum, menyuarakan tangisan perangnya. Suaranya tumbuh menjadi sebuah petanda, bahwa akan mulainya pertempuran yang tak terbendung dasyatnya.

"Mundur! Jaga jarak kalian darinya!" Parjanya melengking sekeras yang ia bisa, berusaha melawan rasa takutnya.

Para penyihir sebisa mungkin melangkah mundur, menjauhkan diri mereka dari Ares, dengan wajah mereka masih memandang ke arahnya, tak mampu berpaling karena kekuatannya yang tak tau kata banding. Sampai akhirnya penyihir yang terbelakang seakan menabrak tembok transparan, tak bisa mundur lebih jauh lagi, mereka terjebak di area provokasi mutlak Ares.

Ketakutan terus menggaruk tubuh mereka, semakin lama semakin bertambah, tak mampu tuk mereda meski hanya setitik, sementara waktu terus berjalan di atas langkahnya. Para penyihir terus diingatkan paksa pada momen paling menakutkan mereka saat melihat Ares dan wujud naganya, dan ingatan ini entah mengapa semakin lama semakin terbumbui pikiran menyeramkan lainnya.

"Mnemophobia…"

Memori-memori mengerikat ini adalah kekuatan Vulnera. Sekecil apapun ingatan buruk, ia akan menumbuhkannya menjadi trauma, dan meraciknya dengan ribuan kemungkinan buruk dari ingatan itu. Mereka akan terus dihantui olehnya sementara Vulnera dan Ares tak henti-hentinya memakan rasa takut mereka.

*!*

Tangan besar naga itu terangkat tinggi ke atas. Menampilkan kegagahannya, menghias langit pagi yang kian sendu kelabu. Bumi pun membisu, hewan dan manusia berhenti menghembuskan suara mereka, kesunyian yang nyata membunuh jiwamu di detik mereka datang.

Ia pun terayun ke bawah, menghantam tanah dengan begitu kuat, menghancurkannya, melantahkan isinya melayang ke Angkasa. Debu di mana-mana, sementara para penyihir terlihat terbaring tak beralas, dengan tubuh sudah tak lagi jelas bentuknya. Tangan itu akan mengubahmu menjadi serpihan debu, serentak ketika ia menimpa tubuhmu.

Aku bisa mendengar teriakan orang-orang itu ketika rasa takut mereka telah menyentuh batas. Jikapun mereka selamat dari pertempuran ini, jiwa mereka sudah terlebih dahulu mati sebelum akhirnya Alam dan Kalpataru menelan mereka.

Sihir berterbangan di mana-mana, mereka terus menyerang Ares di antara kebingungan dan ketakutan yang tak henti-hentinya mendekap mereka. Namun sekeras apapun mereka berusaha, tubuh itu tak setitikpun tergores. Sementara seekor naga raksasa di hadapan mereka tak henti-hentinya mengamuk, membabi buta rekan-rekan mereka.

Di sekeliling mereka berkibarlah ratusan panji-panji hitam, menggambarkan bass clef dan gajah, dan di tengah mereka muncul sesosok pria hitam dengan terompetnya. Di sisi sang naga berdirilah Vulnera, kini terisi penuh dengan rasa takut. Tangannya menjentik dan 33 terompet mengelilingi ares dengan moncong mereka menghadap ke luar.

Udara menjadi begitu pekat, tertarik keras ke dalam terompet-terompet itu, mereka tak bersihir namun dengan mudah siapapun mampu melihatnya. Vulnera mengangkat tangannya ke atas, seakan siap memulai melodinya.

♪ Roar for me… ♪

♪ FORTISSISSISSIMO! ♪

Seisi medan tempur berguncang, terlempar begitu kencang, menabrak dinding transparan provokasi mutlak. Mereka tertumpuk di sana dengan ratusan tulang yang remuk, kini begitu pasrah dan bersiap menghadapi kematian mereka.

Setelah kepedihan luar biasa yang mereka rasakan, waktu teruslah berjalan, tetapi tak ada hal apapun yang kunjung menimpa mereka.

"Hah?"

Parjanya berusaha berdiri tegak di antara luka-lukanya dan melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi. Di tengah-tengah pasukan Langit butiran debu hitam terus menerus menguap ke Angkasa, Ares dan Vulnera sudah melumat habis kegelapan mereka, kini waktunya... untuk pergi.

"Never thought I'll be leaving after the opening, again… so long little one, mungkin surga kan mempertemukan kita kembali." Vulnera menguap menjadi debu-debu hitam, meramu dengan kegelapan.

Sementara Ares kembali ke wujud manusianya, dan di antara duka yang tergambar jelas di wajahnya, mengelus lembut cello yang berdiri tegak di sampingnya, ia memandangi benteng Sfyra dengan wajah penuh kerinduan, "Ambo pulang duluan da…" ia tersenyum dan tubuhnya menguap terbawa kegelapan.