Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 95 - Chapter 29: Dread

Chapter 95 - Chapter 29: Dread

"Kakanda, kita kedatangan tamu."

"Ah, tentu saja… musisi kegelapan…"

Kelima kepala keluarga tengah berdiri di hadapan Amartya. Baju mereka seperti kertas yang terbakar, perlahan meluap menjadi serpihan-serpihan kecil yang berterbangan di udara. Mereka tampak murka dengan mata logo mereka menyalakan cahaya ungu.

"Serahkan perang ini pada kami Tuan Penguasa." Pinta Ares, Kepala keluarga Baixo (gesek rendah). Tak layaknya kepala keluarga lain, tinggi Ares terlampau melebih para orang-orang Buana Yang Telah Sirna.

"Mengapa? Kalian ingin membalas dendam?" Amartya melihat begitu banyak murka dan kebencian di mata mereka.

"Bangsa kami dikutuk cinta, kami terikat dengan para wanita cahaya, ketika mereka mereka sirna maka separuh hati kami ikut mati."

"Lalu?"

"Kami tak lagi mampu meregenerasi kegelapan, dan dalam waktu dekat kami pun akan menyusul mereka pergi dari dunia ini."

"Tunggu, apa? Bukankah berarti dengan menggunakan kekuatan kalian untuk membalas dendam sama saja dengan bunuh diri? Kalian memakan sisa kegelapan yang kalian miliki." Amartya cukup panik dan bingung ketika mendengar Ares mengucapkannya.

"Lebih baik mati, ketimbang menambah sedetik saja waktu untuk dihabiskan tanpa mereka…"

Amartya menjadi kaku, tiap kata tertahan di mulutnya. Ia memandangi tubuh para musisi yang perlahan meluap bagai butiran debu, membayangkan betapa perihnya hal itu.

"Tuan Penguasa bilang di awal bahwa ini bukan perang kami... tapi sekarang pertempuran ini jelas-jelas milik kami."

Pemuda itu menghela nafas, "baiklah, jika memang ini yang kalian inginkan."

"Semoga Tuhan memberkatimu Tuan Penguasa."

"Ngomong-ngomong di mana Verslinder dan Austra? Mereka satu-satunya pasutri musisi yang selamat dari kejadian ini."

***

Di lain tempat, tepat di ladang bekas para musisi terakhir bermain, Verslinder berjalan perlahan menyusurinya, dengan baton DiVarri terangkul di tangannya. Kepalanya tertunduk, wajahnya berlukiskan kepedihan, begitu banyak penyesalan dan pertanyaan yang melayang-layang di pikirannya. Sementara Austra mengikuti di belakangnya, begitu khawatir dengan keadaan Verslinder.

Tiba-tiba saja langkah Verslinder terhenti, ia menggenggam erat baton itu, penuh kekuatan dan amarah. Tubuhnya bergetar hebat begitu pula tanah tempat ia berpijak. Tiba-tiba saja ia mengangkat kepalannya dengan ganas.

"Brengsek… semuanya…"

"BRENGSEK!"

*BADOOM!*

Tanah pun terhempas ke atas, bongkahan dan serpihan mereka melayang mengelilingi Verslinder. Atmosfir terguncang, membuat apa yang terpandang seakan bergejolak dengan kuat. Udara pun retak dan memancarkan cahaya ungu yang tak henti-hentinya meledak. Murka Verslinder, sudah tak lagi mampu terbendung.

***

Sementara itu, pasukan Langit tengah berkemah di akhir malam ini. Seperti yang dijanjikan Amartya, sepertiga dari jumlah awal mereka terselamatkan dari kobaran api putih. Namun kini setelah api itu mereda, mereka memiliki masalah lain, dan orang yang terkena masalah ini justru malah bertambah.

"Tunggu, apa? Bala bantuan?!" Parjanya seakan hampir terkena serangan jantung.

"Ya, ribuan dari mereka… Yang Mulia Ratu Hamsah mendeteksi masih adanya sisa kehidupan dari anda dan pasukan kita, jadi beliau pikir kita kekurangan orang untuk menyelesaikan misi ini." Jelas Magistra yang tersisa, ia tampak cukup gugup melihat reaksi Parjanya.

"Para musisi yang selamat jelas-jelas akan membantai kita! Mereka yang tak berperang tadi hari tidak mengemban dosa yang sama dengan kita! Sekarang mereka semua akan mati begitu saja, apa-apaan ini!?"

"Ya lalu kita harus bagaimana lagi, Profisa?"

"Misi kita sudah selesai, kita telah mengobarkan amarah kak Amartya, tak ada lagi yang bisa mereka perbuat di sini kecuali menerima kematian—" Seketika Parjanya bergeming di dalam benaknya.

"Eh, tunggu sebentar… tunggu sebentar!"

"Ada apa Profisa?"

"Ini mungkin bukan hal baik untuk diperbuat, tapi jika esok kita bisa menggugurkan minimal satu musisi saja, kita mungkin dapat menambahkan bahan bakar yang cukup besar ke dalam api amarah kak Amartya."

"Dengan begitu, dia akan semakin membenci Yang Mulia Ratu…?"

"Tepat sekali! Kita tak punya pilihan lain."

"Lalu sekarang apa agenda kita? Sebentar lagi pasukan tambahan kita akan sampai."

"Suruh mereka untuk membangun kemah dan pergi tidur, kita perlu banyak tenaga untuk melawan mereka."

"Dimengerti Profisa."

"Walau jujur aku tak yakin mereka akan mulai menyerang kapan, baik pagi atau jua malam, tak akan berpengaruh apa-apa bagi para musisi. Mengatur gelap dan cerahnya suasana hanyalah permainan anak kecil bagi mereka."

Seperti apa yang direncanakan, mereka semua beristirahat untuk menyambut hari esok. Sayangnya Parjanya miskin ilmu mengenai penyergapan dan serangan tiba-tiba, ia berpikiran bahwa para musisi akan menunggu mereka bangun dan melawan mereka berhadap-hadapan. Ia salah.

*

Esok pun tiba, namun masih lama sampai mentari muncul untuk menyambut hari ini. Langit kian gelap dan akan kelam untuk waktu yang lama.

-----

"Then I saw when the Lamb broke one of the seven seals, and I heard one of the four living creatures saying as with a voice of thunder, "Come." I looked, and behold, a white horse, and he who sat on it had a bow, and a crown was given to him, and he went out conquering and to conquer."

-----

Pasuka Langit sedang tertidur pulas, menikmati mimpi-mimpi mereka. Perlahan kegelapan datang menghantui alam itu, meneror mereka dengan mimpi-mimpi buruk dipenuhi dengan makhluk-makhluk hitam. Mereka berteriak histeris di tengah tidur mereka, tenggelam dalam rasa takut yang terus menyiksa mereka tanpa belas kasih. Hingga datang suara berbisik yang membangunkan mereka dari mimpi buruk ini.

"Wake up! Wake up!"

"SCREAM!"

"You're in a Twisted Reality!"

Ular-ular hitam bertenggeran di depan wajah mereka, mendesiskan lagu-lagu horor yang merusak jiwa-jiwa yang mendengarnya. Pasukan Langit terbangun, begitu panik, histeris, frustasi, mereka berlarian di antara kekacauan. Seisi kemah kini dipenuhi tangisan dan teriakan.

*!!!*

Aku bisa melihat rasa takut mereka merambat di udara, bergerak menuju satu titik tepat di depan kemah mereka bermalam. Di sana duduk dua orang musisi di atas kuda putih mereka, dengan pakaian hitam yang perlahan meluap menjadi serpihan kain yang hangus ditelan malam. Salah satu dari keduanya memainkan seluling dari kegelapan.

Para musisi kegelapan menyerap rasa takut dan mengubahnya menjadi katalis bagi kegelapan. Semakin banyak ketakutan yang mengalir ke tubuh mereka, semakin besar pula energi kegelapan yang mampu mereka keluarkan. Namun berhubung mereka tak lagi mampu meregenerasi kegelapan untuk saat ini, mereka akan mati setelah semua energi itu keluar.

Magistra terakhir yang tersisa berhasil menemukan letak kedua musisi itu bersarang. Ia pun mengeluarkan tongkatnya dan mulai membaca mantra.

[Sihir Es]

[Tingkat 8]

"(Hujan Serpihan Angkasa)"

"Is Ling Fa'all Fui!"

10 paku es sebesar kereta kuda melayang di atas keduanya, dan tanpa basa-basi kesepuluhnya terjun menerjang kedua musisi. Akan tetapi ketika mereka hendak bersentuhan, es itu retak dan pecah menjadi bayangan hitam yang meluap di udara.

*!*

Sang pemain seluling melihat ke arah Magistra dengan tatapan yang begitu tajam, seakan seekor ular yang hendak mematok mangsanya. Rasa takut terus melilit Magistra itu dengan begitu erat, tubuhnya menggigil, keringat tak habis-habisnya mengucur dari sekujur tubuhnya. Namun ketika ia hendak bergerak untuk melarikan diri, semuanya sudah terlambat.

Belasan cermin muncul mengurung Magistra layaknya katak dalam tempurung. Ia melihat bayangan dirinya berdiri menatap ke arahnya dan tak ada hentinya mengucapkan kata-kata yang pahit di dengar.

"Melempar es saja kau tak becus!"

"Kau sebut dirimu seorang Magistra?"

"Seharusnya Sang Ratu tak pernah menaruh matanya padamu."

"Kau satu-satunya Magistra yang tersisa tapi paling tidak berguna!"

"Dasar sampah!"

Ia tak sanggup mendengar ucapan-ucapan dari bayangan dirinya. Ia pun terjatuh, bertumpu pada lututnya dan menutup rapat kedua kupingnya, giginya tak henti-hentinya menggigil saling mengetuk satu sama lain. Akhirnya ia kehilangan kejiwaannya, dan mulai berteriak begitu lantang, menggema di dalam penjara cermin yang mengurungnya.

Para bayangan pun serentak keluar dari cerminnya. Mereka melompat dengan senjata tajam terangkat mengarah pada si Magistra. Bayangan-banyangan itu lalu mulai membabi buta dirinya, sampai habis sudah suara teriakannya.

"Catoptrophobia…"