Oleh: Syfa Baixo
Setelah akhirnya resmi menjadi seorang dokter, aku mendedikasikan diriku untuk membantu mereka yang berada di garis depan dalam melindungi bangsa ini. Dengan gelar sarjana, aku mengabdi pada negri dengan langkah pertamaku sebagai letnan dua, dan bergabung dengan resimen yang dikelilingi banyak tentara elite.
Komandan kami adalah orang yang hebat, dan cukup muda untuk mengemban pangkatnya. Kolonel Aspis, atau kalian akan mengenalnya sebagai Aspis Teabii, kepala keluarga tiup ringan.
Kolonel bisa dibilang cukup ramah untuk seseorang yang hidup di kawasan militer dengan segala macam kedisiplinannya selama belasan tahun. Bawahannya menghormatinya, atasannya menyayanginya. Dan satu hal yang membuatku begitu tertarik dengan Kolonel Aspis, ia adalah pemain flute yang terlampau handal.
Salah satu alasan mengapa ia meminta pusat untuk merekrutku ke resimennya, ialah karena ia mengenalku sebagai seorang musisi. Sebenarnya aku sedikit takut akan fakta bahwa ia tahu banyak mengenai diriku, terutama ketika aku tak tahu apa-apa tentang dirinya. Namun untuk orang sebaik dan setampan dia, kurasa itu bisa dimaafkan.
Dan karena hal ini, kolonel memintaku untuk membawa instrumen musik apapun yang aku mau ke markas atau kemah kami. Dan dalam kasusku, aku memilih instrumen gesek yang paling aku gemari, cello.
Memang alat yang cukup besar dan berat, namun aku bukan personel infantri yang akan bergerak ke sana ke sini dengan mobilitas yang tinggi, jadi mungkin aku bisa meninggalkannya di kendaraan medis atau semacamnya. Kolonel di sisi lain, akan meninggalkan flutenya di mobil atau kemah, dan membawa instrumen tiup kecil yang disebut piccolo ke manapun ia pergi. Benda indah itu mungkin terdengar merdu di tangannya, tapi suaranya cukup kuat untuk merobek gendang telingamu. Tapi ya bagaimana, orang hebat biasanya memiliki kegemaran yang aneh.
Kolonel sering mengundangku ke ruangannya, atau ke kamarnya, atau bahkan ia sendiri yang mendatangi kamarku. Setelah itu ia akan mengajakku berhanyut-hanyut dalam musik bersamanya. Anehnya tak satupun anggota resimen yang komplain akan hal ini, entah musik yang kami mainkan merdu, atau mereka terlalu segan untuk mengutarakannya. Tentu saja terkadang bukan hanya kami berdua yang bermain musik, banyak penduduk resimen ini yang mahir dalam instrumen musik.
Kemudian datang satu hari, di mana kami mendapat misi untuk menetralisir satu area di tengah hutan belantara dari kumpulan perompak bersenjata api. Skala misi ini cukup besar, dan meminta kami mengirimkan tiga pleton untuk menjalankannya.
Karena kondisi tubuh dan umur kolonel yang masih sangat prima, ia menawarkan diri untuk terjun langsung ke lokasi. Dan herannya, pusat memberinya ijin. Jika aku jadi mereka, aku tentu tak akan membiarkan orang seberharga dirinya untuk maju ke misi semacam ini, terlalu mubazir mengingat siapapun bisa gugur kapan saja.
Ketiga pleton mulai bergerak saat dini hari. Kolonel memanfaatkan medan hutan untuk keuntungan mereka semaksimal mungkin, hingga akhirnya tiap pleton mendapatkan posisi terbaik untuk melakukan penyergapan.
Markas mereka cukup besar dan dihuni banyak orang, dan karena memiliki jumlah yang jauh lebih sedikit ketimbang musuh, pasukan kami mengambil tindakan untuk menetralisir mereka secara perlahan, tanpa adanya suara.
Kami memulai misi dengan menyingkirkan patroli terluar, dan menjauhkan mereka dari pandangan patroli lain. Anehnya walau markas ini memiliki sistem isolasi yang ketat, mereka membiarkan beberapa pintu terbuka lebar dengan penjaga gerbangnya terus mengecek papan berisi carikan kertas dan jam pada tangan mereka. Hal ini membuat pasukan kami bisa memasuki area dengan mudah dalam waktu singkat.
Mereka mulai membersihkan area dari luar ke dalam. Tempat itu dihuni terlalu banyak orang, akan memakan waktu lama untuk menetralisir mereka semua atau hingga jumlah yang cukup untuk mereka menyerah. Sayangnya, skenario kedua tak akan pernah bisa terjadi, tidak, mau cara apapun yang kita lakukan, hal itu tak akan pernah bisa dicapai.
Suara sirine berdengung dengan nyaringnya dan pintu-pintu markas tertutup serapat yang mereka bisa. Seisi markas itu pun terbangun dan bergegas mengambil persenjataan mereka. Baku tembak kini tak lagi terhindarkan.
Tentu saja pasukan kami tak akan kalah baku tembak melawan mereka yang tak mendapatkan pelatihan militer bertahun-tahun lamanya. Namun orang-orang ini adalah fanatik, dan mereka akan dengan senang hati untuk bisa mati membawa kami bersama mereka.
Pintu-pintu bawah tanah terbuka, dan darinya keluar ribuan ular berbisa, kian ganas dan lapar. Mereka bergerak begitu cepat dan ligat, memangsa siapapun yang ada di hadapan mereka.
Satu persatu personel kami tumbang, tak kuasa melawan hewan yang begitu buas dalam jumlah banyak. Resimen kami saat itu juga langsung menggerakkan regu evakuasi untuk mengeluarkan mereka dari lokasi. Akan tetapi mereka terlalu lambat, hingga satu-satunya yang tersisa di tempat itu hanyalah kolonel seorang.
Dengan panik ia mengambil piccolonya dan memainkan lagu penjinak ular. Mereka yang ada di sekelilingnya kemudian terdiam dan menatapnya. Ular-ular mulai berdiri mengitarinya dan membuatnya semakin panik, hal ini membuat dirinya akhirnya salah memainkan nada dan salah satu ular yang tersentak mematoknya.
Dalam rasa sakit, ia terus memainkan lagu tersebut berharap tak ada lagi yang mematoknya. Setelah sekian lama, regu evakuasi akhirnya berhasil masuk dan membersihkan sisa ular yang mengelilinginya. Saat itu juga kolonel langsung dibawa ke kemah darurat, dan tentu aku ikut membawanya.
Kami berhasil mengeluarkan bisa ular dari kolonel tepat pada waktunya, hal ini memastikan keselamatan tubuhnya dan ia bisa lanjut bertugas setelah berapa hari. Tapi sayangnya, ada satu hal yang tak bisa kami selamatkan dari kolonel, jiwanya.
Kolonel menjadi gila dan melankolis, ia mulai melihat segalanya seakan benda-benda itu ular. Ia akan berteriak, meronta dan lari dari apapun yang ia temui kecuali satu hal, aku. Aku tak mengerti bagaimana bisa aku satu-satunya yang tak asing di matanya, yang jelas kondisinya amatlah memprihatinkan.
Kami menempatkannya pada ruang terisolir yang bersih dari benda apapun. Tempat itu nyaman dan hampa, hanya ada dia dan aku di dalamnya.
Ada dua indra yang sangat berpengaruh pada kejiwaan kolonel, kulit dan mata. Tentunya ia juga akan kehilangan ketenangannya jika mendengar suara bising, tapi ruangan itu terisolir penuh dari suara.
Kolonel akan panik ketika melihat benda apapun, bahkan makanan, jadi satu-satunya cara untuk memberinya makan hanyalah mulut ke mulut. Aku tak akan bohong pada kalian, walaupun ini menyedihkan, aku sedikit menikmatinya. Pil juga kumasukkan mulut ke mulut, hanya saja aku tak membiarkannya menyentuh apapun selain ujung gigiku. Dan untuk obat suntik, aku lakukan saat dia tertidur pulas.
Setelah beberapa bulan kejiwaan kolonel mulai membaik, dan ia tak lagi melihat segala hal sebagai ular. Ia pun dipindahkan ke ruangan yang lebih memenuhi standar untuk seorang pasien. Dan kini ia memasuki fase kedua kejiwaannya.
Kolonel menjadi sering merenung dan menangis tanpa sebab. Terkadang ia juga memainkan musik untuk mengenang rekan-rekannya yang gugur. Namun di antara semua tingkahnya, ada satu hal yang paling membuatku sedih. Ada masa di mana ia menggit jari telunjuknya, dan menggunakan darahnya untuk menulis nama rekan-rekannya yang ikut bertugas pada misi di hutan yang lalu, pada seisi tembok kamar pasiennya. Cukup mengingatnya saja mampu membuatku menangis.
Beberapa bulan berlalu dan kolonel memasuki fasa ketiganya. Ia menjadi sangat pintar, luar biasa pintar, dan mengingat segala hal yang pernah ia pelajari dalam hidupnya. Hanya saja, ia menjadi psikopat yang lebih kejam dari apapun yang mampu terbayang olehku.
Ia kabur dari kamarnya, mengunci rapat rumah sakit, dan menculik satu persatu petugas yang bekerja di sana. Ia akan menyiksa mereka, membuat mereka menangis histeris, menuntun mereka untuk membunuh sesama, bermain teka-teki yang berujung pada kematian mereka. Dan ia akan terus berkata satu kalimat pada korbannya.
"Jangan menangis, ini hanyalah mimpi buruk lainnya."
Pada akhirnya yang tersisa hanyalah aku seorang. Ia pun memanggilku ke ruang makan dokter menggunakan speaker rumah sakit. Aku takut, tapi aku tetap mendatangi panggilannya.
Begitu masuk ke ruangan itu, aku melihat meja makan penuh hidangan, dengan para dokter mati duduk di masing-masing bangkunya.
"Ah Syfa, selamat datang!" Ia tersenyum ke arahku.
Senyuman itu begitu manis, mengingatkanku pada wajah ramahnya padaku di masa lalu.
Dan pada saat itu juga, aku tak lagi peduli pada dokter-dokter yang mati di depanku. Jika itu bisa membuatnya bahagia, maka aku tak lagi mengindahkan apa yang hendak menimpa dunia, selama senyum itu tetap terlukis di wajahnya.