Oleh: Vulnera Aes
Musik. Begitu indah dan anggun, kian memikat hati miliyaran orang yang mendengarnya. Namun tak selamanya, mereka membawa kenangan yang amat membahagiakan untuk diingat.
Semenjak kecil aku selalu mencintai terompet, karena kemegahan dan karismanya. Ia juga mengingatkanku pada hewan favorit adik perempuanku. Kapanpun, di manapun, dalam keadaan apapun, mendengar mereka selalu membuatku bahagia.
Aku meminta ayah untuk membelikanku satu, beruntungnya keluarga kami termasuk mereka yang mampu membelinya, dan dia mengabulkan permintaanku. Dari sana aku memainkannya setiap hari, di rumah, di kota, di perjalananku menelusuri alam. Dan entah mengapa aku begitu mahir memainkannya, walau tak seorangpun mengajariku cara menggunakannya.
Sampai seseorang dengan jas hitam menghampiri permainanku, katanya aku memiliki bakat yang luar biasa. Tentu saja sebagai seorang anak kecil, aku tak berpikiran aneh-aneh tentang orang itu. Ia selanjutnya memperkenalkanku pada sebuah perkumpulan musisi-musisi hebat, orkestra. Aku merasa sangat bahagia saat itu, belum pernah aku bertemu komunitas yang diisi orang-orang dengan kegemaran yang sama denganku, dan tanpa sadar, aku bergabung dengan mereka.
Mereka mengajariku banyak hal baru, baik teknik, cara membaca not, sejarah musik dan sebagainya. Aku pun rutin mendatangi mereka sepulang sekolah, dan kadang adikku ikut datang untuk menonton.
Adikku ini bisa dibilang sangat dekat denganku. Dan karena menyukai apa yang kulakukan dia menjadi tertarik untuk ikut bermain musik. Namun berbeda denganku ia tak terlalu suka dengan alat musik tiup logam, ia lebih memilih alat musik tiup kayu layaknya klarinet yang lebih ringan dan mendayu-dayu.
Menakjubkannya, ia belajar dengan begitu cepat, mengingat dirinya yang bahkan belum duduk di bangku sekolah. Hal ini tentu membuatku senang, hubungan kami jadi makin erat dengan datangnya musik di tengah kehidupan kami.
Sayangnya orkestra kami tak memiliki masa hidup yang lama, karena masalah finansial, kami terpaksa membubarkan diri. Saat itu aku masih di bangku sekolah menengah, dan adikku yang masih bermain di sekolah dasar, tentunya cukup terluka akan hal ini.
Semenjak saat itu ia mulai menuangkan kekesalannya pada obsesi lainnya, gajah. Iya, hewan mamalia darat terbesar dengan belalai yang panjang. Mungkin aku bisa disalahkan atas kegemarannya akan gajah, suara terompet yang selalu aku mainkan di masa bayinya begitu membekas, mengiang-ngiangi benaknya, hingga ia berkata, mendengarkan gajah bersuara seakan mendengarkanku sedang bermusik ria.
Begitu masuk kuliah, aku bergabung dengan orkestra di sana. Mereka jauh lebih mapan ketimbang orkestra yang aku ikuti semasa kecil, dan tentunya dengan komunitas yang jauh lebih kompleks dan sibuk. Ini cukup menyita waktu dan perhatianku pada adikku. Ia nampak cukup kesal dan sedih akan hal ini, dan memustuskan untuk memasuki sekolah musik di bangku sekolah menengah atas, entah karena memang dia menyukainya, merindukanku, atau mungkin sebagai ucapan penunjukan bahwa dia juga bisa memiliki komunitas musiknya sendiri. Aku sungguh tak tahu harus merasa bagaimana.
Namun obsesinya akan gajah tak kunjung redup. Begitu ia mendengar akan diadakannya parade gajah di kota kami ia mulai melompat-lompat kegirangan. Dan tentu saja ia memintaku untuk menemaninya.
Aku sebenarnya sangat ingin datang bersamanya namun jadwal parade gajah bertepatan dengan konser besar orkestra kampus. Hal ini membuatnya sedikit kecewa, tidak, mungkin sangat kecewa. Namun hal ini tak menhentikannya untuk datang ke parade.
Hari-H pun datang. Aku berangkat ke konserku dan adikku berangkat ke paradenya. Sepengunjung konser aku sedikit kehilangan fokus karena merasa bersalah meninggalkan adikku menonton paradenya sendirian.
Di lain sisi parade berjalan lancar, gajah-gajah berjalan dengan rapih, penari-penari melukis jalanan degan lika-liku tubuh mereka, musik menggema menghias udara. Adikku, meski tak bersamaku, sangat menikmati paradenya. Ia bahkan sempat bergandengan tangan, atau mungkin... belalai? Dengan beberapa gajah. Sungguh hari yang indah untuknya bukan?
Meski begitu, nampaknya setiap orang memiliki agendanya masing-masing pada hari itu.
Sebuah bom lantas meledak tepat di samping parade, memenuhi tempat itu dengan asap dan serpihan bangunan. Tak ada yang menyangka sebuah perampokan bank skala besar akan terjadi di tengah-tengah hari yang megah itu.
Kerusuhan pun tak terhindarkan, dan hal ini, membuat para gajah menjadi panik dan hilang kendali. Mereka mulai berlarian ke sana kemari, menabrak segalanya dan menghempas apapun yang ada di hadapan mereka dengan belalai raksasa.
Suasana panggung orkestra mendadak ramai, para penonton mulai membicarakan ledakan yang terjadi di sekitar parade. Saat itu kebetulan musik sedang berhenti, dan aku, mendengar dengan jelas tiap kata yang mereka ucapkan.
Aku menjadi panik, lalu segera kutinggalkan terompetku dan bergegas dengan setiap lepuh dikulitku mengalir deras, menuju lokasi parade. Sesampainya di sana, polisi sudah memenuhi area, ambulan membawa korban-korban yang berjatuhan, para wanita dan anak-anak nampak dan terdengan merengekkan suara mereka di mana-mana.
Aku berlarian ke sana kemari, meneriakkan nama adikku tercinta. sayang yang aku dengar hanyalah tangisan para korban dan suara sirine dari mobil petugas.
Setelah sekian lama mencari akhirnya sampailah aku di sebuah toko kecil, dengan tubuh adikku bersandar di dindingnya, remuk, tak bernyawa.
Hari itu adalah hari yang suram, sebuah penyesalan terbesarku. Bahkan sampai akhir hayat, aku terus berkata pada diriku, andai saja waktu itu aku menemaninya, andai saja aku tak bergabung dengan orkestra, andai saja aku, andai saja, andai saja. Penyesalah akan selalu menghantuiku, kapanpun itu, di manapun aku berada.
Namun sekarang, Sang Pencipta memepertemukan kami kembali di Dunia yang baru ini. Adikku Sanguines Teabii, wakil kepala keluarga Teabii (Tiup ringan), dan juga tentunya, sebagai istriku tercinta.