Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 83 - Chapter 20: Breakthrough

Chapter 83 - Chapter 20: Breakthrough

"Sekarang!" Lengking Amartya.

Tanah pun pecah, dan dari dalamnya melompat para Dubalang Panukok, berdiri di belakang barisan Muticus.

[Teknik Tanah]

[Tingkat 4 ekstensi]

"(Luluh Lantak)"

"Lantak! Pacah Basamo Bumi!"

Sekumpulan cahaya coklat terang bergemilang masuk ke dalam palu-palu yang terangkat tinggi di udara. Dan dengan penuh kekuatan mereka menghantam tanah, meledakkan bumi, menghempas siapapun yang ada di depan mereka.

*BRRAAKK!*

Para penyihir angin pun lumpuh, bahkan suara teriakan mereka tak sempat terdengar. Angin-angin yang mendorong Dubalang Parisai kini akhirnya sirna.

♪ Accelerando! ♪

Parisai-parisai yang meronta tak lagi memiliki halangan. Kemudian dengan dorongan kecepatan dari para musisi, mereka pun melesat bagai hewan buas yang kelaparan, dan tanduk-tanduk berlian itu kini mencari-cari mangsa untuk mereka hantam.

"Ini gawat, Profisa!"

"Tenanglah... pertempuran ini baru mulai."

Kurang lebih 20 detik dan mereka akan lekas menabrak, sayangnya sekarang mereka telah melewati jarak aman dari Cassidix (pasukan penyihir Es). Angin dingin pun berhembus menyelimuti para Dubalang Parisai, membungkus kulit dan zirah mereka dengan es, berusaha membekukan mereka di tempat.

"Firasatku saja, atau mereka tak mendingin sama sekali?"

Penyihir itu benar, tak sedetik pun para Parisai membeku. Tiba-tiba saja, dari barisan mereka melesat 333 pisau merah yang menggemakan cahaya, terbang ke tengah-tengah para penyihir es. Pisau itu pun pecah menjadi kupu-kupu api, yang kemudian dari citranya berubah menjadi 333 Ina Waraney, dan di tangan mereka menari dua pistol merah yang berapi-api.

"I Yayat U Santi..."

Ilmuan Langit di antara para Cassidix segera bereaksi setelah melihat kedatangan Ina Waraney. Blink, mereka berpindah dari ruang panas secepat kedipan mata. Sementara para klon tak cepat bereaksi dan terjebak menghadapi api gadis-gadis itu. Panasnya udara pun tertarik manja ke dalam pistol-pistol mereka.

*Tsssnng*

*Darr!* *Darr!* *Darr!*

Tarian api bermain-main di tengah mereka, ribuan peluru terlepeh, menembus tubuh-tubuh klon penyihir es. Penyihir lain segera bergerak untuk membantu klon-klon malang itu, lamun yang tersisa dari Ina Waraney yang membantai mereka hanyalah kupu-kupu api yang meluap, di panasnya pertempuran.

"Mereka terlalu mobile... sulit untuk mengejar mereka, Profisa."

"Diabolic! (elemental Es) formasikan dinding tombak!" Parjanya berseru memantapkan barisannya.

Para elemental Es yang terpanggil membuat dua barisan dengan perisai dingin di depan mereka, lalu menodongkan tombak benderang es panjang ke depan, satu tombak mengarah ke badan dan satu lagi ke kepalamenciptakan formasi yang begitu mematikan untuk diterjang.

Di antara ketiga elemental (es, listrik, dan angin), elemental Es merupakan pasukan kelas berat dengan pertahanan yang sangat tinggi.

"Ah kurasa aku kurang lama mengajari Parjanya seni berperang, jika dia menyiapkan satu regu pasukan lagi untuk membantu para Diabolic setelah tabrakan, mungkin strateginya akan berhasil." Komentar Amartya dari ruang strategi.

Lalu tiba-tiba, perisai dan tombak Diabolic terang bercahaya. Penyihir-penyihir cahaya memberikan berkah mereka, memperkuat persenjataan elemental-elemental itu. Sementara itu datanglah para Solodia (infanteri cahaya) berlarian ke barisan depan, bersiap membantu Diabolic dari belakang.

"Ahahaha, sial dia mendengarku atau bagaimana— tunggu, tidak, orang-orang cahaya itu… mereka bergerak secara sukarela!?"

"Meskipun begitu para Dubalang seharusnya tetap bukan tandingan mereka, lalu mengapa... firasatku tidak enak begini." Amartya menjadi kian resah melihat para Solodia berbaris rapih di belakang Diabolic dengan rencong-rencong putih yang berlumuran cahaya.

*Bzzzt*

*Bruk!*

Dubalang dan Diabolic pun bertabrakan, namun tepat sebelum itu, para penyihir listrik menyempatkan penyambaran sihir kejut mereka. Akibatnya keseimbangan para Parisai menjadi berkurang, dan daya hantam mereka juga turut menurun.

*Prank!*

Tombak-tombak es pun pecah di hadapan berlian suci, sementara perisai-perisai es retak terkena parisai. Para Diabolic terdorong jauh namun masih dalam formasi yang kokoh.

"Kedua kubu telah bertemu mata ke mata!"

"Ahh, sekarang. Perang resmi dimulai."

Dubalang Parisai dan Diabolic terjebak saling dorong, dan sayangnya untuk para elemental, kekuatan dan ukuran tubuh Dubalang terlalu besar untuk dilawan para badan-badan es mereka. Lalu di tengah itu semua, cahaya violet pun bersinar kian cerahnya di antara barisan pasukan Langit. Parjanya membacakan mantranya, bersama tubuh berbalut mantelnya yang kini di rambati ratusan petir.

"Di sini mereka berdiri di bawah pohon keramat"

"Bernyanyi dengan mimpi menembus cakrawala"

"Dicakarnya pula langit-langit angkasa"

"Melayang, tak tahu kata batas"

[Sihir Penguat]

[Tingkat 9]

"(Perkuat Melebihi Batas)"

"Briaktra Enchantra!"

Para Diabolic mendadak tumbuh besar dan kuat hingga berkali-kali lipat, jauh melebihi batas mereka. Diayunkannya pun perisai-perisai es ke arah para Dubalang, menghempaskan prajurit-prajurit raksasa itu jauh ke belakang, sebagai bayarannya, perisai es mereka kini hancur menjadi serpihan karena dipaksa bertabrakan dengan berilan suci.

"Apa-apaan itu!?" Amartya luar biasa terkejut, ia hampir menampar meja di depannya.

"Itu sihir Profisa, kakanda. Kemampuan kami mampu mengabaikan peraturan yang diciptakan alam." Bahkan di tengah penjelasannya, Naema tampak jelas kaget sihir itu tiba-tiba muncul.

"Ah benar, aku lupa Parjanya telah menjadi seorang Profisa... hmm menarik, tapi merepotkan."

"Setiap penyihir mampu menggunakan sihir 2 tingkat dibawah mereka tanpa puisi. Namun seorang Profisa berbeda, kami juga mampu melakukannya untuk satu tingkat di bawah tingkat kami, jadi jika dia mulai membaca puisi…"

"Dia sedang memantrakan sihir Profisa?"

"Bisa dibilang begitu."

"Dinendra," Amartya bergegas memanggil si putra Manguni melalui logam yang kuberikan.

"Kamu masih memegang alat komunikasi lebih yang kuberikan kepadamu?"

"T-Tentu saja, Tuan." Jawab Dinendra yang juga tengah tercenggang melihat betapa besarnya para Diabolic sekarang.

"Bagus, berikan alat yang kamu gunakan saat ini ke orang terpintar di regumu, aku punya tugas lain untukmu."

Setelah perisai para Diabolic hancur, mereka menjadi terbuka akan serangan. Para Istinggar Waraney serta Raksaka (anak-anak toksik) menghujani mereka dengan peluru dan baut-baut panah. Parjanya melihat kedatangan mereka dan bersiap menciptakan lapisan perisai sihir untuk melindungi para Diabolic lebih lanjut.

"Tersambarlah angkas—"

Namun, Parjanya tiba-tiba menghentikan puisinya dan lekas membuat perisai sihir kecil di depan tangannya yang terulur ke depan.

Perisai itu hancur sesaat setelah terbentuk, terhantam peluru api yang begitu kuat, bahkan hingga menetralisir sihirnya. Di tengah kekagetan yang ia rasakan, Parjanya lalu memandang ke depan, dan dirinya pun tersadar, kesembilan Manguni tengah menatapnya dengan mata agung mereka yang merah kian membara.

Walau begitu, ada mata yang jauh lebih membuatnya takut. Ia tak bisa melihatnya, namun Parjanya mampu merasakan tatapan yang sudah terlebih dahulu menusuk jantungnya sebelum peluru-peluru di udara menggerogoti tubuhnya.

"Sial, nampaknya gerakanku sudah diku-" Belum selesai ia berkata, peluru selanjutnya sudah melesat cepat ke arahnya. Ia terpaksa menghindar dan membuat perisai kecil lain, yang tentunya berakhir pecah.

"Gila! Gak lucu banget asli!"

Sementara itu Amartya menarik mundur para Parisai, dan menaruh mereka berlari kebelakang guna mengitari para Raksaka dan Malianis. Di pihak pasukan Langit Diabolic juga dimundurkan sementara untuk diperbaiki dan diperlengkapi ulang.

Para Bulweri (elemental listrik) dan Bartelsi (elemental angin) kemudian menggantikan peran Diabolic untuk berada di barisan depan, dan mereka kian berlari menuju barisan pasukan Daratan. Bulweri membawa tombak baja dengan mata petir, sementara Bartelsi dengan roket angin di punggung mereka, mengenakan dua keris di tangan mereka.

"Hmm, kayaknya aku belum pernah melawan dua elemental itu sebelumnya. Mungkin… mungkin ada baiknya melakukan ekpesrimen demi perang selanjutnya."

"Woi!" Raja Alam berteriak panik mendengar ucapan si pemuda api.

Amartya lalu mengirim Dubalang Panukok dan Kapak untuk menghadapi makhluk-makhluk sihir itu. Sayangnya kedua elemental terlalu gesit untuk dihadapi para Dubalang yang lamban.

Tombak listrik itu menusuk zirah mereka, melumpuhkan dan membuat kaku badan mereka. Sementara para Bartelsi mampu melayang ke atas dan menembaki mereka dengan bola-bola angin yang merusak barisan mereka. Begitu Dubalang terjatuh oleh hempasan angin, Bartelsi melempari mereka dengan keris angin.

Para Waraney pun menembaki Bartelsi yang melayang di udara, namun perisai-perisai listrik seketika muncul dan bertukar nyawa dengan peluru mereka. Melihatnya, Waraney Istinggar pun mengganti strategi dan menembak perisai itu dengan meriam tanah. Perisai listrik itu hancur tapi para Bartelsi masih berkeliaran akibat betapa lambannya bola-bola meriam itu,

Para Dubalang Kapak dan Panukok masih berakhir terhajar.

"Oy anak, orang-orangku sedang babak belur!" Raja Alam tak kuasa mengoceh melihat ide bodoh Amartya dan eksperimennya.

"Babak belur?" Amartya terlihat bingung.

"Lihat!" Raja Alam kian geramnya menunjuk lokasi para Dubalang di peta buatan Naema dengan jari besarnya.

Amartya pun menghela nafas, "Yang Mulia tahukah Anda dua senjata jarak jauh terkuat di Dunia baru ini?"

"Dua? Tch! Diriku tak sedang ingin menerka-nerka jawaban." Pria itu menggelengkan kepalanya.

"Senapan Genka karena kecepatan dan daya rusaknya yang luar biasa."

"Onde, ongehnyo (sombongnya)…, lalu?"

"Panah Sarma…"

"Karena mereka, tak pernah meleset."

Dua orang Sarma menembakkan anak panah yang berkelok-kelok zig zag di udara, memecah angin dan menghindari segala halangan. Kemudian keduanya membelah menjadi ratusan anak panah lain, membanjiri udara dengan kilatan merah muda. Tertancaplah mereka pada luka-luka tiap Dubalang Kapak dan Panukok, tanpa terkecuali.

Setelahnya anak-anak panah ini layu lalu jatuh ke bumi, dan dengan cepat luka-luka pada tubuh Dubalang tertutup dan sembuh begitu saja.

"Selama seseorang masih hidup dan tak terkena racun atau penyakit tingkat tinggi Vhisawi, tak ada luka yang tak mampu disembuhkan sihir mereka yang mewarisi getah kehidupan."