Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 84 - Chapter 21: Stage of the White

Chapter 84 - Chapter 21: Stage of the White

"Rancak bana… bukankah ini membuat pasukan kita abadi di medan perang?" Raja Alam tersenyum lebar kian cerahnya, seakan ia baru menemukan emas di— uh... permata di— air di— ah sial! Dunia baru ini terlalu kaya untuk dijadikan bahan metafora.

"Sayangnya tidak Yang Mulia, manusia memiliki batasan seberapa banyak rasa sakit yang dapat mereka terima, dan tanpa musik cahaya, pedih perih itu mungkin akan membuat mereka trauma seumur hidup." Mata Amartya tampak sedih, seakan ia menyayangkan nasib mereka. Walau sudah sangat jelas, eksperimen ini idenya.

♪ Faith! ♪

Berkah Lishmi membuat Dubalang tetap tersadar dan tenang di tengah sengatan Bulweri. Untuk Dubalang, rasa sakit sesungguhnya bukanlah gadis yang perlu diindahkan. Karena konflik tiada henti yang terus berlanjut di Mitralhassa, mereka berdansa dengannya tiap hari di lantai tugas dan pelatihan. Tapi seperti apa yang dikatakan Rhea sebelumnya, para Dubalang yang sekarang sedang bertempur merupakan mereka yang datang dari generasi baru, dan tak memiliki pengalaman berperang.

Sementara itu para penyihir juga mulai bergerak mendekati barisan pasukan Daratan. Mereka terus menghujani parisai Dubalang dengan sihir mereka. Beberapa juga menembakkan misil-misil sihir ke atas tembok Sfyra tempat para Istinggar Waraney bersarang. Namun logam-logam yang terpasang di sana melindungi mereka sepenuhnya dari serangan di depan mereka. Tak hanya keterampilan para penyihir, segelintir meriam sihir juga terus berusaha merusak tembok.

*Reeek...* suara pintu terbuka.

Di tengah-tengah itu semua, pria berambut putih suci bagai platinum memasuki ruang strategi. Pria itu cukup besar, mungkin ¾ dari Raja Alam.

"Tuan penguasa, para kucing dan harimau telah memasuki panggung." Kata pria itu.

"Ah bagus, kalian datang di saat yang tepat, aku harap mereka tak kaget mendengarku berbicara dari logam yang baru mereka terima." Amartya tersenyum pada pria yang berbalutkan warna putih itu.

"Anak dah ado rencana?" Tanya Raja Alam bingung.

Amartya menyeringai ke arah sang Raja, cukup songong jika aku boleh tambahkan.

"Panukok, Kapak, kalian boleh mundur."

Ditengah-tengah pertempuran yang ganas, tiba-tiba para Dubalang Panukok dan Kapak mungubur diri mereka ke tanah, dan menghilang dari pandangan pasukan Langit.

"Ah para kerbau sial itu ditarik mundur... mungkin ini saat yang tepat untuk kuda-kuda putih menerjang ganasnya pertempuran." Parjanya mengelus dagunya.

Kini ⅔ medan pertempuran dikuasai pasukan Langit. Diabolic yang telah pulih membuat barisan kokoh beberapa langkah di depan Dubalang Parisai, Sementara penyihir-penyihir menghujani para Dubalang dan Raksaka dengan sihir mereka.

Malianis membuat perisai sihir yang melindungi Raksaka sepenuhnya, akan teteapi karena ini Raksaka tak mempunyai celah untuk menembakkan anak panah mereka.

"Ah kakanda, sebenarnya aku telah memukan tipe perisai sihir yang baru, ini konsep yang hanya bisa dilakukan jika yang berlindung di bawahnya adalah Penempa Bumi." Naema pun menyarankan inisiatifnya setelah melihat kondisi yang dihadapi para Raksaka.

"Apa para Malianis mengatahuinya?"

"Tentu, aku telah mengajari setiap orang di antara mereka, namun ini masih eksperimental, karena ya… kami tak selalu berkontak dengan Penempa Bumi, ataupun perang."

"Lakukan saja, selama itu dirimu, aku yakin akan tercipta sesuatu yang luar biasa." Amartya menaruh kepercayaan penuh pada wanita (gadis) yang dinikahinya.

"Baiklah… ehm, perisai ini bernama cermin satu arah."

"Isminesa."

Muncullah sekumpulan cahaya sian yang membangun perisai es transparan berbentukkan bunga kristal salju, sementara celah-celahnya ditutupi perisai biasa. Seperti apa yang diminta para Malianis di samping mereka, Raksaka lalu menembakkan anak panah mereka melewati perisai itu, dalam sekejap mereka terbalut serpihan-serpihan es, meninggalkan jejak hijau dan sian. Begitu tertancap, anak-anak panah itu pecah, memercikkan kristal dingin yang beracun.

"Wah menarik." Amartya tersenyum canggung. Walau ini jelas terlihat seperti strategi yang ampuh, fakta bahwa serpihan es yang berceceran memasuki tubuh para penyihir itu mengandung racun, terdengar cukup kejam.

"Persai ini hanya bisa digunakan apabila yang kita lawan adalah penyihir, dan yang kita lindungi adalah Penempa Bumi."

"Bisa tolong jelaskan?"

"Isminesa menghadang semua sihir yang datang, namun memperkuat semua serangan fisik yang melewatinya."

"Hmm, sebaiknya para Malianis bersiap untuk menaruh perisai biasa, jika Parjanya tahu akan hal ini, mereka akan menghujani Raksaka dengan meriam sihir yang menembakkan senyawa kimia yang bersifat fisik."

"Dimengerti kakanda."

Amartya menjentikkan jarinya.

"Sekarang, saatnya para singa menapakkan kakinya di panggung pertunjukan."

Di tengah-tengah baku tembak, sekumpulan kupu-kupu api berterbangan ke barisan pasukan Langit. Para penyihir yang telah melihat kemampuan Ina Waraney sebelumnya menjadi siaga dan mengarahkan sihir mereka pada kupu-kupu tersebut. Sayangnya untuk mereka, memang itu yang diinginkan Amartya.

"I Yayat U Santi!"

"Tuama Nyaku Tuama!"

Para pria Waraney muncul dari belakang pasukan Langit dengan santi terangkat ke atas. Mereka membuat barisan lurus berjejer kesamping, berputar vertikal di udara dengan kuda-kuda terpasang rapih begitu mendarat. Mata dan salawaku (perisai) mereka terfokus ke depan mengarah pada barisan pasukan Langit, sementara santi mereka sejajar dengan telinga, miring ke samping.

"Koyak!"

[Seni Api]

[Tingkat 4]

"(Terjangan Lurus)"

"Karis Renteng!"

Perisai yang kini menatap pada para penyihir menggemakan cahaya oranye yang menarik tiap partikel oksigen ke dalamnya. Lalu, ditinjunya salawaku itu dengan tangan yang memegang santi, dan seketika mereka melesat, dari ujung, menerjang pasukan Langit hingga terhenti di depan parisai Dubalang, meninggalkan jejak api yang membakar siapapun yang tersentuh olehnya.

Barisan pasukan Langit hancur begitu saja, menaruh celah di begitu banyak sisi, bahkan para penyihir tak mampu bereaksi untuk menggunakan sihir blink mereka. Mereka yang terjebak di garis serangan Santi Waraney, jika tidak terbelek oleh sayatan mereka, akan terbakar hebat oleh api mereka.

Setelah itu kupu-kupu api pun berubah menjadi Ina Waraney, dengan dua pistol kupu-kupu mereka menarikan tarian api di tengah para elemental. Kini Bulweri pun lumpuh, pasukan Langit tak memiliki kekuatan tombak untuk sementara waktu. Akan sedikit lama hingga elemental-elemental itu bisa kembali menggila di medan tempur.

"Gila! Bener-bener dah itu Waraney, bisa-bisanya dalam sekejap memutar balikkan keadaan." Parjanya menjadi kian frustasi melihat para elemental di porak porandakan.

Dari arah utara terdengar suara auman yang kian menggelegar, nampaklah rambut-rambut putih berkibar-kibar tertiup angin. Di sana berlari ratusan binatang buas dengan kuku-kuku mereka yang tajam dan kian berkilauan. Di atas mereka menunggang pria berambut putih, berkulit putih, bermata putih, berpakaian putih, begitu sucinya dengan tombak putih mereka.

Para Lukautim (Peri laut tipe pelindung) berancang-ancang untuk menghadapi mereka, dan membuat barisan bersiap menghadang mereka dengan gada dan trisula menantang ke depan. Di belakang mereka berdiri peri-peri Sanguma (peri laut tipe Penyihir) dengan sihir darah memperkuat tubuh dan persenjataan Lukautim. Di atas mereka terkumpul bola merah dengan darah yang berputar-putar, merekah-rekah, siap menerjang para harimau.

*BDOOM!*

Tiba-tiba muncul ledakan di tengah barisan Lukautim, para Waraney menembaki mereka dengan sesium, logam itu jelas-jelas telah menjadi mimpi buruk pasukan Samudra ketika bertempur di Daratan.

Sekarang sang harimau menerjang Lukautim tanpa halangan, tombak-tombak putih mereka menusuk tubuh peri-peri laut itu, mebantai mereka layaknya petani memanen padi. Sanguma menggunakan sihir darah mereka untuk menghipnotis para Pasilek Arimau... namun sayang, darah mereka terlalu suci untuk tergoyah sihir Sanguma. Gadis-gadis malang itu menjadi panik dan ketakutan, lalu dengan gegabahnya membawa Lukautim yang selamat, berteleportasi ke tempat yang aman.

"Argh! Ini gila! Magistra, tarik semua pasukan ke lokasi yang aku tandai, kita harus atur ulang formasi dan strategi yang akan digunakan." Parjanya berseru ditengah tariannya, berusaha untuk menghindari peluru-peluru Dinendra.

Pasukan Langit pun dengan cepat merapat di satu titik. Mereka membuat perisai layaknya Igloo raksasa terbuat dari 3 lapis, es, angin dan listrik. Sementara di sekitarnya mereka mengalirinya dengan listrik dan menghiasnya dengan duri-duri es. Medan tempur pun menjadi kian sepi untuk sejenak.

"Sadang apo tu mereka nak?" Tanya raja yang bingung.

"Dugaanku mereka sedang mengatur ulang strategi dan memperbaiki para Elemental." Amartya juga cukup bingung melihatnya. Tak hanya tak ada sejarah yang menjelaskan bagaimana suku Es, Angin dan Listrik berperang selain dari pertemuannya dengan Magistra Indra, juga Igloo sihir yang ia lihat di Afaarit tampak bisa dengan mudah dimasuki pasukan jarak dekat.

"Kakanda tidak ingin mengganggunya?" Tanya Naema.

"Perisai itu akan menghalangi serangan kita, sisi baiknya mereka juga tidak bisa menyerang."

"Tapi para Magistra dan Parjanya bisa saja sedang membaca mantra saat ini."

"…"

"Ah sial, bagaimana bisa aku lupa? Baiklah kita akan menyerang, tapi kita tetap harus siaga akan sergapan yang mungkin disiapkan oleh mereka."

Dubalang Parisai kembali dimajukan menuju Igloo pasukan Langit. Sementara Santi Waraney di medan tempur kembali ke persembunyian mereka. Akan tetapi, belum jauh para Dubalang bergerak, terlihat serpihan-serpihan Es merayap ke arah barisan pasukan Daratan. Pria-pria raksasa itu pun menancapkan parisai mereka ke tanah dan membuat dinding parisai, bersiap menghadapi hantaman es.

*Bzzzt*

"Tunggu!? Dubalang! Lepas tangan kalian dari parisai!" Amartya tiba-tiba saja berteriak dengan panik.

Mereka pun melompat satu langkah ke belakang, meninggalkan parisai mereka tertancap di tanah. Tertabraklah serpihan-serpihan es pada parisai, dan darinya muncul percikan listrik yang begitu dasyat.

"Jika para Dubalang itu lumpuh walau satu detik saja oleh sengatan listrik, situasi bisa jadi berbahaya, tubuh mereka diselimuti konduktor listrik."

"Bukankah dari tadi mereka aman-aman saja menerima misil-misil listrik, kakanda?"

"Iya benar, tapi entah mengapa, firasatku berkata listrik barusan akan berefek pada para Dubalang."

"Mungkinkah itu listrik Parjanya?"

"Mungkin... mungkin..."

Tiba-tiba di tengah kesunyian medan tempur, dari Igloo terlihat para Solodia (penyihir cahaya) berlari dengan kecepatan tinggi. Sihir membuat tubuh mereka mampu bergerak melebihi kecepatan Penempa Bumi. Peluru dan anak panah datang menghampiri mereka, namun perisai cahaya muncul dan menghadang semuanya.

Dari tangan mereka terbentuk lingkaran sihir berwarnakan kuning pucat yang dengan cepat memunculkan jarum-jarum cahaya, yang melesat berkelok-kelok, melewati dinding parisai, menuju para Dubalang. Para raksasa terpaksa meniarapkan tubuh mereka ketika melihatnya, lalu berguling ke depan dan mengangkat parisai mereka. Kini efek parisai Ambawak pun kembali aktif, dan sihir-sihir cahaya itu tak lagi mampu melewatinya.

Dari tangan kanan Solodia muncul rencong yang memancarkan cahaya putih. Sementara tangan kiri mereka terangkat ke atas, dengan jari mereka menari-nari seperti memberikan isyarat.

"Turunlah!"

"Berkahi kami!"

"Wahai pelindung kota cahaya!"

Dari Angkasa pun muncul cahaya yang menyilaukan, membuat barisan pilar putih dan terjun bagai hujan meteor. Mereka melewati perisai cahaya Lishmi layaknya menembus air, menghantam Dubalang Parisai hingga wajah mereka mencium tanah.

Berpijaklah sekumpulan elemental cahaya, dengan zirah putih yang menggemakan sinar di sekitarnya, kian silau dan bergelora. Tubuh mereka bangkit, dengan bahu setinggi para Dubalang, menatap dengan mata kuning pucat yang memancarkan cahaya. Di tangan mereka bertumpu tongkat putih raksasa bersama rencong menancap di atasnya, di antara keduanya sebuah ratna bersinar, menyalakan sekumpulan tulisan dalam bahasa Hyakra (suku Cahaya Angkasa).

Raksasa Putih, telah memasuki medan pertempuran...