Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 74 - Side Story : Leader

Chapter 74 - Side Story : Leader

Mendekati perang, para pasukan mulai sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Termasuk juga Amartya. Akan tetapi untuk para Malianis, mereka kini dalam masa pendinginan untuk menjaga suhu tubuh mereka, sehingga Naema tak memiliki sedikitpun tugas untuk mengurus mereka. Dengan kata lain dia... lagi gabut.

Naema tidak memerlukan masa pendinginan karena kekuatannya yang melebihi para penyihir Es yang ada, mengingat sekarang dia telah mencapai level Profisa. Dan untuk menghabiskan waktu, ia pun bermaksud mengadakan sedikit survey pada para prajurit yang akan berperang, mengenai pendapat mereka tentang Amartya.

Menurut Naema para Waraney berdiri di jajaran yang paling setia pada Amartya, jadi dia menyimpan jawaban terbaik untuk yang terakhir. Perjalanan pertamanya dimulai dengan suku yang paling tak ia percayai, suku Toksik.

Suku Toksik terkenal dengan sikap mereka yang bisa dikatakan 'toksik' atau tak sopan, namun karena Iska terlahir dengan hati yang dingin seharusnya ini tak jadi masalah untuk Naema. Kini ia telah berada di depan kemah Vhisawi di luar benteng, akan tetapi prajurit di sana tidak mengizinkan Naema masuk atas alasan keamanan. Meski begitu Naema tetap ingin berbicara dengan mereka, jadi ia mengajak beberapa untuk berbicara di luar kemah, salah satunya adalah bangsawan yang sering berbicara dengan Amartya, Grimm.

"Jadi, ade ape neng ngajakin kite-kite kemari?" Tanya si bangsawan Vhisawi.

"Ehm, itu, mau ngobrol-ngobrol aja… bang." Naema terlihat sangat gugup ketika berbicara dengan mereka. Grimm tak terpengaruh oleh Pohon Kehidupan, jadi dia terlahir di luar masa reinkarnasi. Pria itu cukup lebih tua dibanding Amartya.

"Walah, Ngomong aje neng."

"Jadi, err... gimana ya? menurut abang, Amartya tuh orangnya kayak gimana sih? Dan tolong pakai bahasa Penempa Bumi ya bang." Suaranya terdengar lemah, namun nada-nada penasaran masih dapat terdengar dari ucapannya.

"Wah, ada masalah apa nih?"

Grimm sedikit tersentak, ia mengira Naema mulai mempertanyakan loyalitas suku Toksik pada Amartya. Setiap suku di Daratan mungkin tak pernah bermusuhan antara satu dengan yang lainnya, tetapi ada masanya mereka saling membunuh ketika bersaing memperebutkan titik sumber daya. Suku Toksik adalah bangsa yang amat tamak dan menginginkan banyak hal.

"Jawab aja bang!" Seketika Naema membentak, wajahnya memerah dengan air mata menggumpal di sisi-sisi matanya. Bisa terlihat jelas betapa gugupnya dia.

"Iye iye, buset dah galaknya nular." Grimm makin terperangah mendengar letupan kecil gadis (wanita) itu.

"Hmm, Amartya ya? Kamu minta abang jawab yang kayak gimana, neng?"

"Sejujur-jujurnya."

Melihat reaksi Naema, Grimm pun mulai mengelus-elus hidungnya dengan jemari telunjuk.

"Kalau bicara jujur ya… Amartya itu orangnya pemarah, tapi dia Genka jadi itu pasti dimaklumi semua orang, agak songong dan sombong, jujur aku tak paham mengapa orang-orang bisa seneng ama dia."

Naema mendadak terlihat layu mendengarnya.

"Namun itu dia, entah mengapa ada hal dari dirinya yang membuat kita tak bisa membencinya mau seperti apapun dia bersikap, ada hal yang membuat atmosfir terasa hangat ketika berada bersamanya, kalau tidak salah orang-orang pernah berbicara soal Karisma Sang Singa Api."

"Karisma Sang Singa Api?" Tatap Naema bingung.

"He eh, karisma yang membuat orang-orang senang mengikutinya, yang memberikan ketenangan bagi yang terhipnotis olehnya, dan kehangatan bagi yang berada di sampingnya."

"Hmm…"

Mendapat jawaban si bangsawan, Naema akhirnya pergi meninggalkan kemah Vhisawi bersama pertanyaan yang justru bertambah. Ia lalu melanjutkan percobaan kecilnya dan beranjak pergi ke kemah Sarma karena mungkin Ester tahu sesuatu mengenai karisma yang dimaksud.

"Hmm Kang Amartya? Kunaon? Kok Teh Naema tiba-tiba nanyain?" Tanya Ester, yang meski dengan segala kebatasan otaknya, bingung dengan pertanyaan yang datang entah dari mana.

"Jawab saja!" Naema kembali membentak, sama seperti sebelumnya.

"Oke lur, oke… nampakna Teteh teh… belum terbiasa nya berbicara tanpa Kang Amartya?"

"Diam, bukan urusanmu!" Wajahnya senantiasa merona karena menahan malu dan gugup bicara dengan siapapun selain Amartya dan orang-orang suku Es.

"Hihihi oke deh, Amartya nya... jujur mah jika ditanya soal Amartya yang sekarang aku tuh kurang apal kudu jawab apa, tapi kalau Amartya semasa kecil, bisa dikata teh, dia itu unik." Ester tampak begitu keras berusaha untuk menjawab, serabut dan akar seakan keluar dari dahinya.

"Unik?"

"Enya, dia itu sering kali marah-marah, terutama teh pada kebodohan kami, tapi dia memang terlahir sebagai Genka yang sangat pintar jadi kami tidak menyalahkanna, namun kami sama sekali tidak terganggu oleh ocehannya, entah mengapa kami teh nganggapna lucu dan imut."

"Hah!?" Jujur aku tak tahu maksud dari ekspresi Naema saat ini.

"Ho oh, dia terlihat kayak kecil alit yang terus mengaum, gemesin sia."

Naema memandang Ester dengan tatapan bingung, mungkin juga jijik.

"Oiya, bicara soal singa, apa kak Ester tahu sesuatu soal Karisma Sang Singa Api?"

"Apal, itu tuh nama yang diberikan Dramu untuk karisma luar biasa milik keluarga utama suku Api."

"Keluarga utama, berarti ayah?"

"Muhun, Hakan juga punya, seisi keluarga utama memilikina, namun entah mengapa teh, aku ngerasa karisma ini paling mekar pada diri Amartya."

"Hmm…"

Cukup puas dengan jawaban Ester, Naema kemudian pergi meninggalkan kemah Sarma dan melangkah menuju tujuan selanjutnya. Ester sempat menyebutkan asal nama dari karisma tersebut, kini Naema pun beranjak untuk menemui para Dramu dan Lishmi di Istana Sfyra.

Hanya saja suatu kejanggalan lekas terjadi. Begitu Naema membuka pintu ruangan Dramu, ia tak menemukan siapa-siapa. Tempat itu begitu kosong dan suram, satu-satunya yang bernaung di tempat itu hanyalah bayangan dari tembok dan benda-benda di dalamnya.

Namun, Naema tetap melangkah ke dalam karena penasaran mengapa tak ada orang.

*Brak!*

Dan seketika, pintu di belakangnya menutup dengan kencang, lalu dari bayangan, Verslinder pun muncul bersama gagak-gagak hitam yang tak ada hentinya berkicau, ruang itu mendadak dipenuhi sayap hitam yang berterbangan, atmosfir sekitar mendadak berubah tegang dan mencekam karena kehadirannya.

Naema bisa merasakan dada dan lehernya menjadi sesak, kesulitan untuk bernafas, seakan kegelapan mendekapnya dengan erat, tak memberikannya ruang untuk berdiri.

"Cukup Verslinder! Tamu kecil kita tak datang untuk kehilangan nyawanya." DiVarri muncul dari kegelapan.

Verslinder kemudian memberikan tatapan terakhir pada Naema dengan mata ungunya yang bergemerlap, lalu lenyap menyisakan bulu-bulu gagak yang melayang-layang.

"Huft… mengapa… mengapa tuan DiVarri berbicara padanya dengan bahasa Penempa Bumi?" Tanya Naema dengan nafas tersengal-sengal.

"Hm? Bukankah Verslinder pernah berkata tentang bahasa kalian sama dengan yang ada di kampung halamannya?" Tanya DiVarri.

"Sungguh...? Aku tak ingat." Nafasnya masih berantakan.

DiVarri diam sejenak, memberikan waktu bagi gadis (wanita) malang itu untuk mengatur nafasnya.

"Jadi nyonya kecil, ada maksud apa dirimu saat ini berdiri di tengah kegelapan?"

Entah mengapa suara DiVarri terdengar lebih mengintimidasi di telinga Naema ketika ia tak sedang bersama Amartya, mungkinkah kehangatan apinya membuat dirinya lebih tenang?

"Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan, tapi sebelum itu, mengapa ruangan ini kosong tak berpenghuni?"

"Kosong? Hahaha nyonya, seisi Ratmuju ada di ruangan ini. Hanya saja, mata manusiamu takkan mampu melihat dunia kami." DiVarri mengarahkan tangannya pada seisi ruangan.

"Pejamkan matamu sejenak, nak. Biar kuperlihatkan apa yang sebenarnya tersirat... di balik bayangan."

Naema pun menurut, dan lekas memejamkan matanya, walau ia sebenarnya sangat ketakutan. Akan tetapi rasa penasarannya mendorongnya untuk melangkah lebih jauh.

DiVarri kemudian berdiri di belakang Naema, dan lalu, menaruh kedua tangannya tepat di atas mata gadis (wanita) itu. Tangan kelabunya begitu dingin dan penuh kekejian, bahkan untuk seorang Iska yang kuat, Naema menggigil begitu bersentuhan dengannya.

"Sekarang biarlah malam meliputi hatimu, dan lihatlah ke arah cahaya."

DiVarri pun melepaskan kedua tangannya dari wajah si gadis.

*!!!*

Begitu membuka matanya, Naema kian menyaksikan para musisi tengah bermusik seakan iblis tak henti-hentinya merasuki mereka. Gerakan mereka begitu cepat dan tajam, badan mereka bergerak kuat, menghempas ke sana dan kemari, dengan nada yang mengguncang dunia kian ganasnya.

Namun tak butuh waktu lama hingga DiVarri mengembalikan pandangan Naema, karena nampaknya jiwa dan raganya tidaklah kuat berlama-lama di sana. Dan setelahnya, nafasnya pun kembali berat dan cepat, kini ia bahkan tak mampu untuk berdiri, dan terduduk lemas di lantai. DiVarri menunggu nafasnya kembali normal untuk memulai kembali pembicaraan.

"Jadi nyonya kecil, apa yang ingin dirimu tanyakan?"

"Iya, jadi, aku… huft, ingin bertanya soal Karisma Sang Singa Api, tuan DiVarri tahu tidak?"

"Nama itu, hmm… adalah sebutan Verslinder untuk karisma para bangsawan api. Apa yang ingin kamu tahu soalnya, nyonya?" DiVarri mengadah ke atas dengan tangannya tertempel di dagu, berusaha mengingat kata-kata itu.

"Ada apa dengan karisma keluarga utama Genka?"

"Nyonya, sesuatu yang tak bisa dilihat tak mudah tuk digambarkan. Namun, tentu saja kita semua dapat merasakannya, perasaan yang membuatmu mempercayakan hidupmu pada sang pemilik karisma, dan menancapkan kesetiaan pada jati dirinya."

"Bukankah… semua orang yang berkarisma seperti itu? Apa yang membuatnya begitu spesial?"

"Tanyakan pada yang berdarah api nak, merekalah yang tenggelam di dalamnya."

Dalam sekejap DiVarri kembali menghilang ke dalam kegelapan. Naema merasa sedikit kecewa, tetapi ia mengikuti sarannya untuk mendatangi para Waraney. Namun sebelum mendapatkan jawaban itu, dia ingin bertanya sedikit pada para Dubalang.

"Mengapa kami mengikuti Amartya?" Tanya Dubalang yang tentu saja bingung dengan pertanyaan tiba-tiba seperti ini.

"Iya, apa pertanyaan ini sulit untuk dijawab? Ataukah aku seharusnya tidak bertanya?"

"Kalau ingin jujur, nyonya. Kami mengikuti apa yang dilakukan Amartya karena perintah dari Raja Alam, kami terlahir bersumpah setia padanya dan akan mengikuti segala keinginannya."

"Apakah hanya karena alasan itu? Andai Raja Alam tak pernah ada, apakah kalian akan tetap mengikut Amartya?"

"Pertanyaanmu tidak sopan, nyonya. Jangan pernah lagi berkata hal semacam itu pada para Dubalang."

Wajah Naema mendadak kaku, ia tersenyum canggung, memang benar, seharusnya ia tak berucap demikian.

"Tapi karena nyonya sudah bertanya, ya, tentu aku tetap akan mengikutinya."

"Eh? Mengapa?"

"Pria itu terlahir untuk menjadi Ardiansyah, dan jika hal itu akan membawa kesejahteraan bagi Ambawak, maka kami akan mewujudkannya, lagipula, ada sesuatu pada pria itu yang membuatmu ingin mengikutinya ke ujung Dunia."

Lagi-lagi mereka berbicara soal karisma. Naema mulai berpikir apakah Amartya akan tetap disukai semua orang jika dia tidak memiliki karisma tersebut.

"..."

Tapi dia langsung menarik pikiran tersebut, karena Amartya tak akan bernama Amartya (penguasa yang abadi) jika karismanya tidak luar biasa.

Sekarang, giliran momen pamungkas. Naema pun mendatangi para Waraney sebagai perhentian terakhir, dan tentu saja ia mengharapkan jawaban yang bagus dari mereka. Naema mendatangi dua orang gadis Ina Waraney yang sedang beristirahat, entah mengapa dia merasa malu jika hendak berbicara dengan laki-laki Genka.

"Oh, Nyonya Permaisuri ingin bertanya soal sang kekasih? Hihihi manisnya." Goda salah satu gadis itu dengan wajah penuh senyum nakal.

"Argh, mengapa Genka selalu seperti ini sih!?" Naema terdengar jengkel, walau wajahnya semerah senja.

"Hmm, Tuan Amartya ya, sebagai seorang Waraney tentu saja kami akan selalu menghormati orang-orang dari keluarga utama, karena secara teknis kami semua berhutang nyawa pada mereka, namun jika berbicara tentang Tuan Amartya, bisa dibilang beliau orang yang spesial!"

"Spesial?"

"Ya, kamu juga berpikir seperti itu kan?" Gadis itu seketika menoleh pada teman di sebelahnya.

"Ya! Ya! Dia itu orang yang sangat spesial!" Jawab gadis lainnya.

"Mengapa?"

"Pertama, beliau itu orang dengan amarah paling besar di suku Api, namun seperti yang sering kita lihat, dia berusaha sangat keras untuk menahan emosinya, berbeda dengan Tuan Hakan yang begitu hangat dan lemah lembut."

"Tuan Hakan sebenarnya juga memiliki amarah yang besar, namun pengendalian diri beliau berada di kelas yang berbeda, dan layaknya setiap Penempa Bumi, mereka dengan dosa suku yang besar, ialah yang memiliki kekuatan yang besar pula, itu sebabnya Nyonya Permaisuri merupakan salah satu Iska yang paling mesum di Daratan~"

"Hah!? Apa!?" Wajah Naema seakan meledak mendengarnya.

"Hihihi, tapi ya begitu, seorang Genka yang memiliki amarah besar, ialah yang memiliki kekuatan api yang besar pula."

"Lalu apakah kalian tidak terganggu dengan Amartya yang bisa dibilang... galak?"

"Terganggu? Tentu saja tidak, sudah kami bilang beliau itu orang yang spesial!"

"Baiklah, jelaskan!" Naema mulai merinding melihat wajah cerah kedua Ina Waraney itu yang seakan bergelimang kebahagiaan.

"Beliau itu orang yang…"

Kedua gadis api kemudian bergantian berucap.

"Ketika kamu melihat punggungnya, kamu ingin mengikutinya."

"Apabila beliau bebicara, kamu ingin mendengarkannya."

"Apabila beliau bertitah, kamu ingin segera melakukannya."

"Apabila beliau tertawa, hatimu terasa bahagia."

"Apabila beliau tersenyum, kamu tahu semua akan baik-baik saja."

"Dan apabila berada di dekat beliau, kamu merasa hangat dan aman."

"Beliau memenuhi ketiga syarat seorang kepala suku, Ngaasan (bijak), Niatean (berkemauan keras), Mawai (kuat). Kamu tidak bisa membencinya. Apapun yang Tuan Amartya lakukan, kamu hanya ingin bersamanya sampai akhir dari perjalanannya." Gadis itu melukis senyuman manis dan penuh kehangatan.

Setelah melihat betapa berbinar-binarnya para gadis Waraney, Naema pun pamit dan lekas kembali masuk ke benteng Sfyra. Di perjalanannya ia bertemu Amartya yang tengah berjalan keluar dari dalam Istana, selesai melapor pada Raja Alam.

"Apa yang kulewatkan, adinda? Kamu terlihat bahagia." Tanya Amartya heran dengan Naema dengan wajah yang penuh bercak merah, yang sibuk senyum-senyum sendiri.

"Kakanda capek kan? Mau santai-santai dulu di rumah?" Dengan kecerahan bunga lily yang terlukis di wajah putihnya, Naema seketika bertanya pada pria itu.

"Wah boleh banget, mana laper pula, masakanmu saat-saat begini kayaknya pas banget."

"Hihihi, beres itu mah kakanda, ngomong-ngomong, aku boleh tanya sesuatu tidak?"

"Tentu saja adinda, ada masalah apa?"

"Waraney, aku dengar mereka selalu terlihat galak dan sangar…"

"Benar, lalu?"

"Lalu... Waraney yang aku temui, mereka memiliki senyuman paling indah yang pernah aku lihat."

"Ohh, maksudmu yang seperti ini?"

Tiba-tiba saja pria itu tersenyum, begitu hangat, penuh pesona dan ketentraman. Naema yang tak kuasa menerimanya, langsung memalingkan pandangannya. Wajahnya seakan telah melepuh dan kini berubah menjadi lelehan.

"I-Iya…"

"Kamu tahu, Adinda. Amarah memang merupakan fondasi utama suku Api. Tapi... Api tak akan menjadi api apabila ia tak memberikan kehangatan kepada mereka yang bersahabat dengannya."