Hari setelah turunnya pasukan Langit, para musisi akhirnya datang ke Benteng Sfyra. Berbondong-bondong mereka berjalan berpakaian bagai siang dan malam, Lishmi (musisi Cahaya) dengan gaun putih mereka dan Dramu (musisi Kegelapan) dengan jas hitam mereka. Hanya keduanya yang mampu berpakaian dengan sedemikian elegan di masa itu.
Tak seperti yang lainnya, para musisi tidak berkemah, Raja Alam menawarkan mereka tempat sebagai bentuk penghormatan terhadap para penghuni Surga. Raja Alam sengaja membuat ruang khusus untuk para musisi di Istana, beliau memang sudah lama mengharapkan kunjungan dari mereka.
Layaknya semua pasukan yang datang, Amartya dan Naema menyambut kedatangan para musisi. Namun tak layaknya pasukan lainnya, Amartya mempunyai permintaan khusus untuk para musisi.
"Ah, DiVarri! Selamat datang di benteng Sfyra!" Sambut Amartya, ia tampak semangat melihat pria itu, sudah setahun semenjak terakhir mereka bertemu di pernikahannya.
"Bukankah mubazir membawa pasukan sebanyak ini, Amartya?" Tanya DiVarri yang bingung setelah melihat sekelilingnya yang dipenuhi ribuan pasukan berjalan ke sana kemari dipenuhi kesibukan.
"Dirimu tahu kami bisa melenyapkan mereka lebih cepat dari bayangan di malam hari."
"Mengenai hal itu... aku ingin kalian tak turun langsung ke medan perang, DiVarri."
"Maaf?" Pria itu terlihat begitu kaget, seakan ada yang salah dengan kupingnya.
"Aku sudah mengatakannya pada wakil yang dirimu kirimkan, mungkin dia tak menyampaikannya padamu." Hanya satu kata saja, dan DiVarri membuat sekujur tubuh Amartya merinding.
"Ini adalah perang kami penduduk asli dunia ini, ini bukan perang kalian, aku tak ingin ada ketidakadilan yang berlebihan dalam pertempuran ini, kuharap kalian bisa mengerti."
"Me— Aku mengerti…" aku tak pernah melihat DiVarri sedimikian kecewa.
"Lalu, apa partisipasi kami dalam strategimu?"
"Kita semua tahu kemampuan musik untuk memperkuat seseorang, aku ingin musik kalian melakukannya pada seluruh pasukan Daratan."
"Tentu, tapi tempatkan kami di luar tembok, kami juga… ingin melihat jalannya pertempuran."
"Katakan saja di mana kalian merasa nyaman."
"Terima kasih, nak. Akan kami kabari nanti."
DiVarri tampak sedikit lebih puas, para musisi pun pamit undur diri lalu masuk ke Istana. Tak lama setelahnya, datanglah Hakan, Fannar dan Kalpataru (Pohon Kehidupan). Tentu saja mereka telah memperkirakan kedatangan orangtua mereka, tetapi adanya Pohon Kehidupan cukup memberi mereka kejutan.
"Ayah, papa, senang melihat kalian datang, ada maksud apa kemari?" Sambut Amartya dengan wajah yang cerah. Ini mungkin bukan perang pertama Amartya, namun ia tetap ingin ayahnya bangga melihat dia memobilisasi pasukan sebanyak ini.
"Senang juga melihat kalian berdua, nak. Sebenarnya ayah cuma ingin memberikanmu pedang kepala suku dan pedang Ate Magnasia yang kamu titipkan ke Dinendra, walau aku tak mengerti mengapa dia memintaku mengirimkannya padahal dia di sini bersamamu. Dan juga tiba-tiba saja mertuamu ini..." Hakan melirik ke arah Fannar yang berdiri canggung di sampingnya.
"Minta ikut dengan ayah."
"Apa!? Apa salahnya aku ingin menjenguk anak dan menantuku!?" Muka Fannar sedikit merah.
"Lalu Pohon Kehidupan… mengapa kemari?" Entah mengapa wajah Amartya terlihat letih berurusan dengan pohon itu. Tak bisa menyalahkannya.
"Oh aku? Hanya ingin bertemu Raja Alam, sampai jumpa semuanya." Pohon tua itu pun beranjak pergi bersama angin dan dedaunan, begitu saja...
"Permisi Amartya, bolehkah aku meminjam putriku sebentar?" Tanya Fannar.
"Tentu saja." Amartya mengangguk setuju.
Dari sana, Fannar pun membawa Naema berjalan-jalan kecil di luar benteng Sfyra, dan mulai berbincang mengenai kehidupan dia di luar rumah, pria itu masih belum terbiasa dengan Naema tak pulang untuk waktu yang lama. Namun Fannar tiba-tiba saja membawa pembicaraan menjadi sedikit serius.
"Naema, papa akan mengatakan sesuatu yang penting jadi tolong kamu hayati apa yang akan papa katakan ya." Ucap pria itu seraya meraih kedua bahu putrinya.
Naema, walau sedikit bingung, mengangguk pelan.
"Kita semua tahu papa ini seorang nabi, dan salah satu hal yang membedakan antara nabi dan manusia normal adalah... mukzizat, papa ingin bicara mengenai salah satu dari mereka."
"Apakah ini ada hubungannya dengan Naema?"
"Bukan hubungan, tapi kamu, kamu adalah salah satu mukzizat papa."
"Maksud papa?" Gadis (wanita) itu tampak begitu bingung mendengarnya.
"Kamu itu anak yang spesial, tak ada satupun di dunia ini orang yang secara langsung merefleksikan perasaan mereka melalui sihir, memang terdengar agak jahat, tapi ini merupakan salah satu alasan orang-orang menjaga sikap mereka saat bersamamu."
"Naema sudah sadar akan hal itu, lalu ke mana papa akan membawa pembicaraan ini?"
"Amartya itu membawa api Neraka di dalam dirinya, Sang Pencipta menciptakan kamu khusus untuk menjadi obat bagi Amartya. Jadi sekarang, papa akan katakan pesan Sang Pencipta untukmu Naema."
Naema hanya terdiam mendengarkan ucapan ayahnya.
"Sang Pencipta ingin kamu menjaga Amartya, Naema. Jangan sampai api Neraka melahap dunia ini, akan datang masa di mana Amartya akan menggunakan api itu dengan sebenar-benarnya, tapi sampai saat itu tiba, kekanglah api itu agar tidak mengaum keluar, papa bisa percayakan kamu akan hal ini kan nak?"
"Tentu saja papa, Naema tak akan mengantarkan kekecewaan pada papa."
"Tentu saja kamu tak akan mengecewakan siapapun Naema, kamu putri papa, sekarang kembali lah ke suamimu dan buat dunia mengagumkan nama kalian!" Terpapar senyum bangga pada wajah pria itu, walau terlihat benih-benih gelisah darinya.
Naema melompat dan memberikan pelukan hangat (atau sejuk?) pada ayahnya. Sebenarnya ada sedikit kekhawatiran Fannar putrinya tak akan selamat dari pasukan Langit, tapi ia ingin percaya bahwa putrinya bisa menghadapi segalanya. Katakan saja Fannar termasuk ayah yang protektif.
Setelah itu Fannar pun pergi, terbang menuju desa Tanduk Putih. Ia memohonkan pamit untuk Amartya dan Hakan kepada Naema.
Sementara itu gadis (wanita) itu beranjak kembali ke Amartya, namun di tengah langkahnya ia menemukan sebuah pemandangan yang menarik hatinya.
"Hahaha… benar-benar terdengar seperti ibu." Amartya terlihat sedang berkekeh ria dengan ayahnya.
Di tengah itu semua, Hakan kemudian tersadar akan panjang bayangan di tanah, dan suhu teriknya matahari.
"Wah sepertinya sudah waktunya, kalau begitu ayah akan serahkan pedang kepala suku ini padamu Amartya, bersama dengan Ate Magnasia," Hakan memberikan dua bilah pedang itu pada putranya.
"Juga, pastikan kamu membawanya saat melapor ke Pohon Kehidupan di masa Reinkarnasi."
"Tentu saja ayah, terima kasih telah membawanya."
Amartya terlihat begitu senang berbincang dengan dirinya. Setelah pernikahannya dengan Naema, kemampuan Amartya untuk bisa merasakan kasih sayang perlahan mulai sempurna. Ia tak pernah berhasil merasakan kehangatan ayahnya hampir seumur hidupnya, dan sekarang semuanya terasa sedemikian cerah.
"Oh dan, Amartya?"
"Ya ayah?"
"Ini akan menjadi perang yang besar, dan mungkin akan banyak yang gugur di dalamnya, tetapi ingatlah, apapun keputusanmu, menang ataupun kalah, ayah akan selalu bangga padamu nak." Wajah Hakan selalu terlihat hangat dan bangga ketika berbicara dengan putranya, hanya saja kali ini, ia tak menampakkan sedikitpun benih kegelisahan.
"Terima kasih ayah, aku senang dan bersyukur, terlahir dengan dirimu sebagai ayahku."
Keduanya pun saling memberikan pelukan untuk waktu yang lama. Naema tak pernah melihat Amartya dengan senyuman setulus dan sehangat itu. Melihat mereka berdua membuatnya merasa bahagia... dan iri.
"Kalau begitu ayah pergi dulu ya nak, semoga Mentari menganugrahkan kalian dengan kemenangan."
"Terima kasih, Ayah. Sampai jumpa."
Hakan pun pergi meninggalkan Benteng Sfyra, melewati Naema di jalannya pulang.
"Pastikan api itu tetap hangat, nak. Jangan sampai ia membakarmu terlalu lahap." bisik Hakan.
Naema sedikit terkejut mendengar Hakan berbicara padanya, ia pun berjalan ke Amartya dan mengucapkan pamit dari Fannar. Dirinya lalu menanyakan apa yang ia bicarakan dengan Hakan, dan Amartya berkata, mereka hanya membicarakan tentang ibu di rumah.
Amartya mengajak Naema untuk kembali ke dalam, katanya tak ada lagi tamu yang akan datang hari ini. Di perjalanan mereka kembali namun, mereka bertemu dengan Pohon Kehidupan yang hendak pulang ke tubuh besarnya. Amartya tentunya menyempatkan bertanya mengenai para Iska Daratan. Mengingat apa yang terjadi kemarin.
"Kalpataru, Mengapa dirimu tidak mengambil nafsu para Iska layaknya yang kamu lakukan pada para Penempa Bumi?"
"Mengambil nafsu? Gak pernah tuh." Wajahnya tampak begitu polos, membuatku gatal ingin menamparnya.
"Hah!? Lalu?"
"Aku hanya hanya mengekangnya agar kalian tak membuatku lemah disaat yang salah."
"Tentu, tapi mengapa para Iska masih sedemikian mesumnya?"
"Ya itu dosa mereka, bahkan diantara para Ilmuan Langit mereka yang paling parah, begitu juga nona Yardian kecil yang sekarang memegang tahta."
"Hamsah?"
"Betul!"
"Oke… lalu?"
"Huft, dengar ya penguasa cilik, aku tuh cuma memberikan kekangan pada nafsu-nafsu kalian, gak sampai habis, agar kalian masih mampu jatuh cinta dan menilai kecantikan, sementara Iska... mereka memiliki tingkat yang terlalu tinggi, dan aku memberikan kekangan yang sama pada Genka, Ambawak dan juga mereka."
"Tak bisakah dirimu memberikan kekangan lebih pada orang-orang es?"
"Bisa."
"Bagus!" Amartya tampak lega.
"Tapi gak mau tuh." Pohon Kehidupan menyilakan kedua lengannya.
"Tunggu, apa!?" Dan kelegaan pemuda itu seketika kembali hilang begitu saja.
"Aku tak akan memakai energi hidupku untuk sesuatu yang tidak penting, mati itu sakit tahu!" Lihat si biadab ini, memanyunkan bibirnya layaknya anak kecil.
"Pohon ini…"
"Walau aku tak bisa bayangkan bagaimana tersiksanya mereka, termakan gairah tapi tak mampu bercinta… ah peduli amat."
"Woy!"
"Sampai jumpa, Amartya!" Pohon Kehidupan tiba-tiba menghilang begitu saja bersama dedaunan, tanpa sedikitpun ancang-ancang.
Jujur, aku masih tetap berharap generasi Iska setelah ini akan jauh lebih baik dari pendahulu mereka, walaupun semua itu hanya berakhir sebagai harapan. Haaaahhhh…..