Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 65 - Chapter 9: Change of Authority

Chapter 65 - Chapter 9: Change of Authority

"Kita bertiga sudah bersahabat bertahun-tahun lamanya, kamu yakin ingin melakukannya?"

"Ya, dengan begini kakak akan bisa melepasku dengan tenang."

"Yang Mulia tolong berhentilah, perang ini tak akan sedikitpun menggoyahkan perasaannya padamu."

"Aku mengerti kekhawatiranmu akan kedua bangsa, Polar. Namun izinkanlah keegoisanku merana untuk terakhir kalinya."

"Tapi!? Ah! Jika memang begini jadinya, kan kupastikan perpisahan kalian berjalan dengan mudah dan lancar."

"Terima kasih, kutahu aku dan bangsa ini bisa bergantung padamu."

***

Setahun telah berlalu semenjak Sang Penguasa dan Putri Salju dipersatukan. Kini mulailah masa-masa di mana orang-orang Langit ikut menambah permasalahan para Penempa Bumi, atau mungkin... menyelesaikannya untuk selamanya.

Hari ini adalah harinya, Profisa-Profisa lama akan tergantikan oleh yang baru, dan Ketua Dewan Langit untuk pertama kalinya, juga akan tergantikan oleh yang baru.

Falah telah meninggalkan dunia ini untuk bertemu Tuhannya di akhirat, dengan begini Hamsah akan mengambil tahtanya sebagai Ratu dan Ketua Dewan Angkasa.

Dari sinilah seluruh bagian yang kubenci dari era ini dimulai. Aku selalu bertanya sepanjang keabadianku, jika aku kembali ke masa-masa ini, bisakah takdir yang terukir pada mereka terelakkan?

Hamsah mulai membuat berbagai macam konspirasi dan mencuci pikiran pasukannya, terutama ilmuan-ilmuan muda bergelar Manshira ke atas.

Tidak seperti para ilmuan tua yang ingin menangkap atau menuntaskan Amartya demi keselamatan Angkasa, Hamsah menghasut para ilmuan muda dengan kekayaan alam yang ada di Daratan, dengan begitu penelitian mereka akan menjadi semakin liar. Mereka termakan iri karena Penempa Bumi memiliki teknologi dan barang yang lebih maju dalam sebagian kecil bidang yang ada. Ya, hanya sebagian kecil.

Kini menurut mereka, sebagai ras terpintar di Bumi, seharusnya Ilmuan Langit paling maju dalam segala hal yang berhubungan dengan riset dan teknologi.

Dan dengan naiknya Hamsah ke bangku tahta, mereka mulai merencanakan penyerangan terhadap Penempa Bumi, guna merampas segalanya dari mereka.

Sayangnya, semua rayuan yang ia ucapkan seakan mengandung sihir sakti di dalamnya. Layaknya karisma yang dimiliki keluarga utama suku Api, bangsawan Yardian yang memegang tahta Angkasa juga melepehkan keajaiban dari mulut mereka. Sekarang hanya menunggu waktu sampai kedua bangsa bertemu, saling menumpahkan darah, mengisi hari-hari dengan mimpi buruk yang menyakitkan, atau mungkin, menyirnakan setiap angan mereka.

*

Sementara itu, Fannar mendapat surat pernyataan dari dewan Langit yang berisikan keterangan bahwa para Iska di Daratan kini sudah resmi terpisah dari kalangan Ilmuan Langit. Dengan begini Profisa dari suku Es di Daratan dan di Angkasa akan dipimpin oleh Profisa yang berbeda.

Dan pada hari ini juga, Fannar harus menyerahterimakan kepemimpinannya sebagai bukti pengabdian terakhirnya pada Angkasa.

Tentu saja dengan peraturan yang berlaku di Daratan, mereka yang berhak memimpin suatu suku hanyalah mereka yang datang dari keluarga utama, atau keluarga paling berpengaruh selanjutnya bila keluarga utama sirna. Sebagai putri tunggal Fannar, Naema pun terpilih menjadi Profisa Iska di Daratan.

Upacara pun digelar atas serah terima kepemimpinan Iska Daratan pada Naema. Serah terima gelar Profisa tak hanya sekedar formalitas, mereka yang kehilangan gelar Profisa akan kembali menjadi magistra yang jauh lebih lemah, dan sebaliknya mereka yang mendapat gelar Profisa akan merasakan kekuatan yang luar biasa besarnya mengalir pada tubuh mereka.

Serah terima Kepala Suku di Daratan harus diwakilkan dengan penyerahan senjata pusaka oleh pemegang kuasa pada penerusnya, dan untuk kasus Naema, benda itu tak lain ialah sebuah tongkat sihir yang bergelimang ratna.

*!!!*

Naema pun menerima tongkat Iska, dan Langit pun kian sian warnanya ketika gadis (wanita) itu akhirnya menembus dinding Profisa. Alam ini bereaksi akan keagungan sihirnya. Rasa hangat kasihnya, dan hawa dingin kekuatannya, kini menyelimuti Tarauntalo, melindungi mereka dari kekhawatiran akan bahaya yang datang dari atas.

Kini para Iska Daratan hendak memasuki era baru kepemimpinan, karena yang memimpin mereka bukan hanya Naema seorang, melainkan bersama suami tercintanya. Namun sebagaimana yang telah dikatakan Hakan pada Amartya sebelumnya, seseorang baru resmi memimpin suatu suku, ketika Pohon Kehidupan menyelesaikan masa reinkarnasinya.

Semenjak hari itu para Iska di daratan sepakat untuk mimilih Profisa mengikuti sebagaimana Penempa Bumi memilih Kepala Suku mereka, yaitu garis keturunan keluarga utama pada hari dimana Pohon Kehidupan sempurna mengembalikan keutuhan alam, ketika masa reinkarnasi beliau telah selesai (berlaku setelah Naema).

Kini setelah setiap Profisa telah tergantikan, saatnya Daratan untuk bersiap-siap menyambut perang mereka. Amartya menyerukan panggilan pada pasukan-pasukan terbaik dari tiap-tiap suku. Mereka adalah orang-orang yang layak, untuk mendapat kehormatan melindungi desa utama di Mitralhassa, Sfyra.

Amartya juga memperingatkan setiap warga desa di Daratan untuk bersiap menghadapi serangan pada desa mereka, serta memberi mereka suar api untuk menginfokan Amartya mengenai kedatangan Ilmuan Langit di sana. Hal ini menjadikan mereka yang berada di Sfyra tak lain hanyalah pasukan elite dari tiap suku.

Di sisi lain, walaupun sudah pernah dibahas, Naema masih penasaran tentang apa yang membuat Amartya berpikiran kalau Ilmuan Langit akan menyerang Sfyra. Mungkin juga, pemikiran Amartya berubah setelah wawasannya terbuka lebih luas di masa dewasanya.

"Kakanda, jujur aku masih belum begitu paham, mengapa kakanda begitu yakin kalau Ilmuan Langit akan menyerang Sfyra?" Dalam keraguan gadis itu bertanya, mata siannya berkialaukan kaca, seakan terliputi kekhawatiran dan rasa penasaran.

Amartya dan Naema saat itu tengah duduk menikmati sarapan mereka, di salah satu restoran Iska Angkasa yang membuka cabangnya di Sfyra. Bangku luar yang mereka duduki memiliki pandangan langsung ke gerbang utama benteng baja itu.

"Karena banyak hal tentunya, kita sudah membahas mengapa mereka tidak mungkin menyerang Ratmuju dan Garabandari, untuk Maksallatan dan Tarauntalo terdapat beberapa alasan." Amartya tersenyum, seakan keraguan Naema membuatnya tenang.

"Contohnya?"

"Maksallatan adalah Profinsi yang panas jika dibandingkan dengan di atas awan yang bisa mencapai 243 Kelvin, selain itu tempat ini merupakan tempat tinggal Genka yang sudah hafal mengenai daerahnya, mereka akan kesulitan jika tiba-tiba datang serangan yang tidak tahu dari mana asalnya. Yang terakhir, karena ada ayah yang bernaung di sana. Sayangnya Magistra Indra yang memimpin penyerangan sebelumya terlalu buta untuk menyadari hal ini."

"Apa hubungannya ayah dengan keinginan mereka untuk menyerang?"

"Ayah adalah pemimpin/panglima perang yang terkenal paling mahir di perang generasi ke dua, melawannya akan merepotkan Ilmuan Langit yang tidak punya banyak pengalaman berperang."

"Memangnya mereka tidak berfikir kalau ayah akan ke Sfyra?" Tanya bingung gadis (wanita) itu.

"Seorang kepala suku tidak boleh mencampuri perang suku lain."

"Lalu bagaimana denganku? Aku juga Kepala Suku sekarang."

*Hha Hha*

Amartya tertawa kecil mendengar polosnya ucapan Naema.

"Tidak, kamu ataupun aku belum menjadi Kepala Suku. Kamu baru akan diakui Penempa Bumi setelah Pohon Kehidupan selesai bereinkarnasi."

"Baiklah..." Ada sedikit nada kesal dari ucapan si gadis.

"Lalu bagaimana dengan Tarauntalo?"

"Papa… (Sebenarnya aku yakin Hamsah tidak peduli akan Tarauntalo)" Amartya mengeluarkan nada sarkastik, seakan itu hal bodoh untuk ditanyakan.

"Oke… aku rasa itu alasan yang cukup, lalu mengapa Sfyra? Bagaimana dengan desa lain?" Naema melirikkan matanya pada benteng besar ini, tak bisa membayangkan seseorang mampu menjebolnya.

"Tentu saja mereka tidak akan menyerang Sfyra terlebih dahulu, mereka butuh tempat untuk memasang pos mereka."

"Dan kakanda akan membiarkan mereka melakukan itu?" Naema terdengar cukup kaget ketika mengucapkannya.

"Mengapa tidak? Mereka tetap harus mengambil tempat ini untuk mengambil alih Mitralhassa, dan hanya Sfyra yang memiliki tembok besar sebagai pertahanan cadangan."

"Bukankah lebih baik jika kita menyerang mereka di saat mereka sedang transisi menuju Daratan?"

"Tentu saja kita akan melakukan itu…" Pemuda itu menyeringai.

"Tetapi tidak dengan pasukan penuh, itu akan membuang tenaga dan kehormatan."

"Baiklah jika begitu, aku ikut kakanda saja deh, kakanda kan yang ahli perang." Naema tertunduk dan menghela dalam nafasnya.

"Kalau begitu sebaiknya kita pergi ke gerbang Sfyra dan menunggu pasukan yang akan datang."

Pada gerbang Sfyra sudah menunggu dua orang Dubalang Ambawak dengan seragam coklat rapih tanpa perlengkapan perang mereka. Dubalang ini mendatangi Amartya lalu berlutut dan membungkukkan badan mereka demi memberikan beberapa carik kertas pada Amartya yang hanya setengah tinggi mereka.

Kumpulan kertas itu memiliki banyak info tentang kemiliteran dan kesatriaan para Dubalang yang akan bertempur bersamanya nanti.

"Hmmm, tiga senjata jarak dekat, satu jauh dan beberapa meriam…" Amartya membaca kumpulan kalimat yang tersuguh di tangannya.

"Bisakah saya meminta kalian membentuk empat regu? Dua dengan parisai (perisai), satu dengan kapak, dan satu dengan panukok (palu)." Amartya menolehkan matanya pada kedua Dubalang yang kini setara (tinggi) dengannya.

"Tentu saja, Tuan. Tipe zirah apa yang tuan inginkan untuk masing-masing regu?" Tanya raksasa tanah itu.

"Tipe zirah?"

"Ya, kami punya tiga jenis zirah, berat, sedang dan ringan, Tuan pasti mengerti kelebihan dan kekurangan dari ketiganya, kan?" Dubalang itu menunjuk pada bagian di kertas yang dipegang Amartya dengan telunjuk besarnya.

"Oh ya, sepertinya saya terlewat membacanya, yang jelas kita tak mungkin menggunakan zirah ringan karena lawan kita Ilmuan Langit."

"Mengapa begitu, kakanda?" Sela Naema yang bingung dengan pernyataan itu.

"Kita melawan ribuan penyihir yang memiliki area serangan sangat luas dan kerusakan yang tinggi, menggunakan zirah ringan akan membuang-buang pasukan kita." Jelas Amartya.

"Terdengar baik, jadi tipe zirah apa yang Tuan inginkan untuk masing-masing regu?" Raksasa terhormat itu kembali bertanya.

"Oh benar, saya ingin pasukan parisai menjadi pusat pertahanan kita jadi saya akan berikan mereka zirah berat, sementara sisanya dengan zirah sedang untuk menambah sedikit mobilitas mereka dalam menyerang." Lanjut Amartya.

"Dimengerti, apakah ada perlengkapan khusus yang ingin anda tambahkan tuan?"

"Sejujurnya, iya, jaring saku yang tertera di info yang anda berikan cukup menarik, saya ingin regu panukok membawanya."

"Tentu saja, Tuan. Apakah ada lagi yang Tuan ingin tambahkan?"

"Tidak, itu saja." Amartya membalikan kumpulan kertas itu kepada kedua Dubalang.

"Baiklah, jika ada lagi yang Anda perlukan katakan saja, Tuan Amartya. Ambawak dengan senang hati akan melayaninya."

"Terima kasih atas kebaikan kalian, Dubalang." Amartya tersenyum hormat pada keduanya.

Jaring saku adalah sebuah teknologi berburu Ambawak yang memiliki sedikit elemen kejutan. Suku Tanah memiliki kemampuan yang membuat mereka mampu merubah massa jenis, kepadatan, dan bentuk suatu benda. Mereka akan memperkecil jaring-jaring logam menjadi sebesar anggur, lalu menggunakan ratna untuk merekam bentuk asal jaring tersebut. Ratna ini nantinya akan mengembalikan jaring-jaring ke bentuk semula saat digunakan/ dilempar. Konsepnya hampir sama dengan cincin yang dikenakan Amartya.

Dua Dubalang tadi pun undur diri dan kembali ke Barak mereka. Sementara itu Naema dan Amartya tetap menunggu kedatangan para pasukan yang telah ia minta untuk datang mempertahankan Sfyra, di bawah gerbang baja raksasa yang berukirkan berlian.

Setelah sekian menit dari kejauhan pun nampak seorang wanita tinggi dengan rambut berwarnakan susu dan mata merah muda benderang layaknya bunga yang mekar, sementara kulit putihnya dibungkus kain batik sifon yang tertata rapih.

Ia tak lain adalah Ester yang berjalan bersama dua orang anak dengan rambut hijau terang dan mata merah muda, satu laki-laki, dan satunya perempuan. Keduanya membawa busur silang dan sebilah belati di atas saku mereka.

Mereka berpegangan erat pada Ester, seakan kian malu dan gerogi bertemu dengan orang baru. Umur mereka harusnya kurang lebih 6 sampai 7 tahun, namun seperti sebagaimana yang diminta Amartya, tubuh mereka sebesar anak berumur 14 tahun. Bedanya mereka dengan Amartya pada umur yang sama, orang-orang yang berinteraksi dengan mereka kebanyakan adalah Sarma yang memiliki sikap sangat ramah dan keibuan. Pertemuan anak-anak itu dengan orang-orang dari satuan militer akan sedikit canggung dan seram untuk mereka.