"Hai Amartya, Lama tak berjumpa." Sapa si wanita Sarma (suku alam) dengan nafas berwangikan bunga kamboja.
"Yo Ester, beruntunglah dirimu sudah tak lagi berbicara dengan logat yang sulit dipahami."
Wanita alam itu tertawa geli mendengarnya.
"Aku yakin kedua bocah ini adalah permintaanku 7 tahun lalu." Amartya memandang keduanya dengan senyuman hangat, menyambut mereka ke barisannya.
"Ya, kami sudah melatih mereka banyak mengenai panah memanah dan juga ilmu militer yang diberikan Hakan pada kami, namun… seperti yang kamu lihat, mereka agak pemalu bertemu orang baru." Ia perlahan mengelus kepala anak yang saat ini bersembunyi di belakang dirinya.
"Hmmm, kurasa aku bisa mengerti mengapa, tapi kenapa mata mereka merah muda, bukankah seorang Vhisawi memiliki mata berwarna biru gelap?"
"Oh itu karena kami belum membuka segel elemen mereka secara sempurna, kami ingin melakukannya di depanmu, jadi sekarang mereka masih terlihat seperti ini."
"Ah begitukah? Menarik, kapan kira-kira kalian akan melakukannya?" Tanya si Ardiansyah. Dia berusaha untuk tak lagi menaruh matanya pada kedua Vhisawi kecil, demi membuat mereka merasa lebih nyaman.
"Mungkin sebaiknya kita menunggu para Vhisawi, agar kita tahu apa yang harus dilakukan dengan toksin yang akan segera memancar dari tubuh mereka."
"Cukup bijak... Naema, ada yang ingin kamu katakan?" Amartya menoleh pada gadis (wanita) di sampingnya yang tubuhnya tak bisa diam semenjak kedatangan Ester, seakan dipenuhi pertanyaan dan rasa gelisah.
"Oh, ah, iya, itu, k… kak Ester!" Dia hampir membentak.
"Hmm?" Ester tersenyum melihat betapa kakunya si Permaisuri.
"Apakah dirimu ikut menjadi ibu dari anak-anak ini?" Suara yang ia keluarkan seakan tidak beraturan.
"Tentunya, kedua anak ini adalah dua dari empat putra dan putriku." Bahkan makhluk sebodoh Ester tahu apa yang ingin gadis (wanita) salju itu katakan.
"Ka-kalau begitu bolehkah aku bertanya, ba-bagiamanakah rasanya mempunyai bayi di—"
"At-ta-ta-ta-ta! Kurasa cukup sampai di sana, kamu bisa tanyakan hal itu nanti setelah kita bicara soal perang." Amartya segera menyela pertanyaan bodoh perempuan penuh dosa itu.
"Oh ngomong-ngomong, kakanda. Tadi kalian berbicara mengenai Vhisawi, apakah mereka akan membantu kita perang juga?" Meski agak kecewa, Naema dengan mulusnya mengembalikan topik pembicaraan.
"Tentu saja…" 'Gadis mesum ini…' dalam pikiran Amartya.
"Di dunia ini tidak ada yang membenci Ilmuan Langit melebihi Vhisawi, mereka tentunya dengan senang hati akan membantu kita melawan para burung Angkasa."
"Mereka benci Ilmuan Langit? Mengapa?" Tanya Naema.
"Alkimia tentunya."
"Bukankah itu berarti mereka juga membenciku?" Gadis itu sedikit merinding, mengingat dirinya pernah mendatangi provinsi mereka secara langsung.
"Tentu saja tidak, setidaksopan, kasar dan toksiknya Vhisawi, mereka adalah suku yang paling sayang dan mengabdi kepada Penempa Bumi (meskipun mereka tidak terlalu menghormati Pohon Kehidupan), dan sekarang Iska di daratan merupakan keluarga Penempa Bumi juga."
Melihat Amartya dan Naema mulai sibuk dengan perbincangan mereka sendiri, Ester pun berniat melanjutkan perjalanannya.
"Baiklah Amartya, aku akan bertemu sang Raja Alam, kabari aku ya jika para Vhishawi datang." Ester melambaikan tangannya seraya berjalan pergi.
"Ah oke, sampai jumpa Ester!" Amartya dan Naema turut melambaikan tangan.
Keduanya pun berlanjut menunggu kedatangan pasukan mereka. Naema dengan kelemahan fisiknya, perlahan mulai tak nyaman tetap berdiri, ia pun membuat dua kursi es untuk diduduki mereka. Ia juga mengambil makanan dari dimensinya untuk dicemil.
Walaupun aku bilang mengemil, bagi Amartya... hal ini bisa dibilang agak sedikit berbeda. Penempa Bumi merupakan bangsa yang membutuhkan energi dalam jumlah besar untuk tetap hidup, terutama para Genka dengan pembakaran di tubuh mereka yang teramat besar. Jika kita ibaratkan porsi Ilmuan Langit adalah porsi normal kalian para penghuni Buana yang Telah Sirna (kecuali Iska di daratan ketika berkelana), Penempa Bumi makan tiga sampai lima kali lipat mereka. Akan kutinggalkan ke imajinasi kalian tentang apa yang dimakan Amartya sekarang.
Setelah cukup lama menunggu, datanglah seorang bangsawan Vhisawi dari keluarga Plutonia (bangsawan) dengan seorang gadis yang memiliki tubuh menyerupai reptil. Kulitnya bersisik, ekor raksasa tumbuh di belakangnya, kukunya tajam dan kuat, serta pupil di matanya berbentukkan berlian. Tetapi ada satu hal yang mengganggu Amartya dari kedatangan gadis itu.
"Tu-tunggu, dah! Apa Vhisawi mulai kehilangan akal sehatnya!?" Ekspresi kaget terukir pekat di wajah pemuda itu.
"Ade masalah ape, tong?" Si bangsawan Vhisawi terlihat begitu bingung dengan tanggapan Amartya.
"Apa-apaan pakaian wanita kadal ini, aku bahkan tak yakin apakah ini mampu disebut pakaian, mengapa hanya dada dan pinggulnya yang tertutup rapih? Kalian ingin membunuh semua orang dengan racun kalian!?" Nafas Amartya seakan berapi-api. Tidak, tunggu… nafas dia memang berapi-api pada saat itu.
"Buset dah tak kira apaan." Nada yang keluar dari mulut bangsawan itu seakan menyepelekan letupan Ardiansyah kita.
"Sante aje kali tong, kite-kite nih dah nemuin jamu supaye racun dan toksik-toksik kaga pade keluar, ape lagi die, bisa ngatur racun sendiri si eneng ini." Dia menghela berat nafasnya.
"Permanen?"
"Ye kagak lah tong…" Tentu saja seseorang dari keluarga Plutonia tidak menganggap Penempa Bumi lain sebagai kaum intelektual.
"Ngemeng-ngemeng nih, kite mau adein imunisasi sebelum situ-situ nerjang perang, biar kagak senjate makan tuan."
"Imunisasi? Ohh, aku mengerti."
Imunisasi yang dimaksud ialah, penumbuhan kekebalan akan zat-zat toksik yang senantiasa memancar dari tubuh para Vhisawi. Meskipun mereka sudah menekannya dengan jejamuan, mereka tetap mengambil prosedur yang lebih ketat demi menaikkan tingkat keselamatan. Imunisasi ini tentunya tak berlaku terhadap serangan toksik mereka.
"Kabarin aje ya tong kalo dah pade kumpul."
"Tunggu, bang Grimm! Jelasin dulu komposisi pasukan Vhisawi, ada yang mau aku bicarain juga, pakai bahasa Penempa Bumi ya, kumohon." Bahkan seseorang seperti Amartya kadang bingung menyikapi makhluk-makhluk toksik itu.
"Hadeh, tong. Gini ya, pertama ini dulu deh samping saya." Ia menunjuk pada si gadis kadal.
"Kami sebut mereka Dara Komodo, pasukan ini isinya gadis-gadis terpilih yang dari sebelum lahir sudah dicampur genetiknya dengan komodo, tau komodo kan?" Grimm terlihat begitu malas ketika menjelaskannya.
"Naga besar yang tidak bersayap itu kan, bang?"
"Nah iya."
"Terus kenapa pakaian mereka cuman di daerah yang nutupin dada dan selangkangan aja bang?"
"Aih tong, ini aja dah sukur-sukur dia mau pake baju, kalo di rumah mah beh, boro-boro." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tapi sisik mereka ini sekuat baja, atau bahkan lebih, jadi ya rasanya cukup buat ngelindungin diri." Grimm memandang pada gadis itu seakan ia hewan buas yang sulit dijinakkan.
"Kalau dipikir-pikir kenapa pasukan ini isinya gadis-gadis semua bang? Walau dilihat dari iklim kalian, aku yakin tak satupun dari mereka yang masih gadis."
"Ya situ tau sendiri kan Ilmuan Langit itu mesumnya kayak apa, palingan ngeliat mereka langsung meleleh kagak karuan, terus konsentrasi buyar, mati deh."
"Tapi kan perempuan Langit lebih mesum lagi bang…" Amartya melirik ke arah Naema ketika mengucapkannya.
"..."
"..."
"..."
"Puja sayap Bidadari! Oiya ya!"