Esok hari pun tiba, Naema membuka matanya setelah semalaman menikmati kelembutan kasur barunya. Namun begitu ia menolehkan kepalanya ke kiri, pandangannya lekas disambut oleh sesuatu yang bertengger di luar jendela, menatap tajam ke arahnya.
"Tuan Manguni?" Gadis itu bertanya di keadaannya yang masih setengah bangun.
Seekor burung besar berbulu hitam dengan mata merah membara berdiri di samping pondok tempatnya tertidur. Kehadiran sang Manguni mengingatkan Naema akan janjinya, lantas ia pun segera membuka dimensi pribadinya dan mengambil sebongkah kristal air.
Naema membuat dinding es mengitari dirinya lalu memasang tangkai di atas kepalanya. Ia memasang kristal air tersebut pada tangkai itu, kemudian memutarnya searah jarum jam. Air pun keluar dan Naema mandi darinya.
"Oiya, kamar mandi di sini masih belum ada isinya, ada baiknya aku meminta para Genka untuk merenovasinya…"
Setelah selesai, ia membekukan air yang menempel pada dirinya dan menyingkirkan es-es tersebut dari tubuhnya. Naema kemudian mengenakan pakaiannya, yang tentunya telah ia buat khusus untuk hari ini. Sebuah gaun pendek nan cantik menutupi dada dan pahanya, sementara helaian sian dan merah itu membiarkan tangan, kaki, beserta punggung Naema bebas merasakan hembusan angin.
Ester sendiri yang mendesainnya khusus untuk sang Putri. Di samping keelokan yang ditampilkan, seorang gadis Iska (suku Es) perlu berpakaian setipis dan seterbuka mungkin di Maksallatan guna menjaga suhu tubuh mereka tetap rendah.
Naema lalu duduk di depan sebuah cermin yang Ibunda Zoastria taruh pada dimensinya. Ia mulai merias wajahnya dengan racikan yang ia pelajari dari Ibunda dan seorang Lishmi (musisi Cahaya) yang sewaktu itu berkunjung ke Umanacca.
Kini ia menyempurnakan penampilannya dengan wewangian yang ia buat berdasarkan bunga lili salju. Belum lama ia berdandan ria, terdengarlah suara orang mengetuk pintu. Maka ia pun beranjak mendatangi panggilan tersebut dan membukakan pintu untuknya.
Alangkah terkejutnya ia menemukan seorang Santi Waraney yang jauh lebih tinggi darinya, berdiri tegap, berpakaian rapih, dengan mata jingganya menunduk tertuju padanya.
"Selamat pagi, Tuan Putri." Waraney itu menyapanya dengan tegas, bisa terasa sikap disiplin keluar dari nada bicaranya.
"Se-selamat pagi pak…" Gadis itu menciut, seakan terintimidasi oleh suaranya.
"Jadi, maksud saya kemari untuk menjemput Tuan Putri Naema Himesh berangkat menuju kota Afaarit."
"Eh!? Menjemput? Di mana Amartya?" Naema beranjak bingung (dan sedikit takut).
"Tuan Amartya saat ini sedang ada urusan penting di desa, jadi beliau meminta saya untuk menjemput Tuan Putri ke sana." Jelas si Waraney.
"Ah begitu… lalu, bagaimana dengan pondok ini? Seluruh barangku ada di dalam." Pintupun dibukanya lebih lebar, menunjukkan segala isi rumah pada pria itu.
"Tenanglah Tuan Putri, pondok ini memiliki sepasang penjaga yang takkan tumbang saat melawan siapapun."
Waraney itu menunjuk pada kedua tugu api di depan pondok. Api darinya pun melompat dan berubah menjadi dua ekor singa api yang teramat besar. Keduanya tampak tua dan kuat, rambut mereka berkobar-kobar dengan api merah yang menyengat, layaknya api yang dimiliki Amartya.
"Para singa api selalu menjaga keluarga utama dan apa yang mereka cintai." Pria itu tersenyum seraya merapihkan seragam Santi Waraneynya.
"Jadi, Tuan Putri. Kapan kita bisa berangkat?"
Naema terdiam sejenak, lalu masuk kembali ke dalam pondok untuk mengecek apakah ada sesuatu yang perlu ia bawa. Setelah selesai, ia kembali menemui si Waraney dan siap untuk turut pergi.
Setelahnya, mereka pun berjalan menuju sebuah kereta kuda yang bersandar di sebelah pondok tersebut.
"Kereta kuda?" Naema menggerakkan kepalanya ke sana-kemari penuh rasa penasaran.
"Tentu saja, kami selalu memberikan pelayanan terbaik untuk tamu kami, dan kuda merah ini Tuan Amartya sendiri yang merawat dan membesarkannya." Waraney itu beranjak membukakan pintu kereta.
Kereta itu terbuat dari paduan osmium, Genka selalu memakai bahan-bahan yang paling tahan terhadap api pada transportasi mereka. Di luarnya terdapat ukiran kepala singa yang berlapis emas mulia, dan di dalamnya diisi kursi katun nan empuk, dirancang khusus oleh gadis-gadis Sarma (suku Alam) untuk memberikan kenyamanan pada tamu-tamu kehormatan Genka. Kemewahan bisa dengan mudahnya terasa.
*Wh-tsh!* Bunyi tali kemudi.
Mereka lekas berkendara menuju kota Afaarit di Maksallatan. Laju kereta yang ditunggangi begitu halus, seakan merayu Naema menikmati perjalanannya dengan pemandangan indah dari dedaunan kemerahan yang terpapar di negri api ini.
*
Setelah sejam lebih mereka akhirnya sampai di kota Afaarit. Waraney tadi pun memarkir keretanya di samping gerbang masuk kota. Ia lalu membukakan pintu penumpang, dan membimbing Naema turun dari kereta kudanya. Kini gadis itu hendak memasuki gerbang kota Afaarit yang begitu besar lagi megah.
"Ahh... betapa rindunya diriku akan panasnya tempat ini..."
Terlihatlah di dalamnya kota besar berlapis 3 dinding logam raksasa, penuh warna merah dengan ukiran mentari beserta dua burung api (Manguni dan Phoenix) di tiap sisi temboknya.
Naema berada di sisi timur terluar kota Afaarit, yang di mana di hadapannya terpampang pabrik-pabrik industri di sisi kiri dan rumah-rumah hitam berlukiskan merah di sisi kanan.
Di tanahnya rerumputan merah yang terbasahi embun pagi bergoyang bersama kupu-kupu api yang berterbangan dari bunga ke bunga, dan di langitnya balon-balon udara bertenaga uap bergerak dalam barisan hendak pergi menuju sawah di luar tembok. Pada mereka tertempel kristal air yang nantinya akan membasahi tiap tanaman dan mengisi kotak air para hewan ternak di perternakan.
Sepanjang jalannya, kota itu dipenuhi lilin-liin yang mengambang di atas kolam-kolam kecil para penduduk. Sementara di langit ribuan lentera api berterbangan, bagai serpihan metari yang menjaga Afaarit tetap terang dan panas.
"Hmm? Sedang ada event atau semacamnya kah?"
Suasana kota yang ramai seketika menarik perhatian Putri kita. Para penduduk nampak bergerak ke arah satu jurusan, dan di antara rambut-rambut merah itu, terdapat pula beberapa rambut putih sian berkeliaran.
*!!!*
Kejutan pun datang, Naema mendapatkan sebuah sambutan tak terduga ketika ia hendak memasuki dinding kedua kota Afaarit, tempat para prajurit Api tinggal.
"Naema! Selamat datang di desa Afaarit, nak." Sambut seorang pria dengan tampang wajah yang amat mirip dengan Naema.
"Papa!? Mama juga? Kok ada di sini…?" Ia terlihat sangat bingung, hingga lupa caranya tuk berkedip.
"Lah!? Memangnya kamu tidak tahu?" Wajah Fannar sama terkejutnya dengan Naema.
"Kenapa banyak sekali Iska (suku Es) di sini?" Naema merasa dirinya baru saja ketinggalan sesuatu yang besar.
"Tentu saja mereka di sini, kamu kan akan menikah hari ini nak." Fannar berucap dengan santainya, wajahnya sama sekali tak tergoyah oleh kata-kata yang baru keluar dari mulutnya.
"Hah!? Menikah!?" Gadis itu melengking begitu keras, hingga menarik perhatian tiap Iska dan Genka di sekitar mereka. Dengan cepat ia pun segera menutup mulut dengan kedua tangannya.
"Amartya bahkan belum pernah datang melamarku!"
"Dia sudah melamarmu nak."
"Kapan!?"
"Sebulan lalu, dia datang bersama pak Hakan ke rumah dan melamarmu, waktu itu kamu sedang di Umanacca jadi kamu tidak ikut menjamunya."
"Bagaimana bisa lamaran sah tanpa kehadiran orang yang dilamar?" Nada bicaranya semakin tinggi.
"Bukannya lamaran hanya butuh restu orangtua?"
Gadis itu hanya mampu terdiam melongo mendengar ucapan dari ayahnya.
"Haha… haha… haa…" Bersama hiasan tawa canggungnya, Fannar perlahan melangkah mundur meninggalkan mereka.
"Sudahlah, nak. Bukannya kamu memang menunggu hari ini seumur hidupmu?" Eira memeluk dan mengelus wajah putrinya yang begitu tegang.
"Tapi kan, sekiranya beri tahu aku... kan aku jadi bisa persiapan terlebih dahulu."
"Kamu kan sudah persiapan selama 13 tahun, kurang apa lagi?"
"Tapi! Itu! Huft…" Nafasnya terhela dengan berat.
"Mama benar, aku terlalu membesar-besarkannya, aku sudah siap untuk menajalankan apa yang ditakdirkan kepadaku."
"Itu baru anak mama, sekarang, kamu ikuti ya gadis-gadis bertudung merah di sana, mereka akan membantumu mempersiapkan dirimu sesuai adat suku Api." Eira menunjuk pada orang-orang yang berada di sebrang gerbang.
"Baiklah ma, terima kasih ya sudah ada di sini untukku."
"Sama-sama, sayang. Sekarang ayo, takdirmu menunggu."
Gemetar kian hebat, Naema kemudian melangkah mendatangi sekumpulan gadis Genka bertudung merah yang berdiri menunggunya dengan kedua tangan mereka tersembunyi dibalik lengan baju.
"Selamat datang di desa Afaarit Tuan Putri, siap untuk menjalani upacara?" Tanya pemimpin gadis-gadis tersebut dengan suaranya yang begitu hangat.
Naema kembali menghela nafas sedalam yang ia bisa, lalu lanjut merapihkan setiap sisi pakaiannya yang sama sekali tidak kusut ataupun berantakan, ia tidak bisa berhenti bergerak karena gugup.
"Ya… a-aku siap." Jawabnya terbata-bata.
"Kalau begitu silahkan lewat sini, Tuan Putri." Pemimpin mereka kemudian menolehkan tangannya ke arah sebuah bangunan.