Kedua keluarga kini melangkahkan kaki menuju istana. Mereka dipandu oleh beberapa Santi Waraney yang saat ini tengah menjalankan tugas mereka sebagai Kabasaran. Para penari adat ini berpakaian serba merah dengan paruh burung di atas kepala mereka, namun kali ini yang mereka bawa tak hanya santi (pedang), melainkan juga wengkow (tombak).
Di belakang mereka Naema dan Amartya berjalan berdua, berdampingan, sebagai calon mempelai. Perasaan grogi yang mereka rasakan membuat suasana menjadi canggung, hingga keduanya tak mampu memandang satu sama lain.
"Hari ini… uhh… kamu tidak memakai syalmu?" Sebenarnya cukup lucu melihat Amartya yang terlahir tanpa mampu menyayangi sesuatu, begitu gugup dihadapan perempuan yang telah berhasil mengobati kutukannya.
"Inginnya… tapi para Inolatendo bilang aku tidak boleh mengenakannya di upacara." Naema yang akhirnya bisa menunjukkan lehernya pada Amartya untuk pertama kalinya, bisa merasakan dadanya begitu panas, dan jantungnya terus berlomba-lomba.
"Itukah mengapa mukamu luar biasa merah?"
Naema mematung sejenak, ia tak sanggup menahan betapa malunya dirinya. Tapi kemudian dirinya mengangguk perlahan sembari membuang wajah itu.
"Sebenarnya ada alasan yang lebih besar lagi…" Dirinya berbisik dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Maaf, kamu bilang apa?"
"T-ti-tidak, bukan apa-apa." Badannya terus gemetar tidak karuan.
Setelah sekian lama berjalan, sampailah mereka di depan Istana Afaarit, sebuah bangunan megah di hadapan taman bunga yang berpancarona.
Tempat itu begitu besar dengan bebatuan kokoh berbaris rapih membuat deretan panggung di hadapan pintu Istana. Di depannya berbaris anak-anak tangga yang belasan jumlahnya, menjadikan tempat itu bangunan yang cukup tinggi sebagai panggung untuk mereka berdiri menjalankan upacara suci.
Sementara di sisi-sisi panggung dan Istana berkibar bendera merah mengagungkan nama Api. Tapi kali ini mereka ditemani panji-panji es yang bergelora dibawa angin bersama mereka.
Di atas panggung itu sudah berdiri beberapa Inolatendo yang siap untuk menjalankan upacara. Amartya dan Naema bersama masing-masing orangtua mereka pun naik ke atas panggung, yang di mana telah dibangun pelaminan di atasnya.
Para Kabasaran pun berkumpul di depan panggung, dari tangga hingga lantai menarikan tarian mereka sebagai simbol penghormatan atas menikahnya orang dari keluarga utama. Setelah mereka selesai, beberapa penari lain pun mempersembahkan penampilan mereka.
-
Bolehkah aku lewatkan bagian ini? Jujur aku tak terlalu peduli dengan pernikahan adat mereka. Apa? Tidak boleh? Ah baiklah kalau begitu. Jangan salahin aku ya kalau kalian bosan.
-
Pernikahan pun dimulai dengan beberapa sambutan dan doa dari kepala suku, Hakan. Hakan lalu membimbing keduanya untuk mengucapkan lima janji/ sumpah kesetiaan.
"1. Patuh dan melaksanakan perintah Tuhan yang maha kuasa
2. Berbuat baik, hormat menghormati, tolong menolong, saling menopang, saling merindukan, saling menyayangi
3. Menghormati para leluhur
4. Menghormati ibu dan ayah
5. Menghormati atasan, pemimpin dan teman-teman."
Ada satu hal yang sebenarnya aku bingung dari sumpah ini, Amartya berdiri pada kasta tertinggi, mengapa dia perlu menghormati atasan? Ah entahlah, mungkin hanya norma adat.
Kemudian Hakan memegang sebuah tombak api suci, kian membara dan menyerah terimakannya kepada Amartya.
"Wengkow?" Amartya bingung melihat tombak kedua di hari itu, dan tak satupun santi.
"Kakekmu yang membuat ini, mau kamu pakai atau tidak itu terserahmu, ini hanya untuk simbolis saja, santi kepala suku akan ayah beri padamu nanti." Jelas Hakan.
Amartya pun mengangguk lalu menerima tombak itu, upacara akhirnya bisa memasuki acara utama. Bagian ini berhubungan dengan ketuhanan dan tak ada sangkut pautnya dengan adat istiadat, perjanjian suci antara Amartya dan Naema. Untuk itu, DiVarri pun dipanggil untuk naik ke atas panggung sebagai pemimpin dan wali dari para penghuni Surga.
*Tap* *Tap* *Tap*
DiVarri pun dengan resahnya segera naik ke atas panggung.
"Tahukah kalian, diriku sebenarnya agak sedikit bingung menjalankan bagian ini, karena perjanjian di dunia ini adalah gabungan dari ketiga agama langit, bukan hanya salah satu." Wajah DiVarri tampak berantakan membaca secarik kertas yang bersisi tulisan dari rekannya, Auspicius Tjoroem, tentang tata cara pernikahan dari hasil diskusi kepala keluarga Tjoroem (vokal) itu dengan Sang Pencipta.
"Aku senang kamu yang menjadi penghulu kami, DiVarri." Amartya tersenyum pada pria hitam itu bersama kehangatan suaranya.
DiVarri bergeming sejenak melihat ketulusan wajah bocah kecil yang kini telah dewasa itu.
"Begitu juga dengan diriku, nak." Ia menjadi tenang dengan wajah berseri.
Para musisi di Dunia ini tidak menua. Para remaja layaknya Verslinder dan Austra tetap terlihat seperti bocah meski umur mereka yang terus bertambah. Melihat Amartya yang kini telah tumbuh baik secara fisik dan mental memberi rasa istimewa tersendiri untuk sosok setua DiVarri.
*Tap* *Tap* *Tap*
Para Inolatendo dan keluarga keduanya kemudian turun dari panggung.
*Klak!*
DiVarri menjentikkan jarinya sehingga keluar sebuah nada dari tangannya. Nada itu berubah menjadi sebuah kotak kecil yang kemudian ia berdiri di atasnya.
*Kluk!*
Ia lalu kembali menjentikkan jarinya dan membakar kertas yang ia baca, hal ini menjadi isyarat bagi para musisi Ratmuju untuk memainkan sebuah lagu dari Buana Yang Telah Sirna, Wedding March.
*Ehm!*
"Amartya Vasurha, Apakah anda mengakui atas nama Tuhan bahwa Anda bersedia dan mau menerima Naema Himesh sebagai istri anda satu-satunya dan hidup bersamanya dalam pernikahan suci seumur hidup Anda?"
Amartya menoleh pada Naema yang saat itu tengah tertunduk dengan wajah yang kemerah-merahan. Gadis itu tersenyum gugup, tapi ia memancarkan kebahagiaan hatinya dari senyum itu.
Melihat pendampingnya membuat Amartya yakin akan pilihannya, dan ia pun mengiyakan ucapan DiVarri.
"Apakah Anda mengasihinya sama seperti Anda mengasihi diri sendiri, mengasuh dan merawatnya, menghormati dan memeliharanya dalam keadaan susah dan senang, dalam keadaan kelimpahan atau kekurangan, dalam keadaan sakit dan sehat dan setia kepadanya selama kalian berdua hidup?"
Semakin lama ia memandang ke arah Naema, semakin ia terhipnotis oleh kecantikan gadis itu. Sekali lagi, dengan yakin Amartya mengiyakannya.
"Apakah Anda bersedia menjaga kesucian perkawinan Anda sebagai suami yang setia dan takut akan Tuhan sepanjang umur hidup Anda?"
Ia bahkan tak bisa lagi mendengar apa yang diucapkan DiVarri, tapi ia tahu perkataannya tertuju padanya, dan ia mengiyakannya untuk terakhir kalinya.
Lalu DiVarri menanyakan hal yang hampir serupa kepada Naema, gadis itu terlalu gugup untuk mencerna jelas tiap-tiap kata DiVarri tapi ia tetap mengiyakannya secara spontan.
"Jabat tanganku, Amartya…" Merekapun berjabat tangan, walau seharusnya dari apa yang kubaca di Dunia kalian, bagian ini dilakukan di atas meja. Tapi kurasa hal itu terlalu merepotkan mengingat pernikahan adalah sesuatu yang sangat mewah di dunia ini.
"Ehm! Bersama terbenamnya Mentari, bersama menyatunya panas dan dingin, atas nama Tuhan yang maha esa!"
"Di bawah langit merah, saya nikahkan engkau Amartya putra Hakan dari keluarga Vasurha dengan Naema putri Fannar dari keluarga Himesh dengan mas kawin 400 karat emas putih… (argh, mengapa mereka tidak menghilangkan kata-kata ini ketika menggabungkannya) dibayar tunai!" Ijab Kabul pun diucapkan DiVarri, tapi ia jelas tampak tak senang dengan dua kata terakhir.
Aku jadi teringat, aku tak pernah bercerita tentang mata uang yang ada di Dunia ini kepada kalian. Ah terlalu merepotkan untuk dibahas, akan kuceritakan dipertemuan kita selanjutnya.
"Saya terima nikahnya Naema putri Fannar dari keluarga Himesh dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Seluruh saksi pun mengesahkan pernikahan mereka. Setelah itu keduanya mengenakan cincin yang terbuat dari logam mulia, dan menunjukkannya kepada mereka yang menghadiri hari suci itu.
Keduanya mengucapkan terima kasih kepada DiVarri, lalu sang Conductor pun turun dari panggung. Para Inolatendo selanjutnya naik menggantikannya.
*Tap* *Tap* *Tap*
"Selamat sore, Tuan Amartya, Tuan Putri (permaisuri seharusnya sih)." Nitara dan gadis-gadisnya membungkuk memberi penghormatan.
"Ah, selamat sore, Nitara." Jawab Amartya.
"Tawa'ang ini sebagai tanda batas," Nitara selaku pemimpin Inolatendo, kemudian memberikan Amartya setangkai pohon tawa'ang.
"Pegang kuat-kuat dan tancapkan di hati kalian, Tuanku, jangan biarkan siapapun mencabut tawa'ang ini."
Amartya lalu memegang tangkai tawa'ang itu bersama Naema, keduanya memegangnya sepenuh hati dan seerat yang mereka bisa. Aku sebenarnya takjub melihat tangkai pohon itu tidak patah oleh kekuatan fisik Amartya yang sebenarnya cukup luar biasa bahkan untuk seorang Penempa Bumi.
Kini saatnya mengikrarkan janji mereka, Nitara membantu dan membimbing mereka mengucapkannya. Lagi-lagi bahasa yang aku tak mengerti, jadi aku akan lewatkan saja yang satu ini.
Ah sial aku bosan, intinya setelah ini mereka membelah kayu bakar menjadi dua, suap-suapan nasi dan ikan, lalu meminum air memakai ruas bambu yang masih muda. Setelah itu Inolatendo undur diri dari panggung, Amartya dan Naema pun duduk di pelaminan.
Oh ngomong-ngomong aku datang ke pernikahan mereka, bagian ini adalah favoritku.
*Drrrap!*
Para Waraney hadir berbaris rapih di depan panggung.
Setelah keduanya duduk, Santi Waraney yang kali ini bertugas sebagai Kabasaran lekas menarikan sebuah tarian yang menarik, mereka menggunakan seni api dan mulai bergerak dengan wengkow dan santi mereka, menampilkan 9 seni pedang dan 9 seni tombak, berjalan berputar-putar, melompat-lompat, layaknya ayam jantan yang sedang bertarung satu sama lain.
Satu hal yang aku sadari pada saat itu, bertarung satu lawan satu dengan seorang Waraney, terutama Santi Waraney, akan membuat siapapun berjalan selangkah lebih dekat dengan akhir hidup mereka. Cepat dan kuat, dua hal itu seakan terlahir bersama mereka. Terkadang bahkan mataku tak mampu mengikuti pergerakan para prajurit itu.