Minggu, 6 September 2020
Aku keluar memakai handuk. Mataku melihat seluruh ruangan. Ayah sudah pergi dan kulihat lantai disekitar meja rias sudah bersih. Mungkin ayahku yang membersihkannya. Sekarang waktunya memakai baju. 'Pakai yang mana, ya? T-shirt dan celana pendek sajalah' kuambil atasan warna merah muda dan celana berbahan jeans. Sebelum memakainya, aku menuju pintu kamar. Untuk menguncinya terlebih dahulu.
Setelah semua ritual terselesaikan. Kini saatnya merebahkan tubuh diatas ranjang dan mencoba tidur. Ketika perasaan berhasil netral, maka tidak butuh waktu lama untuk terlelap, hanyut dibawa mimpi.
—————————————————————————————————
"Hahaha kau terjatuh."
"Beraninya kau menertawakanku! Sini kau, jangan kabur!"
"Tangkap saja jika kau bisa!" ucap bocah lelaki itu seraya menjulurkan lidahnya membuatku merasa kesal.
"Awas saja, jika kau tertangkap olehku. Maka aku tidak akan segan-segan membunuhmu!"
"Orang sekecil dirimu akan membunuhku? Haruskah aku mencarikan kaca untukmu, nona?" Dia tertawa terbahak-bahak tanpa berhenti dari larinya.
"Kau membuatku jengkel!" aku terus berlari mengejarnya tak peduli setiap kali tubuhku jatuh. 'Mati kau! Aku benar-benar keji, kan?' —banyanganku ketika berhasil menangkapnya dan membalaskan kekesalanku— Hanya membanyangkan saja membuatku bahagia. Bagaimana jika dia berhasil kutangkap?
Masih dengan langkah yang memburu. Pandanganku terpaku melihat surai peraknya yang panjang. Saking terpukaunya, kembali diriku terjerembab, tapi kali ini karena akar pohon yang mencuat. Menyebalkan. Akar itu membuatku terluka.
Arghhh
Aku mengerang, rasanya sakit. Kulihat luka di kaki dan lenganku dihiasi sebercak darah segar.
"Hey! Kau terluka!" dengan tergopoh-gopoh dia menghampiriku. Tatapanku tak lepas dari raut wajahnya yang gelisah. Tampan. Baru kali ini, aku melihat hal itu darinya.
"Oh astaga, kepalamu terluka!" ucapnya seraya tangannya menyentuh darah dikeningku.
Brughhh brughhh brughhh
Mendadak bunyi berdebum melintas di telingaku. Pasukan gajah bertelinga sayap kupu-kupu berlari tak karuan—seakan mereka takut makhluk hidup dibelakangnya ingin memangsa mereka—Salah satu kaki hewan itu, mendorong tubuh bocah laki-laki didepanku, alhasil dia mengapitku diantaranya dengan akar pohon keras di belakangku.
Bibirnya menyentuh bibirku. Kurasakan darah yang mengalir dari kepala belakang ke bagian tengkukku. Mendadak pandanganku menggelap. Ini dikarenakan akar pohon itu.
—————————————————————————————————
Sayup-sayup mataku terbuka. Buram. Menyesuaikan intensitas cahaya ruangan. Aku merasakan sentuhan di bibirku. Mataku terbuka lebar—pencahayaan sekarang sudah sempurna. Aku juga melihat sesosok makhluk bersurai perak. Seperti bocah kecil itu. Aku merasa bingung.
'Tadi itu mimpi atau bukan? Kenapa rasa sakit itu benar-benar terasa menderaku? Tapi sepertinya tidak mungkin nyata. Mengingat disitu aku menjadi seorang bocah cilik. Dan lingkungan disekitarku berupa hutan yang aneh. Gajah itu juga sama anehnya. Kenapa telinganya seperti sayap kupu-kupu? Mungkinkah dia bisa terbang? Ah konyol! Mana mungkin bisa, sayap kupu-kupukan tipis. Tapi aku belum mengetahui seberapa tebalnya telinga itu.'
Banyaknya pertanyaan yang muncul di otakku. Membuatku belum beranjak dari kasur empuk dan posisi saat ini. Ketika bibirnya mulai bergerak—dari situlah kesadaranku hadir—otomatis aku terduduk.
'Apa-apaan ini? Dia—bukankah dia itu lelaki dikamar mandi tadi? Kenapa dia ada lagi?'
Aku mencoba menyentuh jarinya. Niatnya ingin membangunkan, tapi secara tiba-tiba ingatan lain menyergapku.
—————————————————————————————————
"Hey lihat itu! Bunga-bunga yang indah! Ayo kesana!"
Gadis kecil itu menarik paksa bocah lelaki menuju taman bunga yang indah—anehnya ini di hutan—oh lihatlah tanaman itu, lebih tepatnya salah satu bunga yang lebih besar dibandingkan bunga disekitarnya. Bunga itu bisa berbicara? dan kilauan cahayanya mampu menyibak kegelapan malam.
"Kalian ingin bermalam disini?" ucap bunga itu.
"Iya! Kami akan bermalam disini!"
"Eh? Kaupun juga, kan?" ucap gadis itu selanjutnya sembari menoleh ke bocah berambut perak disebelahnya—berusaha melihat tanggapannya.
"Baiklah." ucapnya akhirnya dengan nada malas dan pasrah.
—————————————————————————————————
"Xia, ada apa denganmu?"
Ucapan lelaki itu membuyarkan kilasan ingatan aneh—aku mulai termenung kembali—tapi sepertinya tidak layak disebut ingatan. Karena rasanya aku tak pernah melihat lelaki bersurai perak ini. Dari warnanya saja, di dunia ini tidak pernah ada. Entah darimana asal-muasalnya. Mungkinkah berasal dari kehaluanku? Tapi wujudnya nyata dan akupun bisa menyentuhnya. Persetan dengan hal itu, pasti cuma tokoh halu.
"Hey! Kau kembali melamun, lagi, lagi, dan lagi." ucap lelaki—yang kurasa hanyalah tokoh halu semata—seraya mendengus sebal dan menarik jari yang kupegang tadi. 'Bukankah aku hanya menyentuh ya, tadi? Kenapa malah memegang? Ah entahlah'
Akhirnya akupun berucap. "Si...siapa namamu?" ucapku dengan keraguan yang mengalir di dalam hati.
"Oh, namaku Vithor Laventus, kau melupakanku?"
"Nama yang aneh. Aku saja tidak kenal dirimu siapa. Eh? Jadi, kenapa kau bisa disini?"
"Terima kasih atas pujiannya. Kenapa kau melupakkanku?"
"Tidak lupa, hanya aku tidak pernah melihatmu. Jadi, kenapa kau bis ada disini?"
"Ya, Mungkin karena rasa rindu yang menggebu."
"Rindu?"——akhirnya diapun ikut duduk disebelahku. Tapi matanya tak kunjung dia buka. Kenapa? Ih pemalas bisa-bisanya berusaha tidur ketika sudah duduk.
"Iya, bolehkah aku memelukmu?"
"Kau mengingau, ya? Terlihat dari matamu yang tak kunjung terbuka."
"Ah, persetan dengan hal itu! Jawab dulu, bolehkah aku memelukmu?"
"Ya tentu tak bolehlah! Nanti aku tidak suci lagi!"
"Bukankah kau sudah tidak suci lagi?"
"Maksudmu apa? Oh astaga, kau menodaiku saat aku tidur tadi? Kau memperkosaku? Dasar bajingan! Lalu kau...kau sudah menodaiku sampai seperti itu, kenapa perlu meminta izin, hanya untuk memelukku?" aku sangat marah, kupukul-pukul lengannya.
"Hey, hey! Berhenti! Tenang dulu."
Akupun berhenti, bukan karna perintah lelaki ini, tapi karna aku teringat bahwa dia hanya tokoh halu.
"Hey, nona Xia——kau sudah tidak ingat lagi, ya? Kau menciumku tadi saat aku sedang tidur. Sangat menggelikan menuduhku telah melecehkanmu." ucapnya dengan terkekeh ringan.
"Kau——bisa sajakan kalau kau yang menciumku!"
"Bukan aku!"
"Kau!"
"Bukan!"
"Kau!"
"Bukan!"
"Ah sudahlah! Untuk apa berdebat dengan tokoh halu." akhirnya, aku menyudahi perdebatan tanpa ujung, jika semuanya tetap keras kepala.
"Apa katamu? Tokoh halu?"
"Iya, itu dirimu!"
"Halu——itu artinya tampan, kan?"
"Hahhahaha, aku? Mengataimu tampan? Mungkin otakku yang sudah bergeser. Ingat baik-baik, halu itu bukan tampan."
"Lalu apa?" dengan polosnya, Vithor berkata demikian.
"Cari saja di kamusmu!"
"Ha? Kamus?" bahkan kamuspun dia tidak tahu? oh astaga, apa perlu ku kembalikan ke bangku dasar.
"Ah, terserah kau mau bertanya apa, daa aku mau bersiap-siap ke sekolah."
Wuuushhh
Kegelapan menyelimuti pandanganku sebentar. "Apa ini? Kenapa aku sudah di sekolah?" ucapku setelah mengusap-usap mata.
"Bukankah tadi, kau yang menginginkannya?"
"Oh, jadi kau pelakunya? Tapi kau kan tokoh halu, mana bisa? Oh iya halu masih berhubungan dengan halu. Ah, aku hanya sedikit lelah, tapi——aku tidak menginginkan ke sekolah, tadikan aku hanya bilang bersiap-siap."
"Maafkan aku nona Xia, baiklah aku akan membawamu kembali ke kamar."
Dengan sekejap—aku sudah berada di kamar mandi, berendam di bak mandi—dengannya?
———————————————————————————
Jangan terlalu memaksa, terkadang ada hal yang lebih baik kamu tidak ketahui. Berhentilah mulai dari sekarang, jangan sampai dirimu terjerembab kedalamnya.
———————————
To Be Continue
———————————