Minggu, 06 September 2020
"Eh? Kenapa kau membawaku kemari?"
"Katanya kau ingin bersiap-siap." ucapnya santai dengan muka yang acuh. Menyebalkan memang.
"Ih—tapi tidak langsung berendam disini juga kali, dan bersama dirimu pula. Dasar mesum!" ucapku tak habis pikir sembari menjauhkan tubuhnya yang menindihku.
"Mesum? Apa lagi itu?" dia menghela napas perlahan, kemudian dia berucap kembali. "Sepertinya, aku harus banyak belajar dari duniamu."
"Kau berkata demikian, seakan bukan dari duniaku. Sebenarnya, kau ini berasal dari mana, ha?"
"Jika aku menjelaskannya kepadamu, maka kau tidak akan percaya."
"Haishhh, yaudah-yaudah..." berhenti sejenak kemudian kulanjutkan—aku percaya."
"Baiklah."
"Iya, jadi?"
" A k u, " entah dia sengaja menggantung kalimatnya agar aku tetap menatapnya ataukah dia yang terpukau melihat kecantikannku, secara aku ini termasuk siswi tercantik seantero SMA N Thanosantara. Eh? Terpukau bagaimana? Dia saja masih enggan membuka matanya. Mungkin takut jika dia melihat kecantikanku yang tiada banding.
" B e r a s a l, " kenapa wajahnya mulai mendekatiku?
" D a r i, " jelas saat ini, aku yang terpaku menatapnya.
"Ar..." aku terpaku karena penasaran apa warna bola matanya, hitam kelam kah? Coklat gelap? Merah merona? Hijau zamrud? Ataukah biru shapire? Bisa jadi silver___atau tidak dari sekian banyaknya itu? Tapi jika warna hitam, coklat, hijau dan biru itu sudah biasa di dunia ini. Kemungkinan warnanya yang tidak ada di dunia ini. Seperti warna rambutnya, itu tidak ada disini. Jadi kemungkinan berwarna merah merona/silver. Warna tidak masuk akal lagi juga bisa.
"Fffffff," oh astaga, jarak diantara kita semakin menipis, dan aku tidak bisa berpindah.
" A r f, " dia mengulang katanya.
"Hey! Kau ingin tau, kan? Dan jangan terpaku melihatku. Sangat menggelikan." dia menyeringai. Menunjukkan tampang puas setelah berhasil menggodaku. Dasar!
"Bagaimana aku tak hanya melihatmu, kau menggantung kalimat dan berusaha mengikis jarak diantara kita. Maka, apa lagi pilihan untukku selain memandang penuh selidik ke muka konyolmu itu, hah?"
"Apa? Muka konyol?"
"Jangan bilang kaupun tak tau apa itu konyol?"
"Sayangnya, setelah kau larang, terpaksa aku harus berkata, kalau aku tidak tahu." Vithor berucap seraya mengendikkan bahu.
"Hah—terserah kau saja. Jadi bagaimana?"
"Bagaimana aku ingin selalu bersamamu?"
"Bukan! Maksudku bagaimana tadi, kau berasal dari mana?" sepertinya dia hanya membuang waktuku saja.
"Anggap saja aku adalah tokoh halu yang berasal dari otakmu, walaupun aku tidak tahu apa itu halu." memang benar__dia hanya membuang waktu.
"Ya, tak bisa begitu! Kenapa kau menggantungku?" tapi aku masih penasaran____
"Kapan? Kapan aku menggantungmu?" tidak mengaku.
"Sekarang inilah!" ucapku tak habis pikir.
"Tapi, nyatanya kau tidak mati ataupun merasa kesakitan."
"Ih—dasar menyebalkan! Terserah! sana pergi! Jauh-jauh dariku!" akupun berusaha mendorongnya, mengangkat tubuhnya menjauhi bak mandi dan mendorongnya keluar dari bilik kecil ini.
"Hey! Apa yang kau lakukan? Serius kau tidak tertarik tentang asal-muasalku?"
"Persetan dengan hal itu!"
"O h, yasudah. Bye-bye." dia melambaikan tangannya.
"Haishhh, kau tau artinya bye-bye, tapi tak tau arti dari halu, mesum, dan konyol. Sebenarnya kau pernah bertemu siapa lagi selain diriku?"
"Aku sudah pernah bertemu ayahmu."
'Eh? Apa maksudnya? Kenapa dia sudah bertemu ayah? Dimana?'
"Haishhh, jangan membual! Itu sama sekali tak mempan untukku."
"Aku jujur. Aku bertemu dirinya kemarin malam. Sebelum aku tidur di ranjangmu."
"Masih berani ya kau__mengungkit ranjangku!" aku sudah berlari mengejarnya tapi dia lebih dulu menghilang, disertai kabut putih tebal sembari berucap,
"Terserah." Vithor justru tidak merasa bersalah setelah tidur bersama gadis perawan dan melenggang pergi. Dasar!
"Oh iya, benarkah—kau tidak ingin mendengar lebih? Tentang apa yang kuperbincangkan bersama tuan W i ll e r?" lanjutnya yang tiba-tiba muncul di depanku.
"Ah, kau membuatku terkejut!"
"emmm, aku tidak tertarik." Lanjutku.
" Y a k i n ? "
'Aku harus jawab apa? Sebenarnya aku tertarik, tapi bagaimana lagi, aku kelewat gengsi. Dasar menyebalkan!'
"Aku tidak ingin, untuk apa memangnya?" hanya pertanyaan retoris saja.
"O h, yasudah. Bye-bye. Padahal aku tahu isi di dalam otakmu." kali ini dia menunjukkan senyum terbaiknya. Mencoba menggodaku, tapi ya___tak akan mempan. Yang membuatku tergoda justru kata-kata terakhirnya.
"Apa maksudmu? Kau semacam orang yang bisa baca pikiran? Atau malah kau ini lebih tepatnya cenayang?"
" C e n a y a n g ? "
"Iya, dukun."
"Oh, tentu bukan. Ini salah satu bakat alamiku."
"Salah satu? Jadi masih ada banyak lagi?"
"Ya——bisa dibilang begitu." detik berikutnya diapun berucap lagi. "Jadi, aku tahu tadi kau ingin mengetahui isi perbincanganku. Justru sangat ingin. Dan ya___tanpa kau mintapun aku akan menjelaskannya. Tapi nanti."
" T e r s e r a h ! " akupun langsung bergegas mandi.
•••
Dibalik cermin, kusisir rambutku. Kemudian, kukepang. Terlihat pantulan cermin menunjukkan gambaran diriku—Rambut berwarna hitam. Warna mata biru shapire, tapi aku selalu memakai soflens hitam pekat. Tidakkah kalian bertanya? Kenapa aku menyembunyikan mata indahku? Ya itu karena aku hanya t r a u m a saja. Kalian akan tahu suatu saat nanti—Coba lihat tas yang ku kenakan, biru. Ya itulah warna kesukaanku. Aku merasa sedih__Tidak bisa menunjukkan bola mata dengan
w a r n a f a v o u r i t e k u.
Sekarang sudah siap. Kulangkahkan kakiku menuruni anak tangga. Saat aku masih di undakan tangga.
"Nak, ayo makan!"
"Ah ayah, ngapain sih diajak, Xia kan sudah besar, pasti ngerti lah kalau lapar pasti makan."
Memang kakakku ini tidak menyukaiku. Kak Henny Willer.
"Kalian, jangan seperti itu, sudah besar. Malu sama umur." ucapan ayah terasa manis di telingaku, tapi sudah pasti tidak untuk mereka. Kakak kembarku.
"Ayah kok belain Xia terus sih dari dulu?! Henna gak suka!" kali ini kak Henna Willer yang bersuara—lantang. Yang ini memang emosian. Lihat saja sekarang. Dia langsung melenggang pergi sembari menarik tangan kembarannya seraya berucap,
"Ayo Hen! Kita langsung berangkat saja! Mereka gak pernah menganggap kita ada!"
Bukankah itu sebaliknya? Dengan asyiknya mereka sering nonton hal aneh itu dan sama sekali tidak menghiraukan yang lainnya. Dasar aneh!
" A b s u r d. " gumamku, tapi sepertinya ayah masih bisa mendengarnya ditandai senyuman tipis sambil menatapku.
Kak Henna termasuk orang yang arrogant, namun sebaliknya—kak Henny lebih bisa menguasai emosinya. Mungkin saja, karena faktor umur. Kak Henny lebih tua 7 menit dari sang adik kembarnya. Mereka selalu bersama. Melakukan hal-hal yang menyenangkan tanpa kehadiranku.
Sekarang aku sudah berada di mobil, bersama ayah dan Mang Didin. Tapi kakak sudah lebih dulu berangkat naik Taxi. Padahal biayanya sangat mahal. Sekitar seratus ribu per kepala. Dan mereka ada dua orang, dua ratus ribu jadinya. Belum nanti saat pulang masih membayar dua ratus ribu lagi. Jumlahnya empat ratus ribu. Ini bukan goceng. Oh astaga, uang sakunya saja belum kuhitung. Setiap sekolah masing-masing minta lima puluh ribu. Setengah juta dalam sehari.
Aku merasa kasihan kepada ayah, walaupun keluargaku termasuk keluarga terkaya urutan ketiga di negara ini. Tapi kita kan tidak akan pernah tahu hadirnya gulung tikar. Sayangnya yang sadar untuk menghemat hanya aku dan ayah.
•••
"Hey, lihat! Ketua kelas kita sudah datang! Mari kita sambut nona Xi Aomi Willer, uwuw!" teriaknya heboh sembari mempersilahkan masuk. Tentu saja sambil mengunyah snack favoritnya.
Jangan heran dengan sikapnya. Lelaki itu selalu bersikap gaje alias gak jelas, setiap hari. Namanya Tongsin Naraf. Dia gendut. Mungkin karena dia tak ayal ngemil berbagai macam snack, eh, bukan mungkin lagi—itu sudah pasti. Lihat perutnya___pffff___buncit. Tentu isinya pasti makanan, entah itu yang ringan ataupun berat_minuman juga. Untung dia bukan perempuan. Jika iya, pasti akan dikira hamil. Karena bagian yang paling gendut adalah perutnya.
Pernah suatu waktu, ibu guru menghukumnya saat dia tertangkap basah. Dengan santainya. Apalagi? selain makan snack kesukaannya? Qitela. Ya, Qitela juga termasuk snack yang paling kusuka. Aku sering nyemil saat belajar. Tapi tidak akan gendut seperti Tongsin. Aku juga tidak tahu apa sebabnya. Mungkinkah faktor genetik?
Tongsin hebat. Ya, kenapa tidak? Hanya satu kejadian yang gagal dari semua aksinya. Ah sudahlah, jangan bahas dia lagi. Aku bosan.
•••
"Xia!" Irhannist menghamburkan pelukan kepada gadis yang dipanggilnya tadi. Entah mengapa Xia menolak pelukannya.
"Xia, ada apa dengan dirimu?"
Tiada jawaban darinya.
"Xia, jawab aku!"
masih diam membisu.
"Kamu marah?" tanyanya hati-hati. Tapi bukan jawaban yang diterimanya. Xia pindah tempat, duduk di belakang Irha. Di dekat Tongsin.
Hati Irha rasanya seperti saat Xia dikhianati ibunya, Xi wen wen. Dan pa Han.
Krink krink krink———Bel masuk berbunyi, menggertak para murid yang sedang bercakap-cakap. Kini berhamburan menuju bangkunya masing-masing.
Wanita paruh baya memasuki ruangan yang tiba-tiba sepi seperti kuburan. Ah berlebihan. Kuburan saja, masih banyak kicauan burung. Jadi kurang tepat kalau sepi. Namun, dengkuran seseorang berhasil menghapus kesan horror yang sempat tercipta. Biar sama seperti kuburan, anggap saja dengkuran itu sebagai kicauan burung. Tapi yang jelas lebih merduan suara burung.
"Siapa yang berani-beraninya tidur di jam saya?! Bahkan ini baru permulaan!"
"Bu, dia tidurnya di meja. Bukan di jam ibu. Kurasa hanya di dunia fantasy, kita bisa melihat jam besar dengan suara tik tok tik tok yang horror." ucap Tongsin polos. Mungkin otaknya sedikit bergeser. Beraninya menantang guru terkiller sejagad Thanosantara.
"Tongsin sini!" ucap bu Ruko Mitarashi. Guru mata pelajaran
M A T E M A T I K A.
Sebenarnya, sesulit apapun pelajaran dan segahar apapun sang Laoshi, kamu tetap bisa menemukan titik penakluknya. Asalkan, kamu mencoba mencintainya lebih dulu.
"Si Tongsin berani sekali, bwahahaha___kebanyakan main Tik-Tok, maybe." ucap salah satu murid yang sampai bisa di dengar bu Ruko.
"Kamu juga, kesini!" nah, sekarang sudah tiada lagi yang mau menimpali peristiwa ini dengan kata-kata. Takut dijadikan sate.
Alhasil, orang yang tidur jadi mendapatkan waktu yang lebih banyak. Tapi tahukah kalian siapa yang tidur? Baik akan saya jawab. Lebih tepatnya akan saya berikan clue. Dia seorang lelaki, bermata merah semerah darah.
•••
Waktunya pulang_
Sorak-sorai terdengar keras dari ruangan Xii IPA 1. Terlalu.
Saatnya ke rumah Tongsin.
"Tongsin! Biasalah. Suguhannya__hehehe." ucapku sambil nyengir.
"Wah, ya iya jelas itu mah gak akan terlupakan."
"Ehehe, makasih__oh iya, aku mau ke toilet dulu ya, kebelet nih."
"Silahkan."
Tanpa ba-bi-bu akupun langsung melesat ke bilik kecil. Kubuka pintunya. Aku langsung masuk.
"Nah, udah selesai." ucapku lega akhirnya.
Akupun keluar dan menatap cermin di toilet. Merapikan rok yang kukenakan. Tapi mataku terfokus ke tombol aneh di dekat cermin. Dulu saat aku ingin menekannya, si Tongsin tak mengizinkan. Kali ini akan kupastikan dia tidak akan mencegahku.
Kupencet tombol merah itu. Alangkah terkejutnya diriku. Melihat disana ada ruang rahasia. Tapi gelap. Aku mencoba masuk. Di dalam____________________________________________________
—————________————___________
To Be Continue
___________————________—————