Chereads / Oddity of Residence / Chapter 4 - Ada Apa dengan Warna Merah?

Chapter 4 - Ada Apa dengan Warna Merah?

Senin, 7 September 2020

Kupencet tombol merah di dekat cermin. Alangkah terkejutnya diriku, ketika melihat di sana terdapat ruang rahasia. Namun gelap. Aku mencoba memasukinya. Di dalam, aku seperti melihat ada kilatan cahaya merah. Cahaya merah? seperti dua pasang mata.

Ssshhh

Suara desisan?

Seketika pandanganku menjadi kabur. Detik berikutnya, sepasang Insan berjalan berdampingan mengenakan pakaian yang sewarna. Merah. Bahkan, sekelilingnya yang berupa bangunan megah dan jamuannya, berwarna sama. Sebenarnya ada apa dengan warna merah?

"Xia! Xia! Buka matamu!"

suara seseorang berhasil membuyarkan kilasan peristiwa warna merah yang mendominasi.

"Xia! Ayo Buka matamu!"

aku masih bisa mendengarnya tapi kenapa mataku tak kunjung terbuka? Tongsin...aku kenal, Ini pasti suaramu! Sebenarnya aku ada di mana? semuanya menjadi gelap.

"Xia! Apa kau masih bisa mendengarku?!"

"Bagaimana ini?!...aku menjadi tambah panik!" Lanjutnya.

Terdengar derap langkah kaki, berbolak-balik arah. Suaranya tidak bisa santai.

"Aha! aku punya ide cemerlang! tunggu sebentar Xia! aku akan segera membangunkan mu!" volumenya semakin mengecil, prediksiku Tongkin menciptakan jarak denganku. 'Hem? ide gila apa yang akan kau perbuat, Tongsin.'

Tak perlu waktu lama, langkahnya mulai kudengar kembali.

"Xia! aku membawakanmu Qitela, cepatlah bangun! jika tidak, maka aku yang akan menghabiskannya!"

'Dasar Tongsin! disaat genting, dia masih memikirkan makanan, astaga.'

"Xia..."

ini...

suara ini...bukan milik si gendut. Lalu, siapa lagi?

"Berhentilah berusaha bangun, ayo ikutlah denganku saja!"

Setelah kata itu samar-samar terucap, munculah sesosok makhluk dari balik dinding kegelapan.

'Ternyata manusia.'

"Siapa bilang, aku manusia?"

Benar, sosok itu bukanlah manusia, semakin mendekat nampaklah rupanya. Dia memilki ekor seperti milik ular, namun bedanya terdapat gerigi merah berkilauan disepanjang sisiknya.

Dengan kecepatan cahaya, ekornya sudah melilitku. Aku tidak bisa menjamin kulit polosku tahan akan goresan. Bahkan, leher ku hampir dicekiknya. Untung saja, dia membatalkan niatnya. Mungkin, untuk bertanya sesuatu.

"Siapa kamu?!" dengan sedikit gemetar, menahan sakit. aku memaksakan diri untuk bertanya padanya.

Wuuussshhh

Telinga kelalawarnya mengibas sembari bergerak mendekat kearahku.

"Jangan, banyak bicara! ikutlah denganku!" Lantang sekali, hingga memekakkan telinga. Entah mengapa suaranya diiringi kemurkaan. Padahal, aku merasa tak pernah menyinggungnya.

"Siapa yang mau ikut, jika hanya akan disiksa!"

"Aaahhh!!!" Pekikku menggema dalam ruang hampa, tempatku saat ini.

Dia mengeratkan lilitannya. Mencoba menggertakku setingkat lebih dari sebelumnya. Nampak bibirnya menyeringai puas, menampakkan taring tajamnya. Dan saat ini, dia bergegas membawaku terbang jauh.

"Sakiiit...tolong he hentikan!" suaraku hampir melemah.

"Diamlah!"

"Mengapa kau mencariku, binatang buas?!"

"Tetap diam, aku calon suamimu!"

"Aku tidak bisa, ini sakit sekali, Dasar kau pembual! sudah jelas aku tak pernah memiliki calon suami sejahat dirimu!"

"Untuk apa kau membawaku?" Lanjutku.

"Tentu, saja untuk...Ahhh!"

Kilatan cahaya petir menyambar makhluk aneh di depan ku, bersamaan dengan lilitan yang mengurai. Akhirnya, tubuhku limbung jatuh ke bawah. Dari ketinggian sekian di atas permukaan laut, sudah pasti dapat membuat anggota tubuhku berserakan dibawah sana.

"Xia! pegang taliku, aku akan menyalurkan kekuatan medis padamu!"

Ternyata ada Vithor, si mesum ini mencoba membual, bagaimana bisa kekuatan medis dapat tersalur hanya dengan memegang tali penghubung ini. Dia berlagak menjadi dokter. Jika, aku selamat. Aku juga tidak bisa menjamin, bahwa Vithor adalah orang baik.

"Ayo, cepat genggam! aku tidak bisa menjangkaumu!"

Jelas, Vithor tidak bisa menjangkauku. Dia masih melawan makhluk gila tadi.

"Selamat tinggal semuanya! lebih baik aku menghilang dari dunia ini, karna tak mungkin ayah dan ibuku akan bersama!"

"Xia...!" teriak Vithor.

———————————————————————————

Dalam keadaan darurat, bukankah seharusnya kamu mempercayai uluran tangan seseorang. Tetap gunakan fungsi otakmu, walau segenting apapun kondisimu.