Chereads / Broken wedding / Chapter 2 - Dua

Chapter 2 - Dua

Dengan langkah tergesa-gesa Daneil menuruni anak tangga. Laki-laki itu sudah membersihkan dirinya dan memakai pakaian kerjanya siap untuk berangkat ke kantor. Namun ada sesuatu yang harus Ia selesaikan terlebih dahulu sebelum pergi. Wajahnya terlihat mengeras, menahan amarah yang siap diuntahkan.

Mendapati wanita yang menjadi alasan kemarahannya tengah menata makanan di atas meja dengan santainya, tanpa pikir panjang Ia tarik lengan kecil itu. Hingga si empu terkesiap dan meringis pelan. Tapi Ia tak peduli. Dengan pandangan nyalang Ia tatap mata yang kini menatapnya bingung.

"Kenapa barang-barangmu ada di kamarku?" tanyanya mendesis marah.

Memahami maksud suaminya. Amara lepaskan pelan cekalan itu dari lengannya. Terasa sedikit perih, mengingat betapa kuat laki-laki di hadapannya mencengkramnya. Amara kembali memutar tubuhnya melanjutkan kegiatannya menata piring, lalu menjawab dengan ringan seolah tak membuat kesalahan.

"Itu kamarku juga sekarang," ujarnya yang sukses menambah kobaran api kemarahan pada diri Daneil.

Akh!

Amara mendesis saat lengannya kembali ditarik kasar hingga menghadap wajah tampan suaminya yang mengeras. Seolah siap memakannya hidup-hidup tanpa ampun. Tapi lagi dan lagi Ia hanya memberikan pandangan bertanya.

Menggeram. Ia cengkram kuat lengan wanita yang kini menjadi istrinya. "Dengar!" ujarnya menekan tajam ucapannya lalu kembali melanjutkan dengan suara yang tak kalah tajam. "Beresi semua barangmu dari kamarku. Kamu bebas memilih kamar di rumah ini, tapi tidak di kamarku!"

Amara menatap mata hitam pekat yang kini mengintimidasinya. Tapi bukannya takut, gadis itu malah mengangkat alisnya menantang. "Aku istrimu, kamarmu kamarku juga." ujarnya ringan, tak gentar sama sekali.

"Tidak! Kamarku hanya miliku, lagian rumah ini rumahku. Kau hanya kuanggap menumpang di sini,"

Terkekeh mendengar ucapan suaminya. Ia bersedekap, mengangkat dagunya tinggi. "Rumah ini rumahku juga Mr. Brown, apa anda lupa jika nama belakangku sekarang juga Brown. Kuasaku dan kuasa anda di rumah ini setara," ujarnya tak takut sama sekali.

Sial!

Umpat Daneil mendapati keberanian pada wanita di hadapannya. Tak seperti wajahnya yang polos yang seolah mudah untuk ditindas dan diintimidasi. Nyatanya wanita yang kemarin Ia nikahi adalah wanita ular yang sangat berbahaya. Terbukti dari tatapan mata wanita itu yang sama sekali tak takut kepadanya.

"Terserah!" ujarnya berlalu meninggalkan Amara sebelum kemarahan membuatnya berlaku kasar pada wanita itu. Hal yang tak pernah Ia lakukan kepada wanita.

"Tunggu!" Amara mencegah. Ia berjalan mendekati Daneil yang tak mau repot-repot membalikan tubuhnya. Sampai di hadapan Daneil gadis itu tersenyum lembut, seolah tak ada yang terjadi baru saja.

"Aku sudah memaskan sarapan untukmu. Ayo kita sarapan bersama!" ajaknya memegang lengan suaminya.

Mata Daneil memicing. Sebelum kemudian terkekeh pelan, Ia sentak tangan yang menggenggam lengannya. Matanya melirik sekilas pada meja makan yang terhidang beberapa makanan. Lalu pandangannya kembali pada gadis dihadapannya.

"Tidak perlu repot-repot memikirkanku atau membuatkanku sarapan. Karena walaupun kita sudah menikah, kita tetap hanya orang asing. Jadi, biar aku urusi hidupku sendiri dan kamu urusi hidupmu sendiri." ujarnya memberitahu.

Amara terperangah mendengar itu. Namun sedetik kemudian Ia menggelng pelan, lalu memandang kembali wajah suaminya. "Tidak! Kamu suamiku sudah sewajarnya aku mengurusi kebutuhanmu termasuk menyiapkanmu sarapan. Dan begitu juga kamu, kamu juga berhak untuk mengurusi kehidupanku." Jeda sesaat. "Kita suami istri," lanjutnya.

"Terserah apa katamu. Tapi akan kupastikan, tidak lama lagi kita akan bertemu di pengadilan."

Laki-laki itu kemudian melanjutkan langkahnya yang tertundak. Tapi, lagi dan lagi Ia harus kembali menghentikan langkahnya saat wanita itu kembali berbicara.

"Aku akan bertahan Daneil, hingga kamu dapat menerima pernikahan ini."

Terkekeh mendengar itu. Laki-laki itu menggeleng pelan, "keras kepala!" ujarnya benar-benar pergi.

Amara masih terpaku di tempatnya. Sebelum kemudian pandangannya terarah pada meja makan yang terisi berbagai macam masakannya. Berjalan kesana Ia duduk di salah satu kursi, menatap sendu makanan yang sudah capek-capek Ia siapkan.

🌹🌹🌹

Tiba di ruangannya, Daneil langsung melonggarkan dasinya. Ini masih pagi dan mood-nya sudah rusak karena wanita yang sialnya adalah istrinya. Tapi laki-laki itu berani bertaruh, kalau wanita itu akan segera pergi dari kehidupannya. Meminta cerai kepadanya.

Daneil tak bisa menceraikan Amara atau Ibunya akan murka. Entah apa yang wanita itu berikan, hingga ibunya sangat menyayanginya. Membuatnya harus menerima pernikahan yang sialnya sudah terjadi.

Menghembuskan nafasnya dengan kasar. Laki-laki itu pejamkan matanya untuk menghilangkan emosi yang masih menyumpal di dada. Sebelum kemudian suara ketukan pintu membuatnya membuka mata.

"Masuk!" Perintahnya sembari membenarkan posisi duduknya.

Sesaat kemudian masuk seorang perempuan muda yang merupakan asistennya. Kepala gadis itu menunduk hormat, dengan sedikit grogi berdiri dihadapan sang bos. Pasalnya gadis itu tadi dapat melihat jika bosnya itu datang dalam keadaan wajah mengeras. Membuatnya takut untuk menghadap dan memberitahukan jadwal meeting laki-laki itu. Entah apa yang terjadi kepada atasannya, karena sebelumnya bos tampannya itu sempat cuti dua hari.

"Maaf Pak, hari ini saya dihubungi oleh pihak perusahaan Sehan group. Jika mereka ingin meeting yang membahas proyek pembangunan apartement diajukan hari ini, karena lusa perusahaan Sehan group tidak dapat, ada kepentingan yang harus mereka selesaikan." ujar Desy kemudian kembali menunduk takut.

Double shit!

Batin Daneil. Moodnya sudah jelek karena wanita yang kini ikut tinggal di rumahnya, di tambah meeting mendadak. Lagian Kepentingan apa yang lebih penting dari proyek milyaran rupiah dengannya.

"Atur saja jadwalnya," ujarnya memijit pelipisnya. Membuat asistennya mengangguk lalu berlalu undur diri.

🌹🌹🌹

"Kakak baik, bagaimana dengan kamu? Paman dan bibi?" tanya Amara mengganti ponselnya ke telinga kiri.

"Kami baik kak, Paman dan bibi juga baik." Suara dari seberang sana mampu menerbitkan senyum di bibir tipis gadis itu. Saat sebelumnya gadis itu masih menelan pil kecewa karena makanan yang Ia buat berakhir dimakan oleh satpam dan juga pembantu di rumah ini.

"Syukurlah," ujar Amara kemudian.

"Ehm ... kak!" Amara hanya berdehem menunggu lanjutan ucapan sang adik. "Bagaimana dengan suami kakak? Apa dia baik? Dan bagaimana dengan malam pertama kalian? Apa dia melakukannya dengan kasar atau lembut?" Pertanyaan sang adik sukses melunturkan senyum Amara.

"Dia baik David," ujarnya menatap kosong ke depan. Lalu memasang senyum ceria, agar suaranya tidak terdengar sendu." Kenapa menanyakan malam pertama huh?! Kau masih kecil, tahu apa tentang malam pertama?" Cerca Amara kepada sang adik.

"Hehe-- eh bibi sebentar aku masih ingin bicara dengan kakak!"

"Heh diam! Bibi juga ingin bicara dengan kakakmu,"

"Ah, bibi ..."

"Cepat sayang, aku juga ingin bicara dengan keponakanku yang beruntung itu."

Beruntung?

Amara tersenyum getir mendengar suara bersahut-sahutan dari seberang sana. Pasti sekarang adik, paman dan bibinya sedang berkumpul menikmati hari cuti mereka dengan alasan pernikahnnya. Pernikahan yang hanya dihadiri oleh keluarga besar saja. Karena suaminya menolak untuk memublikasikan pernikahan ini alasannya adalah tak ingin jika para wartawan memburu mereka untuk mewawancarai. Nyatanya itu hanya alasan laki-laki itu saja, agar tak ketahuan sudah menikah.

"Halo Amara!"

Suara bibinya menyadarkan Amara dari lamunannya. "Ah, ya bibi?" Gagapnya kemudian.

"Apa kau baik-baik di sana? Bagaimana dengan suamimu?"

"Aku baik bibi, suamiku juga baik." Hanya sikapnya saja yang tak baik, lanjut Amara dalam hati.

"Oh syukurlah,"

"Eh ... eh ..."

"Gantian sayang. Halo Amara ini paman!"

"Tapi aku baru saja ingin bicara,"

Amara tersenyum mendengar suara laki-laki paru baya yang sudah Ia anggap sebagai pengganti ayahnya yang sudah meninggal. Begitupun dengan bibinya, yang Ia anggap sebagai Ibunya. Karena setelah kedua orang tuanya meninggal. Ia dan adiknya diasuh oleh paman dan bibinya, dengan bantuan Tuan dan Nyonya Brown tentunya.

"Iya Paman, ada apa?" Tanyanya masih dengan senyuman dibibir.

"Bagaimana dengan rumahmu? Pasti sangat besar. Kau pasti bahagia menikah dengan Daneilkan? Semua kebutuhanmu pasti terpenuhi,"

Tidak! Aku sama sekali tidak bahagia Paman. "Tentu saja Paman, rumahku sangat besar. Ada pembantu juga satpam yang menjaga," ujarnya berbangga.

"Wahh ..."

Amara terkikik saat mendengar tak hanya suara pamannya yang takjub tapi juga suara adik juga bibinya. Setelahnya mereka mengobrolkan banyak hal. Dengan Amara yang selalu berusaha menutupi bagaimana pernikahannya yang sebenarnya. Bagaimana sang suami yang sudah merencanakan perceraian mereka.