Daneil mengernyit saat baru turun dari mobilnya dan mulai melangkah menuju pintu utama rumahnya, Ia disuguhi sebuah pemandangan taman kecil di halaman rumahnya dengan diterangi sebuah lampu yang menggantung pada tiang. Di mana seingatnya sebelumnya di sana hanya terdapat air mancur juga rerumputan hijau saja. Tapi kini terlihat warna-warni bunga menghiasi, yang terlihat menyebalkan untuk Daneil. Lelaki itu memang tak terlalu menyukai sesuatu yang berwarna mencolok.
Daneil menggeram saat memikirkan siapa orang yang berani melakukan hal itu.
Wanita itu! Geram Daneil membayangkan wajah Amara, menurutnya Amara sudah sangat lancang dengan berani merubah halaman rumahnya. Tidak tahukah jika wanita itu hanya menumpang di rumahnya?
Dengan kekesalan yang bertumpu Daneil membuka pintu rumahnya dengan kasar. Lelaki itu terperangah saat pertama kali pintu itu terbuka, menampilkan sosok Ibunya juga Ayahnya tentu saja dengan Amara di tengah-tengah mereka. Terlihat Amara dan Ibunya duduk pada satu sofa yang sama dengan sebuah majalah di pangkuan Ibunya.
Cintya tersadar setelah sebelumnya terperangah lantaran kagetnya pada pintu yang terbuka kasar. "Anak ini," Cintya menggeram, bangkit berjalan mendekati Daneil.
"Mom," beo Daneil saat Cintya sampai di hadapannya dengan wajah garang. "Mom, kenapa ada disini?" tanyanya kembali, masih merasa bingung akan keberadaan Ibu dan ayahnya di rumahnya.
Mendengar itu, Cintya langsung menjewer telinga anaknya keras-keras. Hingga lelaki itu meringis kesakitan, "aw ... aw ... sakit Mom, kenapa menjewerku Mom?" tanya Daneil ikut memegangi telinganya.
"Kamu ini ya, kenapa kamu sudah berangkat bekerja hah?! Bukannya seharusnya kamu masih di rumah menemani istrimu hah?!" Tanya Cintya berteriak-- galak, tangannya semakin keras menjewer telinga putranya.
Amara terperangah memandang pemandangan di hadapannya. Terlihat sangat lucu melihat seorang Daneil yang dingin terkena amukan Ibunya. Bahkan lelaki itu tak sama sekali melawan, walaupun mungkin saja telinganya saat ini sudah memerah.
"Shh ... Daneil tadi ada meeting Mom, tidak bisa Daneil tinggalkan aww ..." Daneil meringis kencang saat Ibunya menarik lebih keras telinganya.
"My sudah," sebuah suara lembut milik tuan Tom Brown, ayah Daneil mengintrupsi Istrinya. Lelaki paru baya itu merasa kasian melihat wajah Putranya yang sudah terlihat memerah, mungkin karena menahan sakit atas jeweran istrinya.
"No Dad, Anak gila kerja ini harus diberi pelajaran!" teriak Cintya semakin keras menarik telinga Putranya, hingga terdengar jeritan dari lelaki itu.
"Mom, sudah Mom. Daneil tidak bersalah, tadi dia sudah meminta ijin padaku kalau ada urusan yang memang harus Ia selesaikan." ujar Amara bangkit berdiri. Gadis itu mulai merasa tak tega, walaupun sebenarnya Ia juga senang melihat Daneil mendapatkan amukan dari Ibunya. Yah, hitung-hitung pelajaran untuk lelaki itu.
Cintya langsung melepas jewerannya pada sang anak setelah mendengar ucapan menantunya. "Lihat! Untung ada Istrimu, jika tidak sudah habis kamu di tangan Momy!" setelahnya Cintya memberikan tatapan memperingati.
Daneil hanya diam, tak memiliki niatan sama sekali untuk membalas ucapan Ibunya.
"Kenapa jam segini baru pulang? Apa kamu tidak tahu jika Istrimu sudah memasakanmu dan menunggumu untuk makan malam bersama Hah?" tanya Cintya kesal.
"Momy juga menunggu Aku?" tanya Daneil lebih khawatir pada Ibunya. Jika untuk Amara mana Ia peduli,
"Apa yang kamu pikirkan, tentu saja Momy sudah makan terlebih dahulu. Memangnya kamu mau Momy mati karena kelaparan?" Tanya Cintya yang mendapatkan tarikan nafas lega dari Daneil.
"Sekarang lebih baik kamu mandi, lalu makan malam bersama Istrimu. Kasian Amara, belum makan sama sekali karena menunggumu pulang." Suruh Cintya pada Daneil.
Daneil baru akan melangkah, sebelum kemudian kembali berbalik pada Ayah dan Ibunya. "Apa Mom dan Dad akan menginap?" tanya Daneil mengingat jika saat ini sudah tengah malam.
"Iya, Momymu dan Dad akan menginap." Balas Tom sebelum Cintya sempat membalas.
Daneil mengangguk pelan, melanjutkan langkahnya berlalu dari ruang tamu.
Amara menatap pada kedua mertuanya, "maaf Mom, Dad. Amara ke atas dulu, mungkin Daneil memerlukan bantuan." ujarnya meminta ijin.
Cintya tersenyum lembut mendengar itu, ah menantu pilihannya memang yang terbaik. "Iya sayang, lagian Mom dan Dad juga ingin tidur. Daneilkan sudah pulang," ujarnya mengajak sang suami bangkit berdiri. Cintya memang hanya menemani menantunya menunggu Anak tak tahu dirinya, yang dengan kurang ajar membuat menantu cantiknya menunggu hingga tengah malam.
Amara mengangguk mendengar hal itu. "Kalau begitu, selamat malam Mom, Dad."
"Iya, selamat malam sayang." setelah menyematkan satu kecupan di kening Amara, Cintya berlalu pergi diikuti suaminya.
Amara mengangguk sopan, saat Ayah mertuanya mengucapkan selamat malam padanya dengan usapan lembut di kepalanya. "Dad dan Mom tidur dulu,"
🌹🌹🌹
Daneil menoleh dari balik bahunya saat mendengar suara pintu dibuka. Sebelum kemudian kembali melanjutkan kegiatannya membuka kancing kemejanya. Tak perduli pada wanita yang kini berjalan mendekatinya.
"Ingin aku bantu?" Tawar Amara setelah berdiri di samping suaminya.
Daneil mendengus, "tidak perlu," ujarnya bertepatan dengan selesainya kancing kemejanya yang terbuka. Tanpa peduli dengan keberadaan Amara, Daneil membuka kemejanya lalu membuangnya pada keranjang pakaian kotor.
Amara menahan nafas saat disuguhi pemandangan tubuh tegap milik suaminya. Ia tak menampik jika Daneil memiliki perawakan tubuh yang indah dengan wajah yang rupawan. Yah, hanya sifatnya yang buruk, Lelaki itu terlalu keras kepala dan dingin.
"Kenapa?" Daneil bertanya dengan senyum sinis saat mendapati wajah Amara memerah melihatnya.
Amara yang mendengar itu, langsung mengalihkan perhatiannya dari Daneil. "Tidak ada," ujarnya berusaha sebiasa mungkin. Jangan sampai Daneil menyadari jika saat ini Ia tengah memuji diri lelaki itu.
"Apa kamu sedang berpikir tentang ..." Daneil berucap pelan, lelaki itu sengaja menggantung ucapannya. Menatap Amara yang saat ini juga menatapnya, seolah mengisyaratkan akan kelanjutan ucapannya.
Jantung Amara tanpa dapat dicegah berdegup kencang, Ia tahu maksud dari kelanjutan ucapan suaminya.
"Jangan terlalu banyak berharap, karena aku tak akan sudi menyentuhmu." Bisikan kejam Daneil di telinganya, menyadarkan Amara dari lamunannya. Setelahnya lelaki itu berlalu ke kamar mandi, meninggalkan Amara yang masih terperangah.
Menggeleng pelan menolak pemikirannya, Amara memilih untuk membuka lemari pakaian milik Daneil. Ia mulai memilihkan celana juga baju untuk lelaki itu kenakan. Pilihan Amara jatuh pada celana panjang jogger pants dan kaus polos putih.
Tak lama setelah itu, pintu kamar mandi terbuka. Menampilkan Daneil yang saat ini hanya mengenakan selambar handuk di pinggangnya. Bahkan, air masih menetes dari rambut basah lelaki itu sebelum kemudian mengalir di dada bidanganya.
Amara terburu-buru menghampiri Daneil yang kini akan membuka lemari pakaiannya. Gadis itu kemudian mengangsurkan lipatan baju dan celana yang sudah Ia ambilkan pada Daneil. "Ini, aku sudah menyiapkan pakaian untukmu." Ujarnya.
Daneil menoleh, memandang lipatan pada tangan Amara. Lelaki itu kemudian menaikan alisnya, mencemoh. "Aku tidak ingin memakai itu," ujar Daneil membuka lemari pakaiannya. Lelaki itu mulai memilih pakaian untuknya kenakan sendiri.
"Kenapa?" tanya Amara menanti jawaban.
Setelah mengambil satu setel baju, Daneil berbalik menghadap Amara. "Karena kamu yang memilihkan," ujarnya kembali berbalik ke kamar mandi.
Amara tersenyum getir mendengar itu, Ia pandang setelan baju di tangannya. "Yah, aku tahu itu." Bisiknya pada dirinya sendiri.