Kami keluar, tetapi lewat depan. Karyawan supermarket sempat bertanya dan Mr. Dwayne tak memperdulikan.
Mr. Dwayne mengambil sebuah topi hitam dan langsung memakaikan padaku setelah selesai membelinya. Aku terkejut dia mempunyai uang, yang di simpan selama 13 tahun?
"Jaga identitas mu agar tak dikenal." Mr. Dwayne berbisik.
Di luar, 3 orang yang ku tahu adalah orangnya Inho sedang menyisir pandangan ke seluruh kota.
"Kau siap?"
"... Ya" ucapku ragu.
Mr. Dwayne lalu keluar. Ia berusaha agar dirinya dilihat oleh para penjaga itu dan Mr. Dwayne pun berlari saat tiga orang mulai mengejar. Tidak tiga, ada dua orang lagi menyusul.
Setelah ku rasa cukup aman. Aku pun keluar. Aku menarik topi semakin ke depan dan mulai berjalan cepat.
Sejauh ini aman. Aku mulai memasuki pasar. Ya ampun, pasarnya sama ramainya seperti siang hari. Bau masakan melewati indra penciuman ku dan perutku langsung minta makan.
Tunggu sebentar, Mr. Dwayne menyuruhku pergi ke pasar lalu setelah itu apa yang harus kulakukan? Mencari rumah paman? Tapi aku tak tahu di mana. kembali ke Newhylen't? aku tak punya uang untuk ongkos taksi.
Oh shit, seseorang menabrak pundakku dengan keras.
"Jeoseonghamnida" pria itu membungkuk lalu pergi.
Aku mengambil topi yang sempat terlepas saat nabrak pria asing itu namun orang sekitar menginjak dan menendang topiku ke sana kemari.
Seseorang memegang tanganku, sontak aku menoleh. Itu adalah pria asing yang menabrakku tadi. Dia menarik ku. Tunggu dulu, dia orangnya Inho.
"Tolong! pencuri" teriakku
Orang sekitar melirik, tampak seorang pria mendorong bahu si penjaga itu.
Tanpa basa-basi aku terus berlari dan menabrak bahkan mendorong orang-orang yang ada di depan. Tapi aku tak bisa terus berlari atau kejadian tempo hari akan terulang lagi.
Aku bersembunyi di belakang rak buah. Aku menaruh jari telunjuk di bibir isyarat agar si penjual buah tak tetap diam dan tak memberitahu keberadaan ku.
"Apa kau dikejar orang jahat? Ayo bersembunyi saja di dalam kios ku" penjual buah itu membukakan pintu kios nya. Aku langsung masuk dan bersembunyi di balik meja panjang tempat menaruh buah. Pria penjual buah itu baik sekali.
Aku duduk dan mengatur nafas. Melelahkan.
"Kau mencoba kabur apa kau tahu ada banyak orang kunci kota ini aku tak bisa berlari dan bersembunyi di manapun" suara Inhou bergema di otakku. Benar, aku tak bisa mempercayai siapapun.
"Dia di dalam." ucap si pria penjual buah yang bisa ku dengar jelas dari dalam. Rupanya pria itu adalah komplotan Inho.
Untunglah aku bisa kabur lewat pintu belakang. Penjaga-penjaga itu menyadarinya. Aku terpaksa berlari lagi.
Aku harus mencari tempat bersembunyi. Gang yang ku masuki ini minim pencahayaan dan sangat sepi.
Aku berjongkok dan bersembunyi di balik tempat sampah. Benar-benar tak ada penerangan di sini. Bagus, mereka takkan menemukanku.
Mereka beberapa meter dari ku. Tampaknya mereka bingung karena kehilangan jejakku. Akhirnya mereka pergi, tapi ke arahku.
Aku ketakutan dan berusaha tak membuat suara sedikitpun.
Syukurlah mereka melewati ku dan terus berlari menjauh. Aku tak pernah selega ini sebelumnya.
aku memeluk lutut dan anehnya aku baru menyadari kalau udara sedingin ini.
Kelelahan, kedinginan, kelaparan, dan ketakutan. komplit sekali. Entah sampai kapan aku begini terus.
Ku tenggelamkan kepala diantara kedua lengan ku di atas lutut.
Bingung. Aku harus mencari telepon dan menghubungi manajer Yeong.
Seharusnya aku menuruti perkataan nya dan permintaannya yang ingin liburan ke Norwegia. Disana aku bisa melihat Aurora. Tapi di sini... menyebalkan.
Bagaimanapun juga ini adalah perintah paman. Dulu ia tak mengizinkan ku kesini, tapi sekarang malah menyuruhku pulang. Sepertinya dia ingin membicarakan hal penting denganku. Tapi apa? berpikir malah membuat otak ku ingin meledak.
Angin berhembus pelan membuat bulu kuduk meremang.
Ya tuhan ini dingin sekali dan aku kelaparan, hiks.
"Apa kau lelah berlari terus?" Suara itu... Inho.
Aku mendongak. yah, tercyduk. Bagaimana pria ini bisa menemukanku? Padahal aku sudah bersatu dengan kegelapan malam.
Ia menarik tanganku untuk berdiri dan akupun berdiri. Entah bagaimana raut wajahnya saat ini, aku tak dapat melihat wajahnya.
Inho melepas jas nya dan memakaikan padaku. Wah wah wah, pria ini ingin membuat jantungku copot.
Ia menarikku pelan menuju mobil yang sudah terparkir di ujung gang.
"Apa kau lapar?" Inho bertanya saat mobil sudah melaju.
Apa-apaan?! Kenapa tiba-tiba begini? Maksudku, kenapa ia peduli? Sifatnya benar-benar tak bisa ditebak.
Aku mengacuhkannya dan menatap keluar jendela. Dan aku teringat seseorang. Bagaimana dengan Mr. Dwayne? Apa ia selamat atau tertangkap? Jika ia, aku tak yakin dia akan tetap dikurung di dalam sel. Apakah ia akan berakhir seperti wanita yang menolongku ditelepon umum?
Ya! Dia membantuku keluar. Dan Inho bilang akan membunuh siapapun yang menolongku. Semoga saja Mr. Dwayne berhasil kabur.
Mobil berhenti, tidak di rumah Inho tapi disebuah restoran cepat saji.
Inho menyuruhku keluar dan di dalam aku disuguhkan oleh meja bundar elegan dengan dua kursi berukir bunga indah. Ternyata memesan ruang privasi sehingga hanya ada aku dan dia di sana(?)
Makanan datang dan memenuhi meja. Aku menelan saliva. Di sampingku, Inho mulai mengambil sumpit aku tak tahu kenapa ia ingin duduk bersebelahan dengan ku. Apa ia takut aku lari lagi? rasanya tidak. Ia mulai menyuapiku.
Aku menatapnya sejenak, lalu beralih pada makanan yang ingin memasuki mulutku.
"Aku tak suka wortel."
Inho menaruh makanan itu di piring dan memilah yang mana wortel dan mengasingkannya. Dapat disimpulkan bahwa dia menuruti perkataanku.
Inho menyuapiku lagi.
"Stop." Kataku. "Aku alergi udang."
Inho meletakkan kembali makanan itu dan menyuapiku lagi. Kali ini tanpa wortel dan udang.
"Tunggu."
"Apa lagi sekarang?" Inho akhirnya angkat bicara dengan raut datarnya.
"Tak perlu repot-repot menyuapiku. Aku bisa sendiri."
Ku lihat garpu yang nganggur dan langsung mengambilnya dengan tangan kiri, lebih tepatnya aku menggenggam garpu itu.
Aku menancapnya pada sepotong roti dan langsung memakannya. Walau terlihat seperti anak kecil yang baru belajar menggunakan sendok.
Inho meletakkan kembali sumpitnya di piring dengan kasar. Ia lalu menyandarkan diri pada kursi. Ia mendengus kesal sambil memandang sekeliling.
Ya ampun, dia lucu sekali.
Ayolah Sia, buang jauh-jauh perasaan itu.
"Apa kau masih tak ingin memberitahu ku kediaman Rae Won?" Ku sadari Inho menatapku.
"Apa kau tak paham bahasa? AKU-TAK-TAHU-INHO!" Ucapku, menekankan pada setiap kata.
"Jadi kau sudah mengingatku?"
"Emm... Begitulah." Aku memainkan makanan yang ada di piring. "Kau jauh dari yang ku bayangkan. Ku kira kau orang yang baik."
Inho mengambil satu buah anggur dan memakannya. "Mafia bukanlah orang yang baik, Se Na" santai sekali cara bicaranya.
"Namaku Lee Sia, bukan Se Na."
"Aku tak mengenal Lee Sia si artis. Aku hanya mengenal Kim Se Na yang ceroboh dan keras kepala." Ia bangkit dan berjalan keluar. Sebelum itu, ia sempat menyuruhku menghabiskan makanan yang ada di meja.
Apa-apaan itu? Baek Inho yang ku kenal tak jauh beda dari yang sekarang. Sama-sama menyebalkan.