Perfect! Ramai orang disini.
Inho melepas genggaman dan ia juga melepas syalnya dan melingkarkan di leherku.
"Cuaca semakin dingin. Pakailah pakaian hangat agar tak sakit"
Mengapa sikapnya membuatku deg-degan? Fokus Sia!
Baiklah, yang perlu ku lakukan sekarang adalah agar orang-orang melihatku. Mereka lalu akan mengerumuni ku untuk meminta tanda tangan dan saat itulah aku dapat melarikan diri. Kali ini tak boleh gagal.
"Pakai ini" Inho memberikan sebuah kacamata.
"Mwe?"
"Ini penyamaran. Kalau orang-orang heboh melihat Lee Sia, itu akan merepotkan." Inho memakaikanku kacamata.
"Ini tak cukup membantu"
"Kalau begitu, berusahalah tak dikenal. Kalau ada yang mengenalmu, aku akan langsung mengiringmu ke mobil." Inho kembali menggenggam tanganku dan kami pun masuk.
Mission failed... Again. Baiklah, yang harus ku lakukan sekarang adalah mengalah.
.
.
.
"Aku ingin naik roller coaster!" Bujukku.
Inho memandang rel roller coaster yang tinggi.
"Ngga"
"Mwoya?! Lalu untuk apa kita kesini kalau tak naik roller coaster?"
"Cari saja wahana lain"
"Apa kau takut?"
"Aku hanya... Tidak tertarik menaiki itu" Inho menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Dia takut rupanya. Batinku sambil menyipitkan mata padanya.
"Sudah ku bilang aku tak takut" Inho menatapku kesal.
What? Pria ini bisa mendengar isi hatiku. Tidak sekali, 2 sampai 3 kali terjadi. Apa dia Edward Cullen si vampir pembaca pikiran? Tapi Edward kan tak bisa membaca isi hati Bella, pacarnya. Tunggu dulu! Apa aku sedang menperumpamakan diriku sebagai Bella? Hah, lucu sekali.
"Ayo" aku menarik tangan Inho.
"Kemana?"
"Naik roller coaster dong"
〰️⚜️〰️
Senang sekali rasanya. Akhirnya Edward, maksudku Inho mengizinkanku naik roller coaster walau aku harus merengek seperti anak kecil.
Sayangnya, Inho duduk di belakang. Kursi sampingku diisi oleh anak perempuan yang begitu antusias duduk di barisan terdepan.
Selama di atas kereta, aku tak berhenti berteriak walau kalah dari teriakan anak kecil di sebelahku. Jadi penasaran, bagaimana ekspresi Inho. Tegang? Takut? Atau malah senang?
Setelah kereta berhenti, aku keluar dan Inho sudah berada di sampingku sambil mengatur rambutnya yang berantakan.
Ah sial, dia langsung memasang wajah dinginnya. Aku kan jadi tak tahu bagaimana ekspresi nya tadi.
"Ayo pulang"
"Kenapa buru-buru? Kita berkeliling mencari wahana lain"
Kali ini akan ku pastikan Inho duduk di sampingku.
"Rumah hantu!" Aku menunjuk. "Ayo kita masuk ke sana" aku begitu bersemangat.
"Membosankan."
"Kau belum masuk dan sudah bisa menyimpulkan. Jangan bilang kau takut"
"Yaa! Aku tak takut."
"Jin-jja?" Godaku.
"Ayo masuk ke rumah horor itu"
"Yey!"
.
.
.
Ku pikir ini rumah hantu, ternyata rumah zombie. Tapi tak apa, ini sama menakutkan.
Di dalam, suara bisikan zombie terdengar. Kami melewati lorong yang gelap. Lampunya di buat rusak sehingga kadang redup dan kadang nyala. Tapi aneh, tidak ada dinding di sampingku. Terlihat seperti jeruji besi.
"Aaa...!" Aku terkejut, ada zombie meronta ingin keluar dari jeruji besi itu. Tangannya hampir meraihku.
"Berisik. Jangan berteriak di telingaku" tatapan Inho masih lurus ke depan
Apa-apaan ini? Dia tak takut sama sekali. Menyebalkan!
Sesuatu terjatuh dari atas. Sontak aku kaget karena sosok zombie yang lehernya digantung dan wajahnya tepat di depan wajahku.
"Sudah kubilang jangan berteriak di telingaku. Ini hanya boneka" Inho menjauhkan boneka zombie itu.
Kami melanjutkan perjalanan dan kami hampir keluar.
Aku tiba-tiba berhenti berjalan. Aku menutup mulut menahan teriakan agar Inho tak memarahiku lagi.
"In... Inho" panggilku ketakutan.
"Hmm?"
Aku menunjuk ke bawah "Ada yang memegang kakiku."
"Sebentar" Inho mulai merunduk.
Aku bisa melihat. Sebuah tangan yang dibuat sangat mirip dengan tangan manusia mencengkeram kakiku. Apalagi ditambahkan dengan noda merah agar terkesan seperti darah. Mirip sekali dengan tangan manusia. Hahaha... mereka sungguh berbakat. Tapi tunggu, apa tadi tangan itu bergerak?
"Ini hanya tangan palsu" Inho mendongak menatapku lalu dia berdiri. "lebay"
Tatapan ku kosong. Dan aku melihatnya. Matanya bersinar merah. Aku menelan saliva.
Dia mulai membuka mulutnya. Ya ampun, mulutnya lebar sekali. Darah menetes dari dalam mulutnya. Dia juga mengeluarkan suara layaknya zombie.
"Argh..."
Oh tidak, jangan sampai ia mendongak. Aku saja tak sanggup melihat mulut lebarnya, apalagi wajahnya.
Aku pun memeluk lengan Inho. Tidak, aku memeluk angin. Dimana Inho?
Akhirnya ku sadari dia sudah lari terbirit-birit keluar.
"Yaa! Inho! Jangan tinggalkan aku!" Aku mengejarnya. Untunglah si zombie melepas kaki ku.
Sesampainya di luar, aku mendapati Inho terduduk sambil mengelus dadanya. Aku mengatur nafas sampai akhirnya bicara.
"Kenapa kau tadi meninggalkan ku hah?!" Aku berbicara dalam satu tarikan nafas.
"Mian... Mianhae! Tadi aku... Tak memikirkan hal lain selain... Menyelamatkan diri" Inho masih terlihat ngos-ngosan dan... Pucat?
"Bwahahaha..." Tawaku pecah. "Ternyata orang sepertimu takut pada hantu. Lihat wajahmu itu... Lucu sekali"
Tercyduk kau Inho. Tak ku sangka dia takut pada hantu.
"Aku tak takut, aku hanya kaget." Inho berdiri dan memasang tampang serius.
"Alasan" aku tak lagi tertawa hanya senyum-senyum sendiri mengingat kejadian tadi.
"Mwe?" Aku baru menyadari Inho dari tadi memperhatikan ku.
Inho segera mengalihkan pandangannya dan berdeham. "Bukan apa-apa"
Dia diam-diam memperhatikan ku rupanya. Imut sekali.
"Permisi... Apa kau Lee Sia?"