Chereads / aku, kamu, and sex / Chapter 21 - Antara adik dan kakak

Chapter 21 - Antara adik dan kakak

Arya merapikan kertas-kertas yang tadi dilemparkan Ronald, sehingga berhamburan ke seluruh lantai dalam ruangan rawat inap, menyusunnya lembar demi lembar secara beruturan, walau Arya adalah asisten pribadi Ronald namun laki-laki muda ini tidak pernah tahu kehidupan pribadi seorang Ronald. Kehidupan Ronald sangat tertutup walau dia dikenal sebagai pribadi yang ramah. Sering Arya merasa penasaran mengapa setiap kali marah Ronald berubah menjadi sosok yang menakutkan, dan ketika dalam situasi normal Ronald menjelma bagaikan malaikat.

Rey memeluk erat tubuh kakaknya, menyalurkan kekuatan dalam dirinya untuk menjaga Ronald kakak semata wayangnya. Beberapa menit kemudian Ronald mengurai pelukannya, dengan wajah merah menahan amarah atau terlalu bersedih sungguh Ronald sendiripun tidak mengerti apa yang sebenarnya dia rasakan.

"Kak, Istighfar kak." Bisik Rey sebelum melepaskan tubuh kakaknya dari dalam pelukannya.

Ronald diam, tidak menanggapi apa yang dibisikkan adikknya.

"Astagfirullahhaladzim.." Rey membimbing kakaknya melafalkan kalimat itu berulang-ulang. Tak berapa lama Ronald menunduk dan air matanya sudah tak mampu lagi untuk ia bendung. Ronald menangis. Rey kembali memeluk tubuh kakaknya, sambil terus beristighfar.

"Astag..firullah..haladzim." Ronald terbata mengucapkan kalimat istighfar namun Ia berusaha untuk terus mengucapkannya. Rey mengusap pungung kakaknya, Ia sangat bersyukur Ronald mau mengikuti ucapannya, dalam hati Ia berdoa semoga Ronald dapat berubah menjadi orang yang lebih baik dan berjalan sesuai syariat agama.

Arya menatap pada dua sosok pria tampan yang sedang berpelukan, pemandangan yang sangat mengharukan, seorang adik yang menguatkan kakaknya. Dan seorang kakak yang tak segan dan malu mengungkapkan apa yang dirasakan pada adiknya. Arya tersenyum, dalam hatinya dia bangga pada sosok bos nya itu. Tanpa mengetahui bahwa Ronald adalah seorang gay.

"Arya, kamu pulang saja ini sudah malam, biar kak Ronald saya yang menjaganya."

"Baik Pak Rey, besok pagi saya akan kemari lagi untuk membawa berkas yang baru."

"Untuk sementara saya yang akan menghandle kerjaannya kak Ronald, jadi untuk sementara kamu bekerja dengan saya, sampai kak Ronald pulih."

"Baik Pak."

"Dan tolong ayah saya jangan sampai tau dengan apa yang baru saja terjadi, saya tidak mau ayah menjadi khawatir dan kembali sakit."

"Baik, Pak."

"Ya sudah, silahkan kalau kamu mau pulang."

"Baik, Pak. Kalau gitu saya permisi." Arya menganggukkan kepala pada Ronald dan berlalu meninggalkan ruang rawat inap Ronald.

"Kak, kakak sebenarnya kenapa, ceritakan padaku, aku akan mendengarkan." Ronald masih diam.

"Kak, kita itu saudara kandung, kau saudaraku satu-satunya, aku ga bisa lihat kakak seperti ini, ceritalah kak, aku tak kan memarahimu sekalipun kau pada posisi yang salah, kakak harus percaya padaku."

Ronald mengusap wajahnya, kemudian mendongak, manatap mata bening milik sang adik.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, aku ingin marah tapi aku juga bingung, terkadang aku tidak mengerti dengan apa yang aku lakukan, selama ini Danil yang selalu menenangkanku, tapi sekarang aku kehilangan dia." Wajah Ronald menunduk sedih. Rey mengernyitkan dahi.

"Kakak mau mendengar saranku?"

"Apa?"

Rey menarik nafas panjang, dia harus berhati-hati dalam menyampaikan sarannya, jangan sampai membuat Ronald salah paham, dan akhirnya Ronald akan membencinya, sungguh Rey tidak menginginkan hal itu terjadi.

"Kakak harus konsultasi ke psikiater."

Mendengar Rey mengucapkan kata 'psikiater' ada keterkejutan yang terjadi dalam hatinya. Ronald mencoba menerka, apakah Rey tahu tentang kelainan seksualnya? apa Rey tahu hubungan dia dengan Danil. Sebelum pertanyaan itu terjawab Rey sudah melanjutkan ucapannya.

"Maksudku begini kak, aku berfikir jangan-jangan kakak berkepribadian ganda, mengingat kakak pernah mengalami kejadian yang membuat trauma mendalam." Sebenarnya Rey ingin memancing Ronald agar bercerita secara terbuka tentang kelainan seksualnya, dengan begitu dia akan mudah menolong Ronald agar tidak lebih terjerumus pada hal yang negatif.

"Dari mana kamu bisa berfikir kalau aku berkepribadian ganda?"

"Kakak bisa tiba-tiba marah tak terkendali, namun setelah itu kakak akan kembali normal seperti tidak terjadi apa-apa setelah kakak melampiaskan amarah kakak, kalau ini dibiarkan aku takut kakak akan menjadi psikopat, aku ga mau itu terjadi, dan kakak tiba-tiba marah sama Danil? takut kehilangan? lha kan lucu, kata Arya tadi kak Danil ga ngomong apa-apa, ga marah juga, ga bilang selamat tinggal, lalu bagaimana kakak bisa bilang dia mau meninggalkan kakak? kalian masih bersahabat seperti dulu, hanya bedanya dia sudah menikah, lalu salah Danil dimana?"

Ronald terdiam, dia sedang berpikir apa yang harus dia lakukan, apa dia harus jujur pada adiknya ini? atau dia akan diam dan mengikuti saran darinya saja?

"Kakak kog malah nglamun, kakak denger ga sih aku dari tadi ngomong?"

"I..I..iya denger."

"Kenapa gugup?"

"Rey.."

Rey mengeser kursinya agar lebih dekat dengan ranjang ronald.

"Sebenarnya.."

Rey menunggu kalimat yang akan diucapkan oleh kakaknya dengan sabar, Rey sangat tahu kondisi kejiwaan Ronald dari sang Ayah, Jadi Rey akan lebih sabar menghadapi kakaknya ini.

"Sebenarnya, aku itu gay."

Rey menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, benar kata Jelita mendengar kejujuran langsung dari orangnya, benar-benar sangat menyakitkan, tapi ini lebih bai, paling tidak dia akan lebih mudah membimbing kakaknya kembali ke jalan Allah. Kemudian Rey menatap ke arah Ronald, kemudian tersenyum.

"Masih ada waktu untuk bertobat kak, dan aku yakin kakak bisa kembali menjadi laki-laki normal."

"Kamu tidak marah padaku? kamu tidak merasa jijik padaku?"

"Kenapa aku harus marah? kenapa aku harus jijik? Kau kakak ku dan kau tidak melakukan kesalahan apapun, aku ada untuk kakak, mari kita buat bangga orang tua kita kak, kau harus kembali normal kak."

"Trimakasih Rey kau benar-benar adik kecil yang baik."

"Ya Salam, apa yang aku katakan tadi apa tidak membuktikan kalau aku ini sudah besar?" Rey mendadak jadi kesal dan meninggalkan Ronal menuju sofa dipojok ruangan, dan merebahkan tubuh jangkungnya disana. Ronal terkikik melihat tingkah adiknya yang sedang kesal.

"Kakak tidak usah senyam senyum seperti itu, aku mau tidur, Sana kakak juga tidur." Rey semakin sewot, sedangkan Ronald malah tertawa dan melemparkan satu bantalnya ke arah Rey yang sudah memejamkan matanya.

"Kakak sialan!" ucap Rey sambil meletakkan bantal yang tadi menghantam badannya ke belakang kepalanya.

Ronald memandang adiknya yang telah terlelap, bersyukur didalam hatinya mempunyai adik yang begitu menyayanginya, begitu mengerti keadaannya. Dia harus berubah. Harus. Ronald benar-benar menanamkan kata-kata itu didalam otaknya seperti sebuah mantra, berharap tekadnya tidak pernah surut, demi orang-orang yang menyayanginya.