Damar berjalan pelan mendekati sebuah kardus yang nampak bergerak sendiri. Dia bertanya-tanya dalam hati, apa isi kardus itu. Apa mungkin binatang buas? Ular mungkin. Dengan bantuan sebuah kayu, dia menggulingkan kardus bekas sabun cuci bermerk tersebut.
"Astaghfirullah!" teriaknya saat isi kardus itu meluncur keluar dibarengi dengan suara tangisan bayi yang kencang.
"Duh, gusti. Kok, ada bayi di sini. Edan bener manusia ini. Tega bener naroh bayi di tempat seperti ini. Duh, sayang-sayang, cup-cup. Jangan nangis lagi. Ikut Pak Dhe pulang, yaa." Damar menggendong bayi kecil yang masih meronta dalam pelukannya. Didekapnya erat agar bayi itu merasa hangat dan tenang.
Tiba-tiba sebuah cincin meluncur dari kain yang membungkus bayi itu. Sebuah nama terukir di sana. Mungkin itu adalah cincin dari orang tua bayi itu.
"Bayi malang. Mulai sekarang kamu kuberi nama Ranaa Pamulang Sakti. Kamu perempuan tapi harus jadi laki-laki di tempat seperti ini, agar kamu tetap aman dari preman-preman jalanan itu. Ranaa. Kamu harus kuat, ya, Nak." Damar menarik sebuah tali dan mengikat cincin itu, dijadikannya mata kalung yang lalu dipakainya.