"Bagus Ran. Kamu memang selalu bisa kuandalkan." Pak Hardjo Kuncoro Ningrat-bos Ranaa, memujinya setiap dia berhasil menyelesaikan tugas dengan baik. Ranaa bekerja sebagai sopir sekaligus bodyguard lelaki itu. Kemampuan bela diri Ranaa memang melesat sejak dia bergabung dengan salah satu sanggar terkenal di kota Surabaya ini. Namun begitu, dia tidak pernah mau diajukan untuk maju dalam jajaran atlet nasional. Dia berkilah, kemampuannya hanya untuk melindungi diri, bukan untuk menjadi atlet terkenal.
"Ran. Besok kita pergi ke Singapura. Aku sudah siapkan segala keperluanmu. Aku mau kamu yang mengawalku kali ini." Pak Hardjo adalah owner sebuah perusahaan besar yang bergerak di banyak bidang. Setidaknya ada tiga anak perusahaan yang dia kembangkan, bisnis IT, travelling, dan retailer.
Selama ini Ranaa bukan pengawal tetap Pak Hardjo, dia hanya bertugas saat dibutuhkan saja.
"Baik Pak," jawab Ranaa tegas.
"Kamu tahu Ran. Kalau melihat kamu, aku jadi teringat pada seseorang," ujar Pak Hardjo sendu. Dia menepuk-nepuk bahu Ranaa sambil menerawang jauh ke depan. Seolah sedang melihat sesuatu yang menyedihkan. Ranaa hanya terdiam, dia memang membatasi diri agar tak terlalu mencampuri urusan pribadi bosnya tersebut.
"Ya sudahlah. Kamu bisa kembali besok jam 06.00 pagi. Pesawat akan take out jam 10.00, sebelumnya ada yang ingin aku kerjakan dulu di kantor travel cabang Rungkut."
"Baik Pak," jawab Ranaa tetap dengan sikap tegasnya.
Pak Hardjo pun melangkah masuk ke dalam rumahnya, sementara Ranaa segera menutup garasi dan berpamitan pada satpam rumah itu untuk pulang.
🌼🌼🌼🌼🌼
"Baru pulang Bang?" tanya Bagas saat melihat Ranaa masuk di saat jam dinding sudah menunjukkan pukul 10.00 malam.
"Astaghfirullah! Kamu ngagetin aja!" Ranaa mengangkat tangan hendak memukul Bagas tapi ditahannya. Bagas hanya nyengir melihatnya.
"Kenapa belum tidur?" tanya Ranaa pada pemuda yang kemudian ikut duduk di sebelahnya.
"Nggak bisa tidur," keluh Bagas.
"Ga usah ngeluh. Aku nggak pernah maksa kamu untuk tinggal disini. Kalau kamu merasa nggak nyaman, kamu bisa pergi, kok," ujar Ranaa santai.
"Ngusir kamu Bang? Tega!" rengek Bagas.
"Susah ngomong sama kecoa. Salah paham melulu," desis Ranaa pelan.
"Apa Bang? Mana kecoa?" tanya Bagas panik.
"Tuh, lagi duduk santai di sebelahku," jawab Ranaa kalem. Bagas mengerucutkan bibirnya. Mereka pun terdiam beberapa saat.
Ranaa sedang memikirkan persiapan kebutuhannya besok saat bertugas ke Singapura dengan pak Hardjo. Sedangkan Bagas juga bergelut dengan pikirannya sendiri untuk segera mendapat pekerjaan demi tak merepotkan pemuda di sampingnya.
Setelah sekian lama tanpa obrolan diantara mereka.
"Tidurlah. Kalau tetap nggak bisa tidur setidaknya lakukan pekerjaan yang bermanfaat. Jangan hanya duduk melamun di situ," ucap Ranaa sambil beranjak menuju kamarnya.
"Pekerjaan bermanfaat? Apa itu Bang?" tanya Bagas antusias.
"Ya ... misalnya, membersihkan kamar mandi," jawab Ranaa tanpa menunggu respon Bagas, karena dia segera menutup pintu kamarnya seusai berkata demikian. Membuat Bagas kembali mengerucutkan bibir dan mengerutu sendiri.
Ranaa tersenyum sendiri di balik pintu kamarnya. Dia merasa heran dengan dirinya. Selama menjalani kehidupan sebagai lelaki, dia tak pernah merasakan perasaan apapun bila berhubungan dengan banyak pria. Tapi dengan Bagas, entah kenapa ada perasaan aneh yang tidak bisa dia artikan.
Kadang jengkel, tapi juga ada rasa senang saat dia berhasil menjahili pemuda itu. Ranaa suka melihat ekspresi wajah Bagas yang sangat sulit ditebaknya.
Ah, sudahlah. Ranaa tak ingin terlalu dalam memikirkan hal itu. Mungkin semua itu hanya karena dia belum pernah bertemu dengan pemuda dengan tipe seperti Bagas. Jadi Ranaa hanya sekedar tertarik, bukan mengagumi.
🌼🌼🌼🌼
"Mau kemana Ran? Pagi begini sudah rapi," tanya Hasan saat melihat Ranaa sudah bersiap dengan ransel di pundaknya.
"Ada tugas penting dari bos," jawab Ranaa sembari menali sepatu ketsnya. Sebagai bodyguard, pakaian Ranaa memang tidak seperti pak Tejo, bodyguard asli pak Hardjo. Ranaa memang meminta hal itu agar teman-temannya tidak ada yang perlu tahu akan pekerjaannya. Bukan apa-apa, Ranaa takut membuat mereka khawatir dengan resiko pekerjaan sebagai bodyguard orang penting, yang artinya harus rela menukar nyawanya demi melindungi orang yang membayarnya.
"Menginap?" Hasan melirik ransel Ranaa.
"Semalam saja, kok."
"Oh. Hati-hati, ya," ucap Hasan pelan.
"Iya. Titip anak-anak, ya," pinta Ranaa sungguh-sungguh.
"Tenang aja. Mereka aman sama Hasan." Dia menepuk dadanya bangga.
"InsyaAllah aman. Jangan mendahului takdir dengan kata-kata itu. Bukan pula berarti kita tidak yakin, tapi lebih pada bagaimana kita menyerahkan semuanya pada Allah, sang penguasa hidup." Ranaa berujar bijak.
"Oh, iya. Siap bos!" ucap Hasan lantang sambil mengangkat tangan hormat pada Ranaa.
"Hahaha, bisa aja. Aku berangkat dulu San. Assalamualaikum," salam Ranaa sambil beranjak keluar.
"Ya. Waalaikumsalam. Jangan lupa, pulang bawa duit yang banyak, ya," goda Hasan.
"Insya Allah." Ranaa tersenyum menyambut godaan tersebut, "Kek istri lagi ngantar suaminya berangkat kerja aja."
"Hamp*t!" umpat Hasan seraya terbahak mendengar gurauan Ranaa.
Usai mengantar Ranaa ke depan, Hasan kembali ke dalam untuk membangunkan para penghuni yang lain.
"Bangun! Bangun! Subuh! Subuh! Kerja! Kerja!"
Plak! Plak! suara tabokan mesra Hasan mendarat di tubuh para lelaki yang masih bergelut di kasur mereka masing-masing.
"Halah Saaan, masih ngantuk, niih," protes mereka dengan nada yang sama.
"Kebiasaan! Ayo bangung!" Hasan menarik selimut tipis mereka satu persatu. Suara riuh terdengar begitu mata-mata terpejam mereka mulai terbuka meski dengan enggan.
"Woy! Bagas! Bangun!" teriak Hasan di telinga lelaki yang malah menaikkan selimut menutupi seluruh kepalanya.
"Shit! Han**k!" umpat kasar Bagas.
Plak! Hasan menampar mulut Bagas.
"Mulut ga sopan! Bangun cepet!" bentak Hasan sambil menyeret tubuh Bagas agar segera berdiri dari kasurnya.
"Iya-iya!" sentak Bagas sambil mengucek mata, "Tau ga, sih. Aku tuh, baru tidur tadi jam 3. Masa jam segini dibangunin, sih?" keluh Bagas.
"Salah siapa tidur jam segitu. Ngapain aja coba?" balas Hasan sewot.
"Kan, Bang Ran suruh aku bersihin kamar mandi tadi malem."
"Ha? Sumpah?"
"Saaaaan! Sikat gigiku mana?!" teriak Karim dari arah kamar mandi.
"Mas, sabunku juga hilang!" teriak Lintang
"Pasta gigiku mana, sih?" protes Asep
"Hei, itu sampoku. Jangan dihabisin!" teriak Joni tak kalah lantang.
"Hei, hei, apa ini pagi-pagi sudah ribut semua?"
"Barang-barang kami lenyap Mas San. Pasti tadi malem ada maling ...."
"Maling, maling! Maling kurang kerjaan ngambilin alat mandi?" sentak Hasan.
"Ya ... siapa tahu, dia memang maling spesialis alat mandi," gumam Lintang pelan. Cowok kecil berambut ikal itu nampak lucu dengan bibirnya yang berkerut-kerut.
"Ngawur! Ga boleh suudzon! berburuk sangka. Tuh, tanya sama Bagas," perintah Hasan sambil menunjuk Bagas yang masih berdiri dengan bingung.
Ada apa dengan Bagas?