Chereads / Ruang Rindu Ranaa / Chapter 3 - Bab 2

Chapter 3 - Bab 2

Ranaa terpaku melihat dua orang yang saat ini beradu mulut di depan petugas kepolisian. Ternyata mereka adalah kakak beradik yang tengah memperdebatkan kejadian yang melibatkan Ranaa. Sang kakak merasa sebal dan tak punya cara lain untuk membuat adiknya menyudahi kenakalannya.

Ranaa mengusap ujung hidungnya saat para polisi pun dibuat jengkel oleh ulah mereka. Dengan anggukan kepala yang diberikan polisi di depannya, Ranaa berdiri dan bergegas meninggalkan mereka.

Ga penting banget!

"Bang! Tunggu Bang!" Pemuda tadi berteriak memanggil Ranaa yang sudah menapakkan kaki di halaman kantor polisi.

"Apa lagi?!" sentak Ranaa kesal.

"Bang, aku ikut Abang aja, ya? Daripada aku disuruh nginep di penjara ama kakakku."

"Heh! Urusan situ mo di penjara, kek, di rumah sakit, kek, di panti asuhan, kek, di rumah jompo, kek. Ga ada urusan ama akoh!!" bentak Ranaa menepis tangan pemuda itu yang sedari tadi berusaha menggamit lengannya.

"Yaaah. Abang tega ...."

"Tega aja! Situ bukan adik atau kakakku jugak!"

"Baaaang ... " Pemuda itu mulai merengek.

Ranaa tetap berjalan menjauh, tak memperdulikan rengekan manja pemuda itu. Cowok kok, kek cewek aja. Batin Ranaa.

Tiba-tiba, dia teringat pesan terakhir Damar. "Jangan cengeng. Jangan menangis. Lelaki tak boleh banyak nangis."

"Diem! Dasar banci!" bentak Ranaa sebal.

"Denger, ya. Aku bukan orang kaya yang punya rumah besar dan banyak pembantu, sehingga dengan mudahnya terima kamu ikut aku. Kamu pikir aku ga susah apa? Buat makan sendiri aja mesti kerja banting tulang, apalagi mau kasih makan kamu? Pikir!!" ucap Ranaa tanpa mempedulikan ekspresi pemuda yang mulai merengek lagi.

"Aku juga bakal.kerja, deh, Bang. Suwer."

"Suwer, suwer, pala lo!" sentak Ranaa, "Auk ah. Serah kamu, dah. Asal nggak gangguin aku aja." Salah satu kelemahan Ranaa adalah sifat ketidak-tegaannya yang sangat tinggi.

Pemuda itu bersorak. Dia melompat dengan girang.

"Oh, ya. Namamu siapa?" tanya Ranaa singkat tanpa mengulurkan tangan pada pemuda itu.

"Bagas Bang. Kalau Abang?" tanyanya dengan mata berbinar.

"Panggil aja Ran."

"Siap Bang Raaan." Senyum terkembang sempurna di bibirnya.

Tanpa disadari Ranaa, seorang gadis mengawasi tingkah mereka. Diam-diam dia tersenyum melihat mereka mulai berjalan bersama meninggal kantor polisi itu.

Beberapa menit sebelumnya.

"Kak. Kumohon, izinkan aku belajar mandiri. Aku akan mengikuti Abang tadi, aku akan belajar mengatasi kesulitan hidup ini dengannya. Boleh, kan?" pinta Bagas adik Sintya--cewek yang tadi bertengkar dengan Bagas.

"Heh! Kamu kira dia petugas sosial? Yang bisa ngurusin hidup kamu. Dia juga gelandangan, mau belajar apa kamu sama dia?" bentak Sintya.

"Bagas yakin Abang tadi bukan orang sembarangan. Bagas sepertinya pernah ketemu abang itu di suatu tempat. please, Kak. Boleh, ya, ya?" rengek Bagas memelas.

"Terus biaya hidupmu gimana? Jangan nyusahin orang aja bisamu."

"Aku akan kerja. Apapun. Aku janji nggak akan merepotkan siapapun lagi."

Sintya berdecak kesal. Antara iya dan tidak dia mulai menimbang permintaan adiknya. Sebenarnya itu adalah kesempatan buatnya untuk mengetahui seberapa serius tekat pemuda itu. Seorang pewaris perusahaan besar harus memahami dunia yang sangat kejam ini.

"Baiklah. Kakak izinkan. Tapi ...."

"Terima kasih, Kaak!" Bagas memeluk erat kakaknya tanpa mempedulikan lagi kelanjutan kata-kata Sintya. Dia bergegas mengejar pemuda yang baru saja menolongnya itu. Sintya hanya menggeleng-gelengkan kepala. Mudah-mudahan keputusannya tidak salah kali ini. Demi perusahaan papanya, dia harus merelakan adiknya menempa hidup yang sulit dulu.

🌼🌼🌼🌼

"Bang, Abang tinggal di mana, sih? Sama siapa? Udah kerja apa masih kuliah?" Ranaa menyumpal mulut Bagas dengan sepotong roti goreng yang hanya tersisa tiga biji setelah dibawa kabur Subambang.

"Kamu ternyata lebih cerewet dari cewek, ya? Atau jangan-jangan kamu memang banci?" sindir Ranaa

"Yaelah Bang. Kagak percayaan amat. Mau bukti?" Bagas berdiri lalu memegang restleting celananya, bergerak seolah akan membukanya.

Plak!

Spontan Ranaa melempar Bagas dengan sepatu ketsnya.

"Duduk! Belagu!" Sebersit rona pink nampak di pipi Ranaa. Dia berusaha menutupi kepanikannya dengan menundukkan pandangan dan memasang wajah garangnya.

'Sialan! Apa maksudnya dengan membuka celana dindepanku?' batin Ranaa kesal.

"Hehehe, siap Bang." Bagas kembali duduk dan mengunyah sisa roti yang tinggal segigitan.

"Bang, kira-kira pekerjaan apa ya, yang cocok buatku?"

"Tukang gosip."

"Oh, Presenter entertainment maksudnya? Wah Abang memang benar-benar jeli. Yaah, Abang benar, dengan tampang gantengku dan keahlianku berbicara, aku pasti cocok jadi presenter." Ranaa melongo mendengar pernyataan narsis Bagas. Dia hanya memutar mata sekilas, lalu mengecek ponselnya saat terdengar nada chat masuk.

[Ran. Segera datang. Bos menunggu.]

Pesan singkat itu mampu membuat Ranaa segera bangkit dan bergegas meninggalkan Bagas kebingungan sendiri.

"Bang! Mau kemana? Jangan marah, aku cuma bercanda." Bagas mengikuti langkah Ran.

"Kamu ngapain?" tanya Ranaa tanpa memalingkan wajahnya. Dia sedang menghubungi salah satu rekannya untuk membawakannya sebuah motor, agar dia bisa segera bertemu bosnya.

"Kan aku mau ikut Abang. Kemanapun. Ke neraka pun aku mau," gombal Bagas.

"Ck!" Ranaa hanya berdecih menanggapinya. Tak lama muncul seorang lelaki tinggi membawa motor yang langsung diambil alih Ranaa.

"San. Bawa manusia ini ke basecamp kita. Kamu bisa suruh dia apa aja. Bebas." Ranaa segera memakai helm dan dengan cepat melesat meninggalkan mereka berdua.

"Ayo!" Hasan, lelaki itu mengajak Bagas pergi.

"Eh, Bang. Namanya siapa? Memangnya Bang Ran pergi kemana?"

"Hasan. Kamu siapa?" tanya balik Hasan, dia memang orang yang ramah dan supel. Tidak sedingin Ranaa.

"Bagas, Bang. Bang Ran mau kemana?" Bagas mengulang pertanyaannya.

"Menemui bos."

"Bos? Berarti dia udah kerja? Kerja dimana?" Hasan mengedikkan bahu tanda dia tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Bagas. Mereka berjalan beriringan menyebrang jalan. Lalu duduk di kursi halte menunggu bus datang menjemput.

"Kami tidak pernah tahu apa pekerjaan Ranaa. Tapi dia adalah sosok pemimpin yang luar biasa bagi kami." Ada sorot mata kebanggaan di mata Hasan saat membicarakan Ranaa.

'Aku tahu feelingku benar tentang pemuda itu.' Batin Bagas.

"Ranaa?" gumam Bagas pelan.

"Apa?" tanya Hasan.

"Oh. Nggak Bang. Namanya Ranaa ya?" tanya Bagas sambil nyengir. Hasan hanya tersenyum menanggapinya.

Tak lama sebuah bus yang mereka tunggu pun datang. Dengan sigap mereka pun naik dan mencari kursi kosong. Untung bus itu tidak terlalu banyak penumpang. Bagas dan Hasan pun duduk dengan tenang.

Ternyata tempat yang mereka tuju memang tidak jauh. Pantas saja, tadi dia cepat sampai.

Sebuah rumah yang tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil, berada di tengah kampung yang lumayan padat. Banyak anak-anak berkeliaran di sekitar rumah itu. Kampung yang sangat 'produktif'.

Rumah itu hanya terdiri atas, ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang tengah yang lumayan luas, dapur, dua kamar mandi, dan dua kamar tidur yang sangat berbeda ukuran.

Satu kamar yang luas dengan banyak kasur yang berjejer rapi dan satu kamar kecil yang tertutup rapat. Di pintunya tertulis 'Kamar Bos'.

"Itu kamar siapa?" tanya Bagas penasaran.

"Kami tinggal berenam disini. Aku, Ranaa, Karim, Joni, Lintang, dan Asep. Yang dewasa hanya aku, Ranaa, dan Karim. Sedangkan Asep, Joni dan Lintang masih anak-anak, masih sekolah SD. Ranaa yang kami tunjuk sebagai Bos disini. Rumah ini juga dia sewa dengan uangnya. Dia yang menempati kamar itu." Hasan menunjuk kamar yang ditanyakan Bagas.

"Jadi ...."

"Ya. Kami tidur jadi satu di kamar yang besar itu. Tapi tenang, kami mempunyai kasur sendiri-sendiri. Kamu tetap duduk disini atau mau ikut aku?" Bagas masih terkesima, tak disangka dia harus berada di tempat seperti ini. Tempat yang jauh berbeda dengan asalnya.