Seharusnya hari ini adalah hari paling bahagia di hidup Kinara Bautista. Sebab minggu itu surganya, ia tidak perlu pergi ke sekolah dan menipu semua orang agar ia terlihat baik-baik saja. Ia Kinara, seorang introvert yang merasa dirinya kuat dan tak butuh siapapun. Kinara menyendiri dan tenggelam dalam dunia imajinasinya. Ia duduk di sebuah taman dekat perumahannya, seraya membaca jelih sebuah novel di genggaman.
Ia cuma ingin menjauh dari orang-orang itu untuk sementara waktu, dari orang-orang yang mengkhianati percayanya. Dari orang-orang yang mengkhianati janjinya. Kinara cuma ingin tenang dan tak ingin diganggu. Sampai cowok dari negeri antah berantah menghancurkan segalanya.
Cowok itu tiba-tiba menghampiri Kinara dengan wajah sekusut pakaian yang belum di setrika.
"Maaf, gue boleh duduk disini?" tanyanya.
Kinara memutar bola matanya malas, ia tak menjawab dan mengembalingan pandangan semula pada novel.
Karena tidak mendapat respon, cowok itu menganggkat bahu tidak peduli dan duduk disamping Kinara tanpa persetujuan. Padahal di taman itu masih banyak kursi kosong. Tapi nggak tau kenapa cowok itu malah memilih menjatuhkan pantatnya di kursi yang sama dengan Kinara.
Dalam waktu yang terbilang lama, dua orang asing itu tidak saling bicara. Sampai sang cowok membuka suaranya yang membahana.
"Aku adalah anak Pak Tomy. Selalu riang serta gembira. Karena aku sedang bahagia. Tak pernah buluk ataupun jelek. Tra-la-la la-la-la-la....Tra-la-la-"
Brak.
Cowok itu menghentikan nyanyiannya setelah Kinara sukses memukul bibirnya dengan novel setebal 500 lembar. Ia menatap Kinara yang menatapnya seperti singa kelaparan.
"Bisa diem nggak?!" Sebuah pertanyaan dari Kinara yang sebetulnya adalah perintah.
"Ya Allah Mbak, sakit tau. Kalau bibir saya yang seksi ini jadi monyong. Mbak mau saya lapor polisi atas tuduhan KDRT?" tanya cowok itu seolah tidak terima.
Kinara mengangkat sebelah bibirnya tinggi karena pertanyaan yang diajukan tidak masuk akal.
"Cowok aneh!" ucap Kinara nyaring di telinga cowok itu.
Kinara mengembalikan fokusnya pada novel tanpa berminat menatap lagi.
Tanpa Kinara tahu, segaris bibir tipis milik cowok aneh itu melengkung ke atas. Gadis yang sedang ia tatap kali ini memiliki aura berbeda yang membuatnya sedikit terpikat.
"Manis," batinnya.
"Mbak, Mbak," panggilnya lagi sambil menyenggol lengan Kinara.
"Apa sih?"
"Lagi baca apa?" tanyanya balik tanya.
"Lo siapa nanya-nanya!"
Cowok aneh itu memberikan senyuman terlebar. Ia mengusap tangannya lalu menyondorkannya pada Kinara.
"Perkenalkan. Saya Arga Aljon Mendoza, anak terlalu tampan dari Ayah Tomy dan Ibu Marissa. Anak terlalu tampan dari tiga bersaudara. Panggilan cinta, dipanggil sayang juga bo-"
Brak.
Sepertinya Kinara ketagihan memukul bibir cowok bernama Arga. Sementara Arga hanya meringgis kesakitan menyesali nasibnya.
"Gue nggak tanya biodata lo. Mau nama lo Arga, mau nama lo cinta. Gue cuma mau lo diem dan jangan berisik!" titah Kinara penuh penekanan.
Arga memanyunkan bibirnya yang terasa sangat pedih. Begitu pula dengan batinnya. Kata-kata gadis yang tidak ia ketahui namanya itu selalu membuatnya tertohok.
"Galak banget, kayak anjing tetangga," batin Arga.
Kinara memberikan tagapan elang.
"Lo ngatain gue kayak anjing?"
Arga hanya mampu berdecak kagum seraya bertepuk tangan kegirangan.
"Mbak bisa baca pikiran saya? Wah hebat, calon istri idaman. Mau nggak jadi istri saya?"
Kinara menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia melirik Arga dari ujung kepala hingga mata kaki. Satu kesimpulan besar yang Kinara tangkap. Cowok aneh bernama Arga itu gila. Dan Kinara tidak punya waktu meladeni orang gila.
Arga menunduk kecewa. Padahal ia merasa menjadi cowok terlalu tampan sedunia. Tidak ada satupun yang tidak tertarik pada wajah terlalu tampannya. Tapi ketika semua orang tahu bahwa ia mempunyai otak yang kosong melompong, mereka lari. Ah, bagi Arga ini tidak adil!
"Arga," panggilan dari sumber yang berbeda terdengar. Membuat Kinara ataupun Arga mendongak.
Seorang gadis dengan rambut tergerai panjang memanggil Arga dari jarak yang cukup jauh. Gadis itu memakai dress selutut berwarna peach. Ia melambai tangan pada Arga. Ketika ia melangkah, Arga mengalihkan pandangan sepenuhnya pada Kinara.
Tanpa berfikir panjang, Arga memeluk Kinara dengan erat. Kinara tersentak karena gerakannya begitu cepat dan tak terduga. Kinara tidak berkutik, ia terdiam seperti patung. Bahkan nafasnya menjadi tidak beraturan sebab ini adalah pertama kali seorang cowok memeluk Kinara selain Papanya.
"Ga?" suara gadis tadi berubah sendu. Kakinya terasa gontai menahan bobot tubuhnya yang tidak berat.
Arga sengaja mengatup telinganya dengan rapat. Mendengar suara itu membuat sisi hatinya kembali tergores. Ia memejamkam matanya erat seraya tetap memeluk Kinara. Ia tidak ingin menoleh ke belakang, membuatnya lemah hanya karena satu kedipan mata.
Disisi yang berbeda jantung Kinara berpacu dua kali lipat daripada biasa. Cowok aneh itu memberikan pelukan yang sangat erat hingga bernafas rasanya sangat sulit. Yang bisa Kinara lakukan hanya menatap gadis yang ada dihadapannya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.
Sebening kristal milik gadis bergaun peach itu pecah dari matanya. Ia mengigit bibir bawahnya ketika melihat Arga berpelukan tepat di depan matanya. Ia tahu, mungkin ia kehilangan hak untuk marah. Tapi hatinya nyilu dan terasa sangat aneh.
"Arga," sahutnya lagi. Berharap Arga menatapnya walaupun sedetik. "Ini gue, Aza."
Namun gadis itu benar-benar telah kehingan hak. Ia bersusah payah menelan ludahnya sendiri. Merasa terabaikan, ia berbalik dan berlari sejauh mungkin. Gadis itu tidak ingin menyakiti hatinya semakin jauh.
Hening.
Lengan Arga masih melingkar di tubuh Kinara. Kinara seolah nyaman dalam pelukan yang terasa hangat. Ketika hembusan angin menyentuh wajahnya, ia tersentak dan mengembalikan alam sadarnya. Telak ia mendorong Arga hingga tersungkur ke tanah.
Kemudian Kinara menusuk Arga dengan matanya. Satu hal lagi yang membuat Kinara semakin benci, cowok aneh itu dengan lancang memeluknya di depan umum.
Arga meringgis kesakitan sambil memeluk tubuhnya. Namun Arga sadar akan perbuatan yang melewati batas. Ia menyetarakan posisi, bersiap memberikan penjelasan seraya menyatukan kedua tangan sebagai permohonan maaf.
"Mbak, maaf. Saya tadi hanya-"
Plak.
Tangan Kinara berhasil mendarat di pipi kiri dan kanan Arga. Sedangkan wajahnya menjadi merah padam, terlihat gadis itu marah besar.
"Mbak sayakan udah minta maaf, jangan tampar saya dong Mbak. Nanti kalau saya nggak comel lagi gimana?" protes Arga.
Kinara menyilangkan kedua lengannya di depan dada.
"Lo comel darimananya?"
"Semua yang ada di badan saya itu comel Mbak. Dari..." Arga menghentikan kalimatnya sejenak lalu melanjutkan dengan cara bernyanyi. "Kepala pundak lutut kaki lutut kaki...daun telinga mata hidung dan pipi..."
Kinara memperhatikan Arga dengan melongo. Kini ia semakin yakin jika Arga benar-benar gila.
"Mbak ngapain ngeliat saya kayak gitu banget?"
Pertama, cowok aneh itu mamanggilnya dengan sebutan yang membuat Kinara dituakan, Kinara tidak suka itu. Kedua, cowok aneh itu lancang memeluknya tanpa persetujuan, Kinara sangat tidak suka itu. Ketiga, cowok itu gila dan Kinara membencinya.
"Mbak suka ya sama saya?" tanya Arga semudah itu.
"Sembarang bacot lo, mulut lo bau sampah tau!"
Entahlah, gadis yang tidak Arga tahu namanya siapa; membuat Arga melupakan Aza sejenak. Gadis yang sedang marah padanya itu memiliki bola mata yang khas, dari cara ia menatap dan cara bicaranya. Arga menyimpan semua pergerakan kecil yang membuat hati menjadi senang.
"Kalau Mbak nggak suka saya, terus kenapa tadi saat saya peluk jantung Mbak dangdutan?" tanya Arga dengan nada yang sangat polos.
Virus merah jambu langsung menyembur ke pipi Kinara. Ia seperti tertangkap basah sedang melakukan kesalahan besar.
"Tuh kan, lagi-lagi Mbak terpesona!" sela Arga menunjuk seburat merah di pipi Kinara.
Mood Kinara langsung hilang seketika. Ingin sekali rasanya ia benamkan wajah Arga di kloset wc. Berhubung Kinara sedang ditempat umum, ia tidak bisa melaksanakan niatnya.
"Lo ngaca! Wajah pasaran aja geernya minta ampun!" ucap Kinara sambil berlalu.
Arga berteriak heboh.
"Mbak kalau ngomong biasa aja, nggak usah muncrat."
Kinara terus melangkahkan kakinya menjauh.
"Mbak jangan marah-marah mulu, ntar manisnya ilang."
Kinara bahkan tidak berniat menatap kembali walau hanya sekedar menoleh.
"Mbak kalau suka sama saya, balik lagi aja sini."
Tepat pada langkah ke lima Kinara menghentikan langkahnya. Ia diam saat memutar lehernya menatap Arga dengan mata silet.
Arga menghaluskan suaranya. "Mbak novelnya ketinggalan."
Masih dengan wajah tidak bersahabat, Kinara berdecak sebal. Gara-gara Arga ia hampir melupakan novel favoritnya. Ia memasang wajah di tekuk sambil melangkahkan kaki kembali ke arah Arga tanpa minat.
Arga tersenyum tiada syarat, senyum yang tidak dapat Kinara artikan. Ia menyondorkan novel yang sempat tergeletak diatas kursi, kemudian Arga mengedipkan sebelah matanya genit.
"Tuh kan saya bilang juga apa. Mbak sebenarnya emang suka sama saya, buktinya Mbak balik lagi. Hayo ngakuuuuu!"
Kinara berusaha menahan amarah. Berhubung masih punya hati nurani, maka Kinara hanya menimpuk mulut Arga dengan novel setebal 500 lembar. Dan cara Kinara berhasil membuat Arga bungkam dengan perih di bibirnya.
Tidak perlu berfikir dua kali, Kinara benar-benar melenggang pergi. Setidaknya ia cukup merasa puas melihat orang itu tersiksa di hadapanya. Ia senang bukan main ketika Arga masih kesakitan saat Kinara mulai hilang di tingkungan jalan.
Inilah akhirnya. Mulut Arga terasa doer karena tiga kali timpukan. Timpukan yang maha dasyat dari cewek yang maha galak. Sehingga Arga hanya bisa mengadah, mengadu kepada Tuhan mengapa ia sesial ini.
Arga mengelus bibirnya dengan sabar. Kemudian ia berucap seolah meratapi nasib. "Ya Allah... Hobi banget tuh cewek nimpuk bibir gue. Sialan, bibir gue makin seksi! "
*****
Arga melongoskan setengah kepalanya keluar jendela. Sementara ia duduk di tepi jendela, menatap rembulan seakan sedang berduka. Seperti menantikan seseorang melambaikan tangan padanya seperti dulu. Ketika dua orang cucu adam seling bercengkerama di bawah sinarnya sambil mengatakan, "aku mencintaimu setiap pergerakan waktu."
Bukan Bulan, tapi Arga. Ia memang suka sekali bermain dengan kenangan-kenangan yang sebenarnya patut di lenyapkan. Dibuang dan tidak dikenang lagi. Hal tersebut selalu terginyang layaknya disket yang hampir usang, namun sebanyak apapun memorinya tetap saja terekam jelas di kepala.
Bicara soal kebiasaan yang dulu, hampir setiap malam ia selalu menikmati tatapan sahdu rembulan itu bersama pujaan hati. Kini purnama itu meredup sebab gadis itu memilih pergi. Tidak ada lagi tawa, tak ada lagi senyuman yang membuat Arga bahagia. Sayangnya setelah gadis itu pergi kenangannya masih ada disini, tepatnya di ulu hati Arga yang paling dalam.
Kenangan bersama gadis itu sering terbayang hingga Arga lelah. Ia ingin amnesia agar bisa lupa, tapi sekuat apapun ia mencoba. Ia tak berdaya seperti manusia yang bertahan diatas kapal oleng karena angin topan. Pada akhirnya manusia itu akan jatuh pada dasar lautan, walaupun telah bertahan tapi tetap tenggelam.
"Kamu tahu kenapa bulan dan matahari nggak pernah bersatu?" tanya Arga pada gadis yang sedang memeluk lututnya bersamaan dengan dongakan kepala, sambil menatap langit di temani bulan dan bintang.
Gadis itu menjawab tanpa menoleh. "Karena mereka berbeda."
Arga menggeleng dan berkata, "bukan karena mereka berbeda."
Rasa penaran gadis itu menyembul keluar. Ia menatap Arga sangat intens untuk menemukan jawaban yang ia cari.
"Lalu?"
Arga tersenyum, ia mengukuti pergerakan gadisnya yang memeluk lututnya sendiri. Berserta membalas tatapan purnama kepada mereka yang tersenyum.
"Karena mereka saling menyakiti. Dan mereka nggak mampu bertahan dalam setiap rasa sakit."
Gadis itu menyergit, ketika ia penasaran ekspresinya selalu sama. Terdapat kerutan di dahinya juga picingan mata yang sengaja di sipitkan. "Aku nggak ngerti Ga," jawab ia apa adanya.
Arga tertawa singkat, ia menangkup wajah gadisnya yang ditatap dengan cinta. "Mau dengar sepenggal kisah mereka?" tawar Arga.
Anggukan kecil, gadis itu terlihat bersungguh-sungguh seperti anak kecil yang senang saat orang tuanya membacakan dongeng sebelum tidur.
Sebelum membuka suaranya kembali, Arga merangkul bahu gadisnya serta meletakkan dagu di atas kepala gadis itu.
"Katanya Matahari mencintai Bulan.
Sebuah cinta yang tidak memberikan jarak dan waktu. Katanya Bulan lebih mencintai Matahari. Sebuah cinta yang mengikat dan mengikuti kemanapun Matahari pergi. Namun suatu ketika Bulan bilang begini, "cahayamu lambat laun terasa panas dan menyakitkan, aku menginginkan kebebasan. Maaf, aku pergi."
Matahari bertanya "apa itu cukup membuatmu bahagia?" Bulan cuma mengangguk sampai semesta benar-benar memisahkan mereka. Hahaha, Langit tertawa. Langit tahu ini tidak lucu, tapi langit cuma ingin memberi tahu. Langit tertawa sebab jika Bulan sedikit saja bersabar mengahadapi cahaya yang katanya menyakitkan. Matahari tidak mungkin sekesepian sekarang dan Bulan tidak mungkin pura-pura bahagia bersama bejibun Bintang."
Usai berdongeng, gadis itu mendongak. Ia masih penasaran. "Kamu dapat dongeng itu dari mana?"
Arga mengangkat bahu, seolah pertanyaannya tidak penting tapi ia ingin gadis itu memahami kata-katanya barusan.
"Arga," panggil gadis itu ketika Arga hanya diam. "Aku bukan Bulan yang meninggalkan Matahari. Aku juga bukan Lagit yang menjanjikan selalu ada. Aku Aza Ga, Kanza Crizataa. Gadis yang sanggup mencintaimu dalam setiap tarikan nafas. Selama nadi masih berdenyut, nggak akan ada kata aku berhenti mencintaimu," ujarnya lancar seolah telah telatih dalam susun manyusun kata.
Arga menggangguk mantap, ia sangat percaya. Bahkan kepercayaan terbesar yang ia punya cuma untuk gadis itu. Sepenggal dongeng yang ia ceritakan hanya bermaksud untuk mengingatkan. Jika mereka berada pada posisi yang sama dengan Bulan dan Matahari. Pilihannya hanya bertahan, ia lebih rela mati dalam bertahan daripada hidup dalam pergi.
"Janji ya kayak gini terus?" tanya Arga.
Tidak ada keraguan diantara mereka. Yang ada hanya keinginan selalu bersama sampai hayat.
Gadis itu menggangguk sambil menautkan jari kelingkingnya dengan kelingking Arga. "Janji sayang."
Tok..tok..tok..
Suara ketukan pintu itu membuyarkan lamunan Arga, mengembalikan ingatan Arga pada dunia nyata. Ia menoleh ke arah pintu yang yang digedor dengan tidak sabaran.
"Gaa, dipanggil tuh sama Ibu. Lo nggak makan malam?" tanya Aisyah dibalik pintu.
"Nggak. Males jalan!" jawab Arga sekenanya.
"Mau gue anterin?" tanya sang kakak.
Arga mengangguk walau Aisyah tak melihatnya. Perutnya sedang keroncongan, namun kakinya sedang tidak ingin berkompromi. Ia cukup terharu atas perhatian Aisyah kepadanya.
"Iya Kak, anterin ya!"
Kemudian Aisyah menyela. "Nggak, males jalan."
"Anterin dong. Nanti kalau adek Arga sakit karena kelaparan gimana?" rengek Arga seperti anak kecil.
"Bodo, mati lo lebih baik. Daripada hidup nyusain orang."
Arga cuma bisa mendengus kesal karena Aisyah langung pergi, bahkan sebelum Arga membalas ucapannya. Ia menarik pujiannya kembali, Aisyah bukan kakak yang perhatian. Kakak keduanya itu sepertinya minta di banting.
Kakak sialan.
Sepeninggal Aisyah, Arga hanya menatap awang-awang kamarnya dengan pandangan kosong. Ia memukul jidatnya sendiri ketika menyadari satu hal. Ia memeluk Kinara untuk membuat Aza cemburu.
"Dasar bodoh! Kenapa dia harus cemburu? Harusnya lo tau bahwa dari awal dia hanya main-main."
Diam-diam Arga menyesali perbuatannya siang tadi.
Ingin sekali rasanya Arga menumpahkan rasa marah pada Aza yang telah membuatnya kecewa. Ingin sekali rasanya ia membenci Aza sebegitu benci hingga tak tersisa sedikitpun cinta. Arga lebuh berharap mati rasa daripada menangung cinta yang menjadi bebannya sendirian. Walaupun berkali-kali Aza menyakiti, namun berkali-kali juga Arga tetap mencintai.
*****