Hari yang paling dibenci Arga adalah senin. Karena senin merupakan hari terburuk yang membuatnya harus terkena masalah. Dihari ini ia kadang terlambat. Ralat, selalu terlambat. Di SMA Cahaya Pratama Arga paling rajin mendatangi ruang BK. Ia juga sempat di tuduh bercinta dengan guru BK yang galaknya nauzubillah. Persis seperti kuntilanak yang ia lihat di film horor.
Sama seperti hari ini Arga juga terlambat. Baginya semua hal itu kecil yang tidak perlu dipikirkan. Santai selagi punya waktu. Prinsipnya cukup unik, "jangan tamat SMA sebelum guru BK mencintaimu."
Arga melompat turun dari pagar setelah berhasil memanjatnyanya. Ia menyergap-nyergap sambil memandang ke kiri dan kanan untuk memastikan tidak ada yang memergoki. Berjalan seperti seorang maling yang tak kedengaran injakan sepatunya.
Sesaat kemudian Arga terhenti karena ada seseorang yang memegang pundaknya dari belakang. Arga memamerkan senyuman paling manis ketika Buk Maya menatap garang sambil memegang kerah seragam Arga dari belakang, bagaikan menenteng seekor anak kucing.
"Eh Buk Cantik, makin cantik aja Buk. Oplas ya?" kata Arga memberikan seringai lebar. Dibalas dengan pelototan paling lebar milik Buk Maya.
"Sembarang kamu. Mulut kamu tolong di sekolahin ya!"
Arga melipat kedua tangannya di depan dada seraya memegang dagu dengan pose berfikir.
"Kalau mulut saya pergi sekolah, terus gimana caranya saya ngomong. Ih, Ibuk guru tapi kok bego sih!"
"Ngejawab aja terus!"
"Lah kan Ibuk nanya, ya saya jawab dong. Salahnya dimana coba?"
"Salahnya kenapa saya harus ketemu orang seperti kamu!!!"
"Jangan-jangan kita jodoh?"
"Arga!" geram Buk Maya mempertinggi nadanya.
Arga tertawa garing. Ia menyeringai jahil lalu mencolek pipi Buk Maya dengan genit.
"Apa sayang?"
"Kamu saya hukum! Keliling di lapangan seratus kali putaran!!"
Arga memasang ekpresi seakan mendapatkan cobaan paling berat dalam hidupnya. Berharap ada setitik rasa iba di diri Buk Maya.
"Buk..." Arga menyatukan kedua tangan dengan wajah pupy eyes. Bukannya kasihan, Buk Maya malah seperti macan kelaparan.
Arga mengerucutkan bibirnya, lalu bergoyang dengan kocak di hadapan Buk Maya.
"Apa salah dan dosaku sayang? Cinta suciku kau buang-buang. Lihat jurus yang kan ku berikan, Jaran goyang.. Jaran goyang.."
Dengan gesit Buk Maya menendang pantat Arga sehingga siswa gilanya tersebut berhenti memamerkan suara bak piring dipukul sendok.
"Aduh," desisnya sambil memegang kedua pantatnya yang kesakitan akibat ulah Buk Maya. Tapi kemudian ia tersenyum girang dan memamerkan pantatnya pada Buk Maya. "Makasih ya Buk, berkat Ibuk saya makin montok nih."
Kalau Buk Maya nggak bisa tahan emosi, mungkin sekarang ia sudah berubah menjadi hulk dan menginjak Arga karena kesal. Arga memang suka bercanda, tapi Buk Maya bukan orang yang tepat untuk di ajak bercanda.
Buk Maya melangkah maju, ia mengambil gerak cepat untuk menjewer telinga Arga. Buk Maya adalah guru BK, ia adalah guru paling killer di SMA Cahaya Pratama. Tapi Arga adalah siswa paling gila yang membuatnya kewalahan.
"Ahh, sakit sakit Buk," desis Arga mengelus-elus telinga.
"Ngelawan lagi kamu?" tanya Buk Maya dengan nada menantang.
"Maap Buk, Baim cuma becanda," katanya nyengir kuda.
Buk Maya melepaskan jewaran itu. Lalu mengelus dada. Jika berhadapan dengan Arga, ia harus menyiapkan banyak stok kesabaran jika tidak ingin terkena serangan jantung di usia muda.
"Sekarang ikut saya!" Buk Maya menarik lengan Arga secara paksa.
Arga menggeleng histeris, seakan-akan ia ketakutan jika Buk Maya akan melakukan sesuatu yang tidak diinginkan.
"Jangan nodai saya Buk, saya masih SMA," jawabnya sambil membuat beberapa orang yang kebetulan di sana melirik aneh.
Dengan tidak mengubris kata-kata Arga. Buk Maya semakin menarik lengan Arga secara kasar. Ia sudah melakukan berbagai cara agar anak itu bisa berubah, namun nyatanya. Semakin Buk Maya berusaha, anak itu semakin malah menjadi kembaran setan.
"Ngapain Buk Maya bawa saya kesini?" tanya Arga menyapu pandangannya ke sekeliling ketika Buk Maya membawanya ke lapangan.
"Nari salsa!" ketus Buk Maya. "Ya keliling lapangan seratus kali lah!!" lanjutnya membenarkan.
Arga memasang eskpresi sedih.
"Mending nari salsa Buk daripada keliling lapangan. Nanti kalau saya item gimana?"
Buk Maya berkecak pinggang, kesabarannya sudah sampai diubun-ubun. Tapi sebagai seorang guru yang baik, ia masih berusaha sabar.
"Kamu pikir kamu putih?"
"Saya pikir iya."
"Saya pikir tidak!"
Arga memicing ke arah Buk Maya, pandangannya meremehkan jawaban Buk Maya. Seolah menyalahkan jika mata Buk Maya salah.
"Saya tahu saya ganteng, hanya saja Ibuk terlalu malu untuk mengakuinya!"
"SEKALI LAGI KAMU NGOMONG. SAYA LEMPAR MULUT KAMU DI SEPATU SAYA!"
Arga langsung membungkam mulut. Ia cekikikan dalam hati, akibat ulahnya Buk Maya salah bicara. Lucunya lagi Buk Maya tidak sadar kalau ia typo. Baiklah, biar Arga benarkan.
"Saya lempar sepatu saya di mulut kamu!"
Sepertinya Buk Maya sudah hilang kesabaran meski memiliki stok kesabaran tersimpan banyak. Berhadapan dengan Arga membuat darah tingginya naik.
"Mau bantah lagi?" tantang Buk Maya dengan wajah segarang mungkin.
Wajahnya yang cantik kini perlahan luntur akibat suka marah-marah. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah Arga.
Arga hanya menggeleng. Ia yang merasa menjadi siswa paling baik yang memiliki hati seperti bidadari. Menjadi tidak tega jika Buk Maya stuck karena tingkahnya. Ia diam, lebih tepatnya karena merasa terlalu baik.
"Sekarang lakukan perintah saya! Keliling lapangan seratus kali!"
"Ta—"
"Tidak ada bantahan!" putus Buk Maya sebelah pihak. "Kalau kamu ketahuan kabur, akan saya gandakan hukumannya!" ucap Buk Maya secara tegas, lantang, dan menekankan.
Membuat Arga hanya melongo mendengarkan seksama. Ia mengelus-elus dadanya. Setelah itu Buk Maya meninggalkan Arga di lapangan sendirian dengan hukuman yang sudah paling pantas.
"Gini amat jadi cowok, serba salah. Dasar cewek, merasa paling bener!" gerutunya dalam hati dan melanjutkan hukuman dengan sangat-sangat terpaksa.
*****
Sementara disisi lain, seorang gadis cantik hanya memperhatikan Arga yang berlari tak henti-hentinya untuk mengelilingi lapangan. Ia menatap laki-laki itu dengan sendu. Ia tahu bahwa Arga bukanlah pelajar yang baik, namun dulu ia juga tidak seburuk itu.
Aza merasa ia adalah penyebab dari perangai Arga yang semakin menjadi. Laki-laki itu tidak peduli akan sekolah. Merokok, bolos, berkelahi itu sudah menjadi aktivitas rutin yang tidak pernah terlupakan. Jika Arga terus saja seperti ini, Aza khawatir laki-laki itu tidak akan naik kelas.
Flashback on.
"Selamat Ulang Tahun Arga.." ucap Aza pada suatu hari.
Arga tersenyum bahagia. Kupu-kupu di hatinya berterbangan seking senangnya. Ia merasa menjadi laki-laki paling beruntung di dunia ini karena memiliki Aza.
"Kamu udah ngucapin itu untuk yang ke kesepuluh kalinya!" kata Arga memberi tahu.
Aza menggaruk telungkungnya, menghilangkan rasa gugup yang sedang melanda.
"Biarin," jawab Aza menjulurkan lidah.
Aza asyik memamain-mainkan kue yang sudah di tiup oleh Arga. Arga memperhatikan tingkah Aza dengan nyaman. Ia menangkup wajahnya dengan kedua tangan untuk memperhatikan Aza lebih dalam.
"Ngapain ngeliat aku kayak gitu?" tanya Aza sambil mengangkat dagu.
"Cuma mau bilang, tadi surga kehilangan bidadarinya. Nggak taunya ada disini," puji Arga sambil mengangkat kedua alisnya dengan tatapan menggoda.
Aza tersenyum hambar. Ia mengalihkan pandang. Ia tidak terlalu memperdulikan gombalan Arga seperti biasa. Ia asyik mencolek-colek kue dengan pisau yang ia mainkan.
Awalnya Arga merasa biasa. Namun ia sadar jika tatapan itu berubah.
"Kamu kenapa?"
Aza diam. Lebih tepatnya melamun, tidak mendengarkan Arga.
"Za!"
Aza tersentak, mendongakkan kepalanya menatap Arga. Ia menggigit bibir bawahnya. Ia ragu untuk mengutarakan keinginannya.
"Kamu kenapa?" ulang Arga menanyakan hal yang sama.
Aza menarik nafas kasar. Setelah berfikir panjang, akhirnya ia menjawab.
"Aku mau putus."
Hening sesaat.
Kemudian suara laki-laki itu menggema di Caffe favorit mereka tersebut. Ia tertawa lepas menatap Aza dengan eskpresi yang gadis itu tunjukkan.
Aza menyergit heran.
"Hahaha, prank kamu cemen amat. Nggak ada yang lebih seru apa!" sela Arga meremehkan.
Aza menggelengkan kepalanya berkali-kali. Lalu memberanikan diri menjawab.
"Aku serius."
Laki-laki itu tidak lagi berkutik. Ia diam bahkan dalam jeda yang sangat panjang. Ia menatap mata Aza. Ia mencari kebohongan dalam mata gadis itu. Namun ia tahu gadis itu berkata jujur.
"Kenapa?" tanya Arga sarkastik.
"Maaf, perasaan aku berubah," jawab Aza.
Tak hal yang lebih menyakitkan dari ini. Kata-kata gadis itu dengan mudah lolos keluar dari bibirnya yang mungil. Tanpa ia berfikir lebih dahulu ada seseorang yang tertusuk dengan kata yang ia pikir sederhana. Tapi tidak di hati Arga.
"Jadi ini kado sweet seventeen dari lo?" tanya Arga mengubah nadanya menjadi sinis. Saking tak sukanya ia langsung mengganti panggilan aku-kamu yang biasa mereka gunakan.
Aza diam. Ia tidak bisa menjawab apapun. Ia bahkan tidak berani menantang mata Arga yang nyalang terbuka.
"Bisa kasih gue satu alasan kenapa lo mutusin gue?" ucap Arga berusaha tenang, meski kemarahannya bergejolak.
"Gue cinta sama lo tanpa alasan. Jadi putus juga ngak butuh sebuah alasan kan!" kata Aza mengikuti panggilan yang di ubah Arga.
Aza yakin ini adalah keputusan terbaik dalam hidupnya. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, mungkin untuk semuanya. Cepat atau lambat, dia pasti akan membuat Arga terluka.
Arga memiringkan senyumannya. Beberapa menit lalu ia baru saja mengucap cinta dengan syahdu pada gadis dihadapannya. Ia baru saja mengucapkan make a wish kepada Tuhan agar mereka bersama hari ini, besok, lusa dan selamanya.
Namun gadis yang ia pikir lugu ternyata mampu menjatuhkan harga dirinya seperti ini.
"Gua tanya sekali lagi, lo serius dengan ucapan lo?" tanya Arga dengan nada yang semakin tinggi.
Laki-laki itu masih berharap gadis yang ia cintai menjawab tidak. Sayangnya harapan terlalu jauh dari kenyataan yang ada. Gadis itu menggangguk mantap dan tidak menyesali keputusannya.
"Oke, kalau itu mau lo. Semoga lo bahagia," kata Arga berlalu meninggalkan Aza disana.
Arga terlihat kuat. Seakan kata-kata Aza tidak berefek apapun padanya. Ia bukan orang yang ekspresif yang bisa menyesuaikan ekspresi dengan hatinya. Namun tak ada yang tahu ia berjalan semakin jauh, berusaha memendam perasaannya dalam-dalam. Berusaha menelan setiap kalimat pahit yang gadis itu lontarkan. Langkah itu semakin lama semakin jauh, ia berjalan membelakangi untuk menutupi sisi hatinya yang rapuh.
Flashback off.
"Lo pintar membohongi semua orang Ga. Tapi gua tahu, lo nggak sekuat itu!" kata Aza meski Arga yang ada di lapangan dan tidak bisa mendengar suaranya.
Dulu ketika Arga membuat ulah di sekolah. Hanya satu orang yang bisa menegurnya. Bukan guru atau temennya di sekolah, tapi Aza. Cuma Aza yang ia dengarkan seolah ia ingin sekali bercermin pada sosok perempuan yang paling ia cintai itu. Arga tidak peduli pada apa dan siapapun di sekolah keculi Aza. Sebab baginya gadis itu segala yang pertama dan utama.
Aza sadar apa yang ia lakukan telah merubah banyak hal. Ia juga tahu semua yang Arga lalukan hanya untuk menutupi sisi hatinya yang patah. Mungkin Arga pikir ia mampu berlari dengan kaki-kakinya sendiri. Namun laki-laki itu tidak pernah menyadari bahwa ia cuma manusia yang juga bisa rapuh.
*****