Hari sudah berlalu, namun pemberitaan perihal pernikahan itu masih heboh di mana-mana. Bara sungguh muak dengan berita itu. Foto-foto bahkan video pernikahan itu tersebar hampir di semua media sosial, media cetak, media televisi, disiarkan radio. Mungkin inilah pernikahan impian Kirana, diberitakan di seluruh pelosok dan penjuru negeri ini. Dan bahkan berita pernikahan mereka sampai ke media luar negeri. Luar biasa!
Bara merasakan pedih itu kembali menjalar di hatinya. Kirana ... apakah hanya karena siapa ayah dari Yusrizal itu kemudian ia tega mengkhianati semua janji mereka? Melupakan semua kisah yang telah lama mereka rajut itu? Putus sambung, LDR, dan semuanya telah berhasil mereka lewati, namun kenapa sekarang malah jadi seperti ini?
Bara membanting Smartphone itu hingga hancur berkeping-keping! Ingin rasanya ia memacu mobil sportnya itu dengan kencang agar rasa sesak dan sakit di dadanya itu perlahan hilang. Namun itu sama saja bunuh diri! Ia masih ingin hidup!
'Tok ... tok ... tok ...'
Suara pintu diketuk itu sedikit mengejutkan Bara, ia bergegas bangkit dan membuka pintu kamar itu.
"Ada apa, Ma?" tanya Bara ketika Justina muncul di depan pintu kamarnya.
"Mama papa nanti malam berangkat ke Dubai, tolong pegang sementara kantor cabang yang di Jogja bisa?"
Bara menghela nafas panjang, dia lagi suntuk seperti ini malah diberi tanggung jawab sebegitu besarnya?
"Mama sama papa ke Dubai berapa hari sih?" tanya Bara sambil bersandar di pintu kamarnya.
"Dua Minggu lah!"
"Oke, Bara ke Jogja sekarang kalau gitu." guman Bara lalu membalikkan badan hendak kembali ke kamarnya.
"Bara!" Justina menarik tangan anak sulungnya itu, membuat Bara mengurungkan niatnya masuk ke dalam kamar.
"Iya, ada apa lagi, Ma?" Bara menatap wanita yang telah melahirkannya itu.
"Mama tahu apa yang sedang terjadi padamu! Mama tahu semua ini berat, tapi Mama mohon jangan terlalu lama terpuruk, Bar! Pikirkan masa depanmu juga, mulai lah merancang kembali masa depanmu, mulai buka lagi hatimu."
Bara tersenyum, namun agaknya semua tidak semudah seperti apa yang mama nya itu nasehatkan itu. Tidak semudah itu!
Ia dan Kirana sudah cukup lama bersama! Dari kelas dari SMA sampai sekarang usianya sudah dua puluh delapan tahun! Coba hitung berapa lama? Tiga tahun SMA, tiga setengah tahun berjuang demi gelar sarjana, sampai sekarang Bara sudah sukses dengan bisnisnya sendiri, meksipun hanya bisnis kecil, setidaknya ia merintis semuanya dari nol, dengan darah dan keringatnya sendiri. Bukan dari kekayaan atau bantuan papanya.
"Iya, terimakasih Ma! Bara paham. Selalu doakan Bara ya, Ma!" Bara tersenyum, menggenggam erat tangan mamanya itu.
"Mama percaya, kelak kau akan mendapat pengganti yang lebih baik, Bara! Dia bukan wanita yang baik untukmu. Paham?"
Bara tersenyum, ia hanya mengangguk pelan kemudian melangkah masuk ke kamarnya. Dia bukan wanita yang baik? Hanya karena tittle presiden yang di miliki bapak dari laki-laki itu, Kirana yang selama bertahun-tahun ini Bara tahu betul bagaimana watak dan sifatnya itu, berubah jadi wanita yang tidak baik!
Bara menghela nafas panjang, ia kemudian menurunkan kopernya dari atas lemari, kemudian membuka lemarinya, memilah baju-baju yang akan ia bawa ke Jogja untuk sementara waktu orangtuanya pergi ke Dubai. Jogja adalah kota yang akan ia tuju, semoga beberapa hari disana nanti ia bisa melupakan semua kesedihan yang mendera hatinya. Semua rasa sakit yang menyiksanya. Bara menutup koper itu, lalu mulai menyeretnya keluar kamar.
Justina yang sedang duduk di depan televisi itu tersentak, Bara benar-benar berangkat sekarang?
"Kamu benar-benar mau berangkat sekarang?"
"Iya, Ma. Jangan khawatir Bara akan hati-hati." Bara tersenyum, ia paham jika mamanya itu sedikit khawatir.
"Biar diantar Pak Yudi!" Justina bangkit dari duduknya, hendak melangkah ke kamar supir.
"Tidak perlu!" Bara meraih tangan Justina. "Bara ingin berangkat sendiri, Ma."
Justina menatap putra sulungnya itu lekat-lekat. Tampak kekhawatiran di mata itu. Ia tahu betul suasana hati Bara sedang kacau, ia takut terjadi apa-apa dengan Bara di tengah jalan nanti.
"Bara ... Mama benar-benar khawatir."
Bara menepuk lembut pundak Justina, matanya menatap lembut kedalam mata wanita yang begitu ia cintai itu.
"Ma ... Bara berjanji kalau Bara akan baik-baik saja! Bara masih ingin membahagiakan Mama. Bara masih ingin menikah, kasih cucu buat Mama."
Justina tersenyum, ia menganggukkan kepala lalu memeluk putra kebanggaannya itu. Ia sebenarnya juga tidak terima Bara diperlakukan seperti itu oleh Kirana. Ingin rasanya ia melabrak gadis itu, namun ia tahu, lawannya cukup berat! Ia hanya bisa berdoa bahwa kelak putra sulungnya itu akan mendapatkan ganti yang lebih baik.
"Mama harap kamu pegang janji mu, Sayang!" guman Justina lirih.
"Pasti Ma!" Bara tersenyum, lalu mencium tangan Justina. "Bara pamit, Ma."
"Hati-hati ya!" Justina tersenyum, sambil melambaikan tangannya.
Bara hanya mengangguk pelan, lalu memasukkan koper itu kedalam bagasi mobilnya. Ia sengaja hanya membawa Toyota Avanza milik papanya. Untuk apa membawa mobil sportnya itu kesana? Nanti malah ia dikejar-kejar gadis-gadis yang hanya mengejar hartanya. Bara tersenyum kecut, kemudian menutup bagasi mobilnya.
Bara bergegas masuk ke dalam, lalu mulai menghidupkan mesin mobil itu. Dengan perlahan ia mulai membawa mobil itu keluar dari halaman rumahnya. Jogja, kota pelajar yang sangat ia harapkan bisa sedikit mengurangi dukanya. Semoga ....
***
Bara memutar kunci apartemen miliknya, akhirnya ia sudah di Jogja. Ia bergegas membawa masuk kopernya ke dalam. Dari jendela apartemennya itu ia menikmati suasana sore Jogja. Rasanya ia harus segera. turun ke bawah, menikmati ramah tamahnya kota pelajar itu.
Bara bergegas masuk ke dalam kamarnya, setelah mandi dan berganti pakaian santai, ia kemudian turun ke lantai bawah, dan bersiap menikmati keindahan Kota Jogja di sore hari. Malioboro adalah tujuan pertamanya. Bara langsung memacu mobilnya menuju destinasi wisata yang tidak boleh terlewatkan jika berkunjung ke Jogja itu.
Dulu sekali, ia pernah pergi berdua dengan sosok itu. Menikmati suasana menyenangkan Jogja di sore hari dengan langit jingga yang begitu cantik. Dan sekarang ia hanya sendirian saja ke sana. Hanya seorang diri, untuk menghibur hatinya begitu rapuh saat ini.
Mata Bara memanas, teringat akan saat-saat indah dulu sesama gadis itu. Benar-benar berat rasanya ketika kemudian ia harus menjalani semuanya seorang diri.
"Semoga kamu bahagia selalu, Na! Sekarang kamu jadi orang penting di negeri ini. Mantu presiden! Istri dari prajurit TNI dengan pangkat yang sudah cukup tinggi." Bara tersenyum kecut. Apalah dia yang cuma pengusaha cofee shop.
Bara membiarkan air matanya menetes kali ini. Matanya menatap nanar jalanan di depannya. Seperti apa kelak jodohnya? Seperti apa wanita yang kemudian akan mendampingi dirinya? Apakah benar lebih baik dari sosok Kirana? Atau malah sebaliknya?
Bara menyeka air matanya, memasrahkan semua masa depannya pada Sang Pencipta.