Chereads / BARA / Chapter 4 - Gadis Itu ...

Chapter 4 - Gadis Itu ...

"Ka ... kamu ...."

Bara benar-benar syok melihat siapa gadis itu, bukankah itu gadis yang semalam ia tabrak ketika di Malioboro? Yang tak sengaja bertabrakan dengannya ketika ia melangkah pergi dari wedangan itu?

"Maaf Bapak, saya tidak tahu kalau semalam itu Bapak." guman gadis itu sambil menundukkan kepalanya.

"Sudah, tidak apa. Karena kemarin murni kesalahan saya, saya yang nggak lihat jalan!" jawab Bara lalu duduk di kursi milik papanya.

"Ini jadwal meeting yang harus Bapak hadiri hari ini, Pak!" gadis itu menyerahkan map itu, ia masih menundukkan kepalanya.

"Oke baik! Oh ya siapa nama kamu?" tanya Bara sambil menatap sosok itu.

"Nama saya Hanifa, Pak." gadis itu benar-benar tidak berani menatap Bara. Gila apa kemarin ia melotot tajam dan membentak sosok itu yang ternyata tak lain dan tak bukan adalah anak sulung dari pemilik perusahaan tempatnya berkerja! Sungguh sial!

"Baik, nanti kalau saya butuh bantuan, saya hubungi." Bara membaca satu persatu huruf yang ada ditangannya itu.

Hanifa bergegas keluar dari ruangan CEO itu, keringat dingin sudah mengucur membahasahi tubuhnya. Untung anak bosnya itu bukan tipe-tipe anak CEO yang songong, dingin, sok berkuasa seperti yang selama ini ia baca di novel-novel. Ia begitu sopan dan tampak tenang meskipun kemarin Hanifa sedikit tidak sopan kepadanya.

Hanifa menggelengkan kepalanya dengan gemas, kenapa sih anak CEO besar macam Pak Burhan keluyuran jalan kaki cuma pakai celana jeans pendek dan kaos oblong seperti kemarin? Ia pikir Bara cuma laki-laki biasa! Eh ternyata malah pewaris kekayaan Burhan Permana!

***

"Sudah ketemu sama Pak Bara? Gila ya ... Anak Pak Burhan keren banget!" bisik Nisrina ketika Hanifa kembali ke meja kerjanya.

"Ganteng, tinggi tegap, gagah, banyak uang ... ya ampun ... rahimku hangat!" desis Silfi gemas.

"Ih apaan sih rahim anget ... rahim anget ...." Hanifa sontak memanyunkan bibirnya, ia risih jika ada wanita yang catcalling macam itu, apaan sih merendahkan diri banget deh!

"Nah ini nih yang paling beruntung, jadi sekretaris pribadinya Pak Bara!" Regina berdecak kagum, aduh siapa sih yang nggak mau deket-deket terus sama laki-laki macam itu? Ia mah mau banget!

"Kalian nggak tahu sih kejadian semalam." Hanifa bersandar dengan malas di kursinya.

"What? Kejadian semalam? Kejadian apa?" Silfi syok, sontak langsung bangkit dan mendekati meja Hanifa.

"Kalian sudah ketemu kemarin?" Regina ikut penasaran, ia kepo maksimal.

"Jangan bilang kalau kalian malah sudah ngamar ena-ena!" tebak Nisrina asal.

"Ini apaan sih pada negatif thinking semua deh!" bentak Hanifa kesal, memang dia cewek apaan? Ena-ena? Astaga! Dia masih perawan!

"Lantas kalian ngapain?" Regina tidak mau menyerah, apa memangnya yang sudah Hanifa lakukan bersama anak bosnya yang tampannya bukan main itu?

"Aku nggak sengaja tabrakan sama dia, dan aku sontak ngebentak dia dan melotot gitu ke dia." cerita Hanifa dengan wajah histeris, ia masih merasa bahwa ia sangat bodoh melakukan itu pada anak bosnya.

"Apa? Berani bener kamu!" Regina melotot tidak percaya, sementara Nisrina dan Silfi hanya melongo di tempatnya berdiri.

"Mana aku tahu dia itu anak Pak Burhan ...." desis Hanifa lemas.

"Waa kacau nih!" Silfi geleng-geleng kepala, ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Aku harus bagaimana nih?" Hanifa mengacak rambutnya dengan gemas.

"Siap-siap saja deh! Moga nggak di cut!" guman Silfi tersenyum kecut lalu kembali ke mejanya.

Hanifa hanya memijit keningnya, tak beberapa lama suara telepon di mejanya berdering. Hanifa bergegas mengangkat telepon itu.

"Selamat Pagi ...." jawabnya mencoba kembali tenang.

"Oh baik, siap Pak, saya segera ke ruangan Bapak." dengan bergetar Hanifa kembali meletakkan telepon, parasnya sontak memucat.

"Di panggil pak bos?" tanya Nisrina yang mampu melihat ketakutan itu di wajah Hanifa.

Hanifa hanya mengangguk pelan, lalu bergegas berdiri dan melangkah ke ruangan CEO perusahaan itu.

"Semangat, Hanny!" guman Silfi sambil mengacungkan kepalan tangannya.

Hanifa mendengus kesal, hobi banget sih mereka bahagia lihat temennya susah? Astaga! Kepala Hanifa mendadak pening, entah apa yang akan di lakukan oleh bos muda itu kepadanya. Memang tadi ia masih baik-baik saja, tapi tidak ada yang bisa menjamin bukan bahwa saat ini ia masih baik-baik saja?

'Tok ... tok ... tok ...'

"Masuk!" teriak suara dari dalam.

Hanifa menelan ludahnya sebelum ia melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Dengan gemetar ia masuk ke dalam ruangan itu. Tampak laki-laki itu begitu serius dengan berkas-berkas di tangannya.

"Jadi bagaimana, Pak?" tanya Hanifa yang belum berani menatap sosok itu.

"Bisa temani saya ke kantor Pak Hendrik?" kata Bara lalu bangkit dan merapikan map itu.

"Ba ... baik, Pak."

Bara menatap sosok itu dengan heran, ada apa sebenarnya? Ada yang salah dengan penampilannya sehingga gadis itu tidak mau memantap wajahnya?

"Hei, kamu kenapa?" tanya Bara terheran-heran.

"Maaf Pak, saya benar-benar masih merasa bersalah soal kejadian kemarin." jawab Hanifa jujur.

"Sudahlah, kan saya sudah bilang kalau saya tidak apa-apa. Saya yang salah kemarin itu." Bara terkekeh, astaga kenapa dia malah jadi seperti ini sih?

"Saya benar-benar minta maaf ya, Pak." mohon Hanifa satu kali lagi.

"Iya ... sudah ... sudah! Ayo segera antar saya ke kantor Pak Hendrik." Bara tertawa lalu melangkah keluar dari ruangannya.

Hanifa bergegas mengekor di belakang bos tampannya itu. Hatinya sudah sedikit tenang meskipun masih ada perasaan tidak enak yang menjalar akibat kelancangannya semalam.

Bara dengan tenang melewati semua karyawan yang sontak berdiri dan hormat ketika ia lewat itu, ia hanya mengangguk dan tersenyum simpul, lalu tetap tenang melangkah keluar kantor.

Hanifa buru-buru mengejar langkah bosnya itu, ia tak mempedulikan tatapan penuh tanya teman-teman nya yang penasaran kemana mereka akan pergi itu. Yang ada dalam pikirannya adalah jangan sampai dia melakukan kesalahan bodoh lagi!

***

"Ini memang tiap hari meeting yang harus dilakukan sebanyak ini?" tanya Bara dari balik kemudi mobil pada Hanifa yang duduk di sampingnya itu.

"Kadang lebih banyak lagi, Pak." jawab Hanifa jujur, memangnya anak bosnya itu tidak diberi tahu bapaknya apa kalau sepadat itu pekerjaan bapaknya?

"Ahh ... betah amat sih kerja kayak gini?" dengus Bara kesal.

Hanifa sontak menoleh, apa maksudnya? Bukankah kelak ia adalah penerus perusahaan ini?

"Memang selama ini Bapak belum pernah mengurus langsung perusahaan Pak Burhan?"

"Baru kali ini nih, saya sih sebenarnya juga malas!" jawab Bara singkat.

Hanifa hanya mengangguk pelan, ia tidak ingin banyak bicara. Ia takut jika melakukan kesalahan lagi. Ia hanya sekilas melirik anak bosnya itu. Gila ini mah super sempurna! Tinggi, tegap, gagah, putih, ramah, dan ... oh my God! Rasanya ia meleleh menatap sosok itu lama-lama.